NovelToon NovelToon

Nabil Cahaya Hidupku

anak yang dibuang saat sakit

“Bang, ayo bawa Nabil ke rumah sakit,” suara Santi bergetar, nyaris tak terdengar. Ia mendekap tubuh kecil putranya yang menggigil hebat. Napas Nabil sesak, wajahnya pucat seperti tak lagi dialiri darah. Panas tubuhnya membakar, membuat peluh membasahi kening mungilnya.

Bayu duduk di depan televisi. Tatapannya kosong. Tak bergeming, seolah suara istri dan derita anaknya tak ada artinya dibanding tontonan malam itu.

“Bang, tolonglah… Nabil makin parah. Ini bisa jadi DBD atau tipes. Aku mohon,” ucap Santi lagi. Kali ini air matanya tak terbendung, jatuh satu-satu ke pipi Nabil yang panas.

“Brisik amat, sih! Ganggu aja!” Bayu membentak, masih tak menoleh. Kata-katanya bagai cambuk yang menyayat.

Santi merapatkan selimut ke tubuh Nabil, berusaha menahan tangis. “Dia anak kita, Bang… Tolong…”

Mata Bayu akhirnya berpaling. Tapi bukan dengan iba, melainkan amarah dan benci. “Udah kubilang! Anak itu mending lo bawa ke panti! Anak idiot, cacat, gak guna! Buat apa diselamatin?”

Santi terdiam. Jantungnya seperti diremas. Kata “idiot” itu terasa seperti peluru yang menembus hatinya. Air matanya mengalir deras. Bagaimana bisa, seorang ayah begitu tega menghina darah dagingnya sendiri?

Pintu kamar terbuka. Sinta, ibu mertua Santi, keluar dengan wajah kusut.

“Ada apa sih ribut-ribut?” gerutunya.

“Si Santi maksa bawa anak sialan itu ke rumah sakit. Mau minta duit buat berobat segala,” Bayu menjawab cepat, penuh kejengkelan.

Sinta melipat tangan di dada, mendengus sinis. “Buat apa? Anak cacat kayak gitu cuma buang-buang uang. Nanti juga gak akan jadi siapa-siapa. Gak bakal bikin bangga keluarga.”

Santi menatap mertuanya dengan mata memohon. “Bu… itu cucu Ibu… Dia juga manusia, tolonglah...”

“Cucu apaan! Cuma bawa sial!” Sinta menjawab, membalikkan badan.

“Bener kata Ibu!” sahut Nunik, adik iparnya, dari balik pintu. “Anak cacat gitu ngapain diurus? Malah bawa bencana!”

Santi berdiri. Seluruh tubuhnya bergetar. Tapi bukan lagi karena takut—melainkan karena amarah dan luka yang tak tertahan.

“Cukup!” suaranya meninggi, matanya sembab. “Kalau kalian tak mau bantu, tak apa. Tapi jangan hina anak saya! Dia bukan sampah! Dia anugerah, meski kalian tak bisa melihatnya!”

Bayu berdiri. Mata merah, wajah penuh kemarahan.

“Sudah berani kau sekarang?”

Ia masuk ke kamar, menarik keluar pakaian Santi dan Nabil. Dilemparkannya ke lantai, diinjak-injak dengan amarah yang membabi buta. “PERGI KAU DARI SINI! SEKARANG JUGA!”

Santi tertegun. Namun air matanya tak lagi setakut tadi. Dengan tangan gemetar, ia memunguti satu per satu baju mereka yang kini kotor. Dimasukkannya dalam keresek hitam. Nabil masih dalam pelukannya, tubuhnya lemas, demamnya tinggi.

Sebelum melangkah keluar rumah, ia menatap satu per satu wajah yang pernah ia panggil keluarga.

“Kelak, kalian akan tahu… anak yang kalian hina hari ini, akan berdiri lebih tinggi dari hinaan kalian.”

Lalu ia berjalan pergi. Dengan langkah lunglai, tapi hati yang mulai menyala. Untuk Nabil. Untuk hidup yang lebih layak. Untuk harga diri yang tak bisa dibeli oleh cinta yang salah.

Langkahnya pelan, seperti menyeret luka yang belum sempat mengering. Tapi Santi tetap berjalan. Tanpa menoleh. Tak ada gunanya lagi berharap dari rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah.

“Jangan pernah kembali lagi, Santi!”

Teriakan itu melesat dari balik pintu yang dibanting. Menyayat, tapi tak mengejutkan. Kalimat itu hanyalah paku terakhir dari luka yang sudah lama menganga.

Hujan turun pelan, gerimis yang menggigit kulit. Santi memeluk Nabil erat-erat. Tubuh mungil itu panasnya semakin tinggi. Nafasnya pendek-pendek, menggigil seperti daun yang diterpa badai.

“Nabil… bertahan ya, Nak. Ibu di sini…” bisiknya di tengah dingin malam. Tangannya menggenggam erat, seolah bisa memindahkan sedikit kekuatan dari tubuhnya yang lelah kepada anak lelakinya.

“Kita pasti bisa cari pertolongan… pasti ada jalan. Allah pasti bukakan jalan.”

Langkahnya membawa mereka ke jalan desa yang sepi. Lampu jalan remang menyinari tanah becek yang dilaluinya dengan sandal jepit usang.

“Santi?”

Sebuah suara menyapanya dari kejauhan. Santi menoleh.

Pak Budi, ketua RT, berdiri di bawah tiang listrik dengan payung di tangan. Wajahnya terkejut melihat Santi yang basah kuyup sambil menggendong Nabil.

“Ya Allah, kamu kenapa malam-malam begini di luar? Nabil kenapa?”

Santi menggigit bibir. Tak sanggup bicara. Air matanya saja yang menjawab. Mengalir, menyatu dengan hujan.

Pak Budi segera mendekat. Ia menyentuh kening Nabil, lalu menghela napas cemas. “Ini panas tinggi… sepertinya DBD, San. Kamu tunggu di sini, aku ke kantor desa, kita panggil ambulans!”

Santi mengangguk lemah. Kakinya nyaris tak mampu menopang tubuh. Tapi hatinya... masih kuat menggenggam harapan kecil itu.

Tak lama, suara sirine ambulans kecil desa terdengar. Dua petugas turun dengan cepat, membawa Nabil dengan tandu seadanya.

“Ayo, San. Kamu ikut. Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Pak Budi lembut. Dalam hujan dan dingin malam, suara itu seperti selimut yang menghangatkan jiwanya.

Di dalam ambulans, Santi menggenggam tangan Nabil. Bibirnya terus komat-kamit, entah doa, entah pengakuan, entah permohonan ampun. Tapi satu hal pasti: ia tak akan menyerah.

Sesampainya di rumah sakit, Nabil langsung masuk ruang IGD. Dokter dan perawat sigap bekerja. Infus, selang oksigen, selimut hangat—semuanya dipasang nyaris tanpa suara. Hanya alat monitor yang berbunyi lirih, seolah menandai betapa rapuhnya batas antara hidup dan mati.

Pak Budi mengurus administrasi. Santi hanya bisa duduk, menggigil di pojok ruangan. Ia tak tahu bagaimana membayar, tapi Pak Budi menenangkannya. “Tenang, sudah aku daftarkan lewat program bantuan desa. Nabil bisa dirawat gratis.”

Air mata Santi jatuh lagi. Tapi kali ini, bukan karena sakit. Tapi karena syukur.

Dokter keluar dari ruang IGD.

“Untung datang tepat waktu, Bu. Kalau telat sedikit… maaf, kami tak bisa jamin. Nanti, kalau gejala seperti ini muncul lagi, langsung ke rumah sakit. Jangan ditunda.”

Santi menunduk. Ingin menjelaskan bahwa bukan karena tak peduli... tapi ia hanyalah seorang perempuan tanpa pegangan. Tanpa uang. Tanpa dukungan. Tanpa siapa-siapa. Tapi malam ini, ia memilih bertahan.

Ia duduk di samping ranjang. Tangan kecil Nabil digenggam erat. Anak itu lima tahun. Kepala lebih besar dari tubuhnya. Kurus. Perutnya membuncit—bukan karena kenyang, tapi karena terlalu sering lapar.

Tangan mungil itu bergerak pelan, seolah menggambar sesuatu di udara. Matanya kosong, menatap langit-langit dengan tatapan yang seakan melihat dunia lain.

Santi menyeka air liur di sudut bibir Nabil. Dengan cinta. Selalu dengan cinta.

“Anakku… bertahan ya. Ibu sayang kamu. Sangat.”

Dan langit malam pun menatap mereka… dengan keheningan yang tahu, bahwa cinta seorang ibu adalah doa yang paling tulus.

“San, kamu di sini dulu, ya. Aku mau kabari Bayu, suamimu,” ucap Pak Budi, menepuk bahu Santi pelan.

“Jangan, Pak...,” bisik Santi lirih, tanpa menoleh. “Dia sudah usir aku tadi.”

Pak Budi terdiam. Tatapannya menusuk ke kejauhan, menahan geram yang menggelegak di dada. Lalu ia menghela napas panjang.

“Dasar gila. Anak sakit malah diusir,” gumamnya.

Sebelum pergi, ia menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke telapak tangan Santi. Lembut, penuh hormat.

“Buat kamu makan. Kamu harus kuat… supaya bisa jaga Nabil.”

Santi tak mampu menjawab. Bibirnya hanya bergetar, air mata mengalir diam-diam. Dalam hatinya, ia mencatat nama Pak Budi. Bukan sekadar tetangga. Tapi malaikat pertama yang turun untuk anaknya.

Malam itu, Pak Budi pulang dan mengetuk satu per satu pintu warga. Ia tak malu meminta. Memohon bantuan. Dan karena semua tahu siapa Pak Budi—sosok lurus, rendah hati, dan tulus—sumbangan pun terkumpul cepat. Untuk Nabil. Untuk harapan kecil yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit.

Sore merayap perlahan. Di ruang kelas tiga yang sesak dan pengap, Santi duduk setia di sisi ranjang. Enam tempat tidur berdempetan. Aroma obat menyengat. Suara detak monitor menjadi latar dari sebuah perjuangan diam.

Tiba-tiba, pintu terbuka keras.

Bayu muncul. Mata merah, wajah penuh amarah.

“Dasar istri enggak tahu diri!” suaranya membelah keheningan. “Orang rumah kelaparan, kamu malah enak-enakan di sini! Cepat pulang, masak!”

Kalimat itu begitu ganjil—karena tak ada yang lebih tahu dari Santi, siapa yang sebenarnya mengusir siapa.

Selama ini, Santi yang mencuci baju mereka, memasak, membersihkan rumah. Tiga perempuan di rumah itu—ibu mertua, adik ipar, kakak ipar—semuanya menumpang nyaman di punggung Santi. Tapi mereka menyebutnya pembantu. Bukan keluarga.

Dan Santi bertahan. Demi Nabil.

Anak laki-laki yang istimewa. Yang sering dianggap aib hanya karena ia berbeda. Tapi bagi Santi, Nabil bukan beban. Nabil adalah keajaiban. Doa yang dikabulkan dalam bentuk paling jujur.

Santi menatap kosong ke arah Bayu. Dalam hatinya, ada tekad yang baru tumbuh—ia akan membesarkan Nabil sendiri. Tanpa pria yang jijik pada darah dagingnya sendiri. Tanpa rumah yang hanya tahu mengutuk, bukan memeluk.

Bayu makin mendekat. Tangan terangkat tinggi.

“Goblok! Kamu tuli, ya? Diam saja!”

Sebelum tangannya turun, suara lantang menggema dari ranjang sebelah.

“Jangan buat keributan di sini!”

Seorang pria berdiri. Rambutnya pirang, tubuh penuh tato. Ia memandang Bayu dengan tajam.

“Kamu buta, apa? Istrimu lagi jaga anak yang sakit!”

Bayu melotot.

“Ini urusan keluarga gue!”

Pria itu mendekat.

“Lo salah tempat kalau mau jadi jagoan. Ini ruang perawatan, bukan ring tinju.”

Suasananya mendadak tegang. Tapi Bayu malah mundur setengah langkah. Ia menatap Santi, lalu mengeraskan suara.

“Awas kamu, Santi! Kalau kamu nggak pulang malam ini, aku ceraikan kamu!”

Itu ancaman lama. Jurus yang dulu selalu membuat Santi menangis dan bersimpuh minta maaf.

Tapi kali ini… berbeda.

Santi berdiri perlahan. Matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena takut.

“Ceraikan aku sekarang juga, Bayu Ardiansyah,” ucapnya tegas.

Bayu mengernyit. Tak percaya.

“Kalau itu maumu... Aku, Bayu Ardiansyah, menceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi!”

Ia menunggu reaksi Santi. Tapi yang terjadi membuatnya terdiam.

Santi berbalik, lalu bersujud. Di lantai rumah sakit. Dengan air mata dan senyum yang lirih.

“Alhamdulillah, ya Allah... Aku bebas dari laki-laki kejam ini.”

Tepuk tangan terdengar. Dari penjuru ruangan. Dari penunggu pasien. Bahkan beberapa perawat pun tersenyum lega.

Pria bertato itu mendekat lagi. “Dengar, bangsat. Sekarang lo bukan siapa-siapa buat dia. Keluar sebelum gue seret lo ke luar!”

Bayu mendengus. Memaki. Lalu pergi. Membanting pintu seperti anak kecil yang kalah bertengkar.

Santi kembali ke sisi ranjang. Memeluk Nabil. Air matanya masih jatuh, tapi kali ini bukan karena lemah. Melainkan karena kemenangan.

Bukan kemenangan atas Bayu. Tapi atas dirinya sendiri.

..

mita tolong untuk yang baca silahkan like dan comen, biar autor gajihan

Anak Buto ijo

Santi menatap wajah kecil yang tertidur di pelukannya. Nafas mungil Nabil naik turun dengan damai, seolah dunia begitu tenang. Padahal dulu, kehadirannya ditolak bahkan sebelum ia sempat menangis pertama kali.

Ingatannya melayang ke masa itu—masa ketika Santi, dengan tangan gemetar, menunjukkan dua garis merah di test pack murahan pada suaminya.

“Bang, aku hamil...” ucapnya, nyaris berbisik, tapi penuh harap.

Ada binar di matanya. Ada impian sederhana yang selama ini ia peluk diam-diam—menjadi ibu, membesarkan anak bersama orang yang dicintai.

Namun, Bayu menatapnya dengan mata penuh tuduhan. Bibirnya tidak tertarik membentuk senyum. Sebaliknya, alisnya mengernyit tajam.

“Kamu hamil?” tanyanya, bukan dalam nada bahagia, melainkan curiga. Dingin. Menyakitkan.

Santi mengangguk pelan. Harapannya mulai menciut.

“Kamu enggak pakai otak, ya? Kita hidup masih begini—numpang di rumah orang tua gue, kerja gue juga belum jelas. Malah kamu hamil?! Gugurkan! Aku enggak mau anak sekarang!”

Tak ada sujud syukur. Tak ada pelukan hangat atau air mata bahagia seperti di kisah-kisah keluarga lain.

Santi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau abang enggak mau punya anak, kenapa abang sentuh aku? Kenapa tidur sama aku?”

Bayu menggebrak meja. “Berisik kamu! Dasar perempuan bodoh! Aku bilang gugurkan!”

“Aku enggak bisa... itu dosa, Bang.”

“Kalau kamu nyusahin aku atau keluarga gue, siap-siap angkat kaki! Ingat, kamu cuma numpang di rumah ini!”

Hari itu, langit seakan ikut menjadi kelabu. Bagi banyak perempuan, kehamilan adalah momen istimewa, tapi bagi Santi, itu adalah awal dari siksaan yang tiada henti.

Tak ada pijatan lembut saat tubuhnya lelah. Tak ada segelas susu hangat sebelum tidur. Ia tetap menjadi pembantu bagi keluarga yang tidak menganggapnya sebagai menantu, hanya karena ia perempuan miskin tanpa warisan.

Setiap pagi, Santi bangun paling awal. Mencuci, menyapu, memasak. Tak ada jeda, tak ada kata “istirahat”. Kandungannya bukan alasan untuk berhenti.

Bahkan saat kandungan masuk tujuh bulan, ia tetap jongkok di lantai, menyikat kamar mandi berlumut.

“Nih, cuci bajuku bersih-bersih!” teriak Nunik, adik Bayu, melemparkan baju ke wajah Santi.

“Bisa enggak cuci sendiri? Aku ini hamil, Nik…” bisik Santi, suara nyaris lenyap tertelan tangis.

“Itu masalah kamu! Siapa suruh kamu hamil? Miskin, enggak punya kerjaan, malah hamil! Malu-maluin keluarga aja!”

Santi menarik napas panjang. “Astagfirullah…”

“Jangan sok suci! Sore nanti bajuku harus rapi di lemari!”

Tak ada yang peduli. Tak ada yang bertanya, “Kamu sudah makan?” atau “Periksa kandungan di mana?”

USG? Mustahil. Vitamin kehamilan? Jangankan itu, nasi pun sering hanya sisa kemarin.

Jika bukan karena Allah yang menjaga, mungkin bayi dalam kandungannya takkan bertahan.

Ia pernah berpikir melawan. Tapi siapa yang akan membelanya? Ayah-ibunya sudah tiada, hilang oleh wabah yang melanda kampung dua tahun lalu. Ia benar-benar sendiri.

Santi hanya bisa bertahan. Diam-diam menangis di kamar mandi yang pengap. Menatap langit-langit kamar yang penuh jaring laba-laba, bertanya dalam hati: “Ya Allah, apakah Engkau melihatku?”

Anita, istri Pak Budi yang tinggal di seberang, kadang menyelipkan sepotong tempe dan sekepal nasi dalam plastik kecil. “Ini buat kamu, Santi. Jangan sampai anakmu kelaparan.”

Tanpa Anita, mungkin ia sudah tumbang.

Sementara di rumah itu, hanya Bayu yang dianggap pahlawan. Ia bekerja sebagai makelar, keluar pagi, pulang malam, membawa uang yang langsung habis untuk memenuhi tuntutan ibunya, Sinta, dan adik-adiknya yang tak pernah bekerja.

Sinta tak pernah lelah menanamkan bahwa Bayu harus membahagiakan keluarga. Tapi apakah keluarga juga pernah membahagiakan Bayu?

Tidak. Mereka hanya menuntut. Dan mereka semua membenci Santi karena kehadirannya dianggap beban.

Malam itu, langit tampak kelabu meski tak ada hujan. Di dalam rumah sempit yang jarang mengenal kelembutan, Santi menggigit bibirnya pelan. Kandungannya sudah delapan bulan lebih. Perutnya mengeras, punggungnya seperti diremas-remas, dan setiap langkahnya terasa seperti menginjak pecahan kaca. Tapi tak ada satu pun yang bertanya apakah ia butuh bantuan.

Bayu tertawa lepas menatap layar ponsel, mengobrol dengan teman-temannya. Video call, candaan, tawa-tawa yang seharusnya menjadi milik Santi di hari-hari penuh perjuangan ini. Sementara di sudut dapur, ibu mertuanya—Bu Sinta—menyodorkan dua kilogram kentang mentah. “Buat hajatan tetangga. Kupas semua, malam ini juga,” katanya, tanpa menatap wajah menantunya.

Santi hanya mengangguk. Ia sudah terlalu sering berharap dan kecewa. Nina dan Nunik sibuk mencoba baju baru. Sesekali terdengar tawa mereka dari kamar, membicarakan riasan dan baju pesta. Tidak satu pun peduli bahwa Santi membungkuk menahan nyeri.

“Kamu enggak usah lebay. Perempuan hamil tuh biasa aja,” ujar Nina sinis. “Kalau sakit, ya tahan. Jangan manja!”

Santi tak menjawab. Ia memilih diam. Kadang, diam adalah satu-satunya bentuk perlawanan paling aman di rumah ini. Diam, untuk tetap waras. Diam, agar janin di perutnya tak ikut merasa sakit.

Namun malam itu berbeda.

Kontraksi pertama datang seperti gelombang kecil yang tiba-tiba menggulung. Lalu datang lagi, lebih kuat. Santi mencoba mengatur napas. Ia telah membaca buku tua dari perpustakaan desa—satu-satunya sumber ilmu yang ia miliki tentang persalinan.

“Bang...” lirihnya, memanggil Bayu. “Aku... perutku sakit. Kayaknya kontraksi...”

Bayu mendengus, tidak menoleh. “Halah, kamu itu bikin panik aja. Nanti aja, tunggu pagi. Mana ada bidan buka malam-malam.”

“Bang... tolong... aku takut...” Air mata Santi jatuh, perlahan dan nyaris tanpa suara. Bukan karena sakit. Tapi karena merasa sendiri.

Suara langkah kaki terdengar dari luar. Anita, tetangga yang tinggal di rumah seberang, berdiri di ambang pintu.

“Bayu, kamu gila? Istrimu tuh mau melahirkan!” katanya, panik.

“Bukan urusan kamu. Jangan ikut campur!” hardik Bayu.

Anita pergi. Hati Santi semakin mencelos. Tapi beberapa menit kemudian, pintu terbuka kembali. Anita datang membawa harapan—dan pertolongan.

Di belakangnya, berdiri Pak Budi dan adiknya, Santoso, serta seorang perempuan tua berkebaya lusuh: Mak Laras, dukun beranak kampung yang terkenal sabar dan tulus.

“Ayo, bawa dia ke kamar. Cepat!” ujar Anita tegas.

Santoso dan Pak Budi mengangkat tubuh Santi yang nyaris ambruk. Bayu hanya duduk, menonton semua seperti menonton film yang tak menarik. Ia bahkan tampak terganggu. Dalam hatinya, ia berharap Santi dan bayinya menghilang saja, agar hidupnya tak semakin terbebani.

Mak Laras duduk di sisi tempat tidur, menatap Santi dengan kasih sayang yang hanya bisa diberikan oleh perempuan yang pernah merasakan getirnya menjadi ibu.

“Neng, tarik napas ya. Pasrah ka Gusti Allah. Bacaan surah An-Nas, Al-Ikhlas... Neng kuat, pasti kuat.”

Dan di tengah malam yang sepi, dengan tubuh berkeringat dan napas terengah, Santi melahirkan. Bayi mungil itu menangis keras—jeritan pertamanya menyentuh langit-langit rumah penuh caci.

Anita segera mengambil kain bersih dan baju bayi bekas milik anaknya dulu. Pak Budi merebus air untuk memandikan si kecil. Sementara keluarga Bayu tetap di kamar masing-masing, pura-pura tak tahu, pura-pura tuli.

“Anak ieu mah bakal jadi cahaya keur hirup Neng. Bere ngaran Nabil, nya. Artina, pinter,” ucap Mak Laras sambil mengelus kepala bayi.

Air mata Santi tumpah, kali ini bukan karena kesakitan, tapi karena sebuah nama yang seperti doa panjang.

“Bere ngaran Nabil…” bisiknya, tersedu.

Mak Laras lalu membawa bayi itu ke ruang tengah. “Mana salakina? Coba pegang anakmu. Laki-laki harus bangga kalau punya anak.”

Bayu berdiri malas, menatap si kecil dengan wajah masam. “Anak saya? Ini? Kepala gede, mata gede, badan kecil. Ini mah anak Buto Ijo. Jangan-jangan... dia hasil selingkuh.”

Ruangan hening sesaat. Lalu—

BUGHHH!

Santoso melayangkan pukulan tepat ke pipi Bayu.

“Dasar laki-laki enggak tahu diri!” teriaknya. “Kami yang bantu dari tadi. Kami yang panik. Kami yang sibuk nyiapin ini-itu. Kamu? Cuma bisa nonton dan menghina! Itu istrimu! Itu anakmu! Sekalipun kamu benci, jangan begitu!”

Bayu terhuyung, tapi diam. Mungkin karena malu, atau mungkin karena belum pernah dipukul orang yang benar-benar marah dengan alasan benar.

Santi mendekap bayinya erat. Tubuhnya masih lemas. Tapi hatinya terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Karena malam itu, di antara hinaan dan luka, ia menemukan satu alasan untuk terus hidup: Nabil, cahaya kecil yang diturunkan Tuhan ke pelukannya..

Janji Santi

Penderitaan Santi belum juga berakhir. Hari demi hari ia jalani seperti bertaruh nyawa. Di rumah itu, di antara dinding-dinding yang mestinya jadi pelindung, justru ia menemukan luka paling dalam.

Ia membesarkan Nabil seorang diri. Seakan kehadiran suami dan keluarga mertua hanyalah bayang-bayang yang menyerap cahaya tanpa pernah memantulkannya kembali.

Bagi mereka, Nabil bukan anak. Bukan cucu. Bukan darah daging. Tapi aib. Dosa. Malapetaka.

"BRAKKK!!"

Suara meja makan digebrak membuat sendok-sendok berloncatan dari piring. Bayu berdiri dengan wajah merah padam, urat di lehernya menegang, matanya seperti bara api yang menyala dalam amarah.

"SANTIIII!"

Teriakannya mengguncang jantung Santi. Dari dapur yang sempit dan pengap, ia tergopoh datang. Tangannya masih berbau bawang, napasnya pendek-pendek karena belum sempat makan seharian.

"Mana makanan?! Kenapa nggak ada nasi di meja?! Kamu kira gue makan angin?!"

Santi menunduk, gemetar.

"B-berasnya habis, Bang... Aku belum sempat beli..."

Bayu membanting sendok.

"Gila! Uang lima puluh ribu sehari nggak cukup?! Kamu ngapain aja, hah?! Boros banget jadi istri!"

Santi menelan ludah. Ia tahu ini akan datang. Ucapan yang sama, tuduhan yang terus diulang.

"Tadi uangnya dipakai Nani beli kuota, Bang..."

Nani keluar dari kamar, menyambung dengan nada tajam,

"Kamu jangan nuduh ya! Udah jelas itu duit kamu pakai buat anak buto ijo itu! Kenapa malah bawa-bawa aku?!"

"Kamu itu sejak punya anak sialan itu jadi boros! Duit habis terus, lauk makin sedikit! Nggak becus ngatur!" kata Bayu.

Santi menarik napas panjang, menahan air mata.

"Bang... sekarang harga-harga naik. Kita makan bertujuh. Uang segitu... nggak cukup..."

Bayu tertawa, pahit dan sinis.

"Bukan soal harga! Tapi kamu kasih makan anak itu! Itu akar semua masalah!"

Santi mendongak. Luka di hatinya menganga, perih.

"Dia anakmu, Bang. Anak kita..."

Tapi suaranya tertelan oleh pekikan Bayu,

"Dia BUKAN anakku! Dia anak setan! Aku nggak sudi punya anak kayak tuyul! Anak buto ijo!"

Kata-kata itu menghantam lebih kejam dari tamparan. Tapi Santi hanya diam. Ia sudah kehabisan air mata.

Bayu mencabut selembar uang dari saku celananya. Lusuh. Kusut. Dua puluh ribu.

"Nih! Beli beras! Sekarang!"

Dilempar ke arah Santi. Seperti melempar tulang ke anjing.

Santi memungut uang itu perlahan. Hujan masih deras di luar.

"Bang, nunggu hujannya reda ya..."

"Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku lempar anakmu ke jalan! Sekarang juga, Santi!"

Tubuh Santi gemetar. Tapi ia tahu, ia harus pergi. Untuk Nabil.

Dengan langkah tertatih, ia melangkah di bawah hujan. Air mengalir membasahi wajah dan pakaian tipisnya. Tapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan hanya satu hal: Nabil. Anaknya. Nafas hidupnya.

Sampai di warung, ia membeli sekilo beras. Sisanya ia gunakan membeli sepotong roti murah—roti kesukaan Nabil. Biarlah ia lapar. Asalkan Nabil tersenyum hari ini.

Saat pulang, tubuhnya kuyup. Pundaknya menanggung lebih dari sekadar air hujan.

Namun langkahnya terhenti di ambang pintu.

Nabil tergeletak di lantai. Menangis.

Tak seorang pun menoleh. Tak satu pun peduli.

Santi berlari, memeluk anaknya. Tubuh kecil itu dingin. Matanya basah.

"Bang... kenapa Nabil nggak dibangunin?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Bayu mendengus, selonjor sambil memainkan ponsel.

"Awalnya aku pikir kamu bertahan karena sayang anak. Tapi lihat anak itu... menyentuhnya saja aku jijik. Harapanku hancur. Anak ini nggak pantas hidup!"

Santi menunduk. Ia ingin marah, ingin berteriak. Tapi hanya diam yang sanggup ia beri. Diam yang merangkum semua luka.

Dalam hatinya, hanya satu janji ia ikat erat: Nabil takkan pernah sendirian. Selama Santi hidup, ia akan jadi perisai. Akan jadi cahaya. Akan jadi ibu.

Karena ia tahu—Tuhan tak pernah tidur. Dan tak satu pun air mata ibu akan jatuh sia-sia.

Santi menggendong Nabil yang masih terisak. Tubuh mungil itu menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang belum sempat reda. Dengan langkah pelan, ia membawanya ke kamar sempit mereka yang hanya dibatasi tirai lusuh. Di sana, ia dudukkan anaknya di atas kasur tipis, yang busanya sudah menipis, nyaris menyatu dengan lantai.

Dari kantong plastik yang ia peluk sejak pulang dari warung, Santi mengeluarkan sepotong roti murah. Roti itu lembek, sedikit penyok, tapi bagi Nabil, itu adalah surga kecil yang selalu ia tunggu.

“Nih, Nak… makan ya…” ucap Santi lirih.

Wajah Nabil cerah seketika. Ia menggigit roti itu dengan senyum mungil yang tulus, seolah sedang menikmati kue ulang tahun termewah di dunia. Santi tak kuasa menahan tangis. Ia peluk anaknya erat-erat, mencium ubun-ubunnya dengan penuh kasih.

“Nak… sabar ya. Suatu saat, Bapak kamu pasti berubah…” bisiknya. Meski ia tahu, harapan itu semakin hari semakin tak bersuara.

Biar dunia menganggap Nabil sebagai beban. Biar orang-orang mencibir, menyebutnya kutukan atau anak setan. Di mata Santi, Nabil adalah anugerah. Nafas hidupnya. Alasan untuk terus bertahan.

Tiba-tiba…

“SANTIIIIIII!”

Teriakan Bayu memecah keheningan seperti petir di siang bolong.

Santi terpaksa melepas pelukannya dan bergegas keluar. Hatinya belum pulih dari luka yang barusan, tapi rumah ini tak pernah memberi ruang untuk pulih. Setiap detik adalah ujian sabar yang tak berkesudahan.

“Apa lagi yang kamu tunggu?! Cepat masak! Atau kamu mau seluruh rumah kelaparan?!”

“Maaf, Bang… iya, aku masak sekarang…”

Ia melangkah ke dapur, mulai menanak nasi dari beras yang baru ia beli, menumis kangkung layu yang ditemukan di ujung kulkas, dan menggoreng ikan asin yang sudah mulai berbau. Tangannya sibuk, tapi perutnya tetap kosong. Ia sudah biasa begitu. Rasa lapar tak lagi asing. Bahkan rasa sakit pun sudah akrab dan tinggal di sana, tak mau pergi.

Ketika semua makanan tersaji, satu per satu penghuni rumah keluar. Mereka makan dengan lahap tanpa satu pun mengajaknya duduk. Santi hanya memandangi dari sudut dapur, berharap ada sisa. Kalau pun ada, itu pun bukan untuknya—melainkan untuk Nabil.

“Aku malu banget sama tetangga,” keluh Sinta sambil mengunyah.

“Kenapa, Bu?” tanya Nani, adik iparnya.

“Tadi Nabil merangkak keluar. Tetangga ngata-ngatain kita pelihara anak setan.”

“Iya. Malu-maluin banget. Buang aja dia ke panti,” timpal Adi, suami Sinta, datar, dingin seperti batu.

“Halah, kalau Nabil nggak ada, Santi juga nggak bakal nurut masak buat kita,” ujar Bayu terkekeh. Tawa mereka pecah seperti badai, menghantam hati seorang ibu yang berdiri di balik dinding dapur, menahan tangis.

“Kenapa sih kamu masih sama perempuan kampungan itu?” Nani menatap Bayu sinis. “Cari aja yang lebih cantik, lebih selevel.”

“Nanti aja. Nunggu uang cukup dulu,” jawab Bayu santai, seolah istrinya barang bekas yang tinggal dibuang.

Santi mendengar semuanya. Kata demi kata. Ia menggigit bibirnya. Apakah sakit? Lebih dari sekadar sakit. Tapi demi Nabil, ia tetap diam. Ia bisa hidup tanpa cinta Bayu. Tapi tidak bisa hidup tanpa anak yang dicintainya sepenuh jiwa.

Usai makan, mereka meninggalkan meja begitu saja. Santi yang membereskan semua. Ia cuci piring dengan tangan kasar, kaki pegal, dan hati koyak. Di meja hanya tersisa satu centong nasi dan sepotong tempe gosong.

Ah, itu pun sudah lebih dari cukup.

Tiba-tiba…

“SANTIIII!”

Santi buru-buru menghampiri Bayu.

“Iya, Bang?”

“Mana sisa uangnya?!”

Santi menyodorkan empat ribu rupiah.

“BRAKKK!”

Meja digebrak. Dada Santi bergetar.

“Kenapa cuma segini? Harusnya enam ribu!”

“Dua ribu aku pakai buat beli roti untuk Nabil, Bang. Dia suka banget roti itu…”

Wajah Bayu menggelap.

“Anjing lo, Santi! Uang gua nggak halal buat anak itu! Gua nggak ridho! Dosa lo!”

Sinta dan Adi keluar dari kamar.

“Apa sih, ribut-ribut?”

“Perempuan ini beli roti buat anaknya tanpa izin!” teriak Bayu.

“Perempuan kampung! Mana ngerti adab!” Sinta ikut menghina.

“Ngapain sih kamu ngurus anak cacat itu? Umur empat tahun belum bisa jalan, ileran kayak bayi. Jijik!” sahut Adi dengan suara penuh kebencian.

Bayu masuk ke kamar dan menarik Nabil dengan kasar.

“Mulai malam ini, kalian tidur di dapur! Biar tahu rasa!”

Santi memeluk Nabil. Tubuh mungil itu menangis lagi, memanggil “Mamah… Mamah…” lirih, seperti burung kecil yang kehilangan sarang.

Di ambang pintu kamar, Nani berkata santai, “Kalau uang udah cukup, Bay, kamu tinggal cari yang baru aja. Yang lebih cocok sama kamu.”

Malam itu, Santi tidur di lantai dapur bersama Nabil. Udara lembab menusuk tulang, tapi pelukan hangat ibu pada anaknya tetap menjadi selimut paling kokoh. Dunia boleh membenci, tapi tidak akan bisa merenggut cinta itu.

---

Kini, di sebuah ruang rawat yang dingin dan sunyi, Santi duduk memandangi Nabil yang terbaring lemah. Jarum infus menusuk tangan mungil itu, seperti jarum yang menusuk langsung ke jantungnya.

Ia genggam tangan Nabil. Hening. Tapi doanya melantun kencang dalam hati.

Anakku… maafkan Mamah…

Air mata jatuh pelan. Bisu. Tanpa suara.

Ia tahu, hari-hari ke depan tidak akan mudah. Tapi kali ini, ia tak ingin diam saja. Ia tak akan lagi menunggu keajaiban dari hati orang-orang yang tak punya nurani. Ia harus bangkit. Harus.

“Aku akan membesarkanmu sendiri, Nak…” gumamnya penuh tekad.

“Tak akan kubiarkan siapa pun menyakiti kita lagi.”

Ia menatap wajah Nabil yang pucat. Meski lemah, senyum kecil tetap menghiasi wajah itu. Dan di sanalah Santi tahu—bahwa kekuatan sejati tak pernah butuh pengakuan. Ia tumbuh dari luka, dari air mata, dari doa yang tak pernah henti.

“Kita hanya punya satu sama lain, Nak…”

Ia usap rambut anaknya lembut.

“Mamah mencintaimu. Selalu. Maaf ya… Mamah belum bisa kasih hidup yang indah. Tapi Mamah janji, kita akan keluar dari neraka ini. Kita akan bahagia. Suatu hari nanti.”

Dan malam itu, di antara bunyi mesin infus dan detak harapan, Santi membuat satu janji pada Tuhan—bahwa ia akan berjuang, hingga titik darah terakhir.

selamat membaca tinggalkan like dan coment biat autor gajihan

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!