Bab 2
Setelah Kael dan yang lainnya pergi, suasana taman pelan pelan kembali normal.
Azura kembali duduk. Tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Membuka kembali bukunya, dan melanjut halaman yang tadi dia baca.
Lia berdiri canggung di samping bangku, masi kelihatan bingung antara kagum, takut, dan terkejut.
lia
kamu... gila ya?
//gumamnya
lia
tadi tuh... The Vultures. orang orang yang bisa bikin anak kelas 2 pindah sekolah dan bisa bikin tunduk kepala sekolah.
azura
terus kenapa? mereka manusia juga
lia
tapi... kamu ngelawan kael. kael! kamu gatau dia siapa?
azura
kalau dia tuhan, baru gue pikir dua kali
lia
//tertawa kikuk
kamu aneh banget
azura
makasih
//mengangkat alisnya
azura
takut boleh, tapi jangan sampai mereka lihat itu
azura
karena orang yang suka nunjukin kekuatan... biasanya cuma kuat kalo sama orang lemah
Kael bukan tipe yang mikirin hal dua kali.
Biasanya, cukup sekali tatap dan semua orang langsung tunduk. sekolah ini sudah seperti permainan lama buat dia. semua aturan tidak tertulis, semua rasa takut, semua 'aturan main'.... dia yang pegang.
Sampai dimana, ada cewe dengan rambut yang terurai panjang, berani menyautnya.
Dia nyoba anggap itu cuman ucapan cewek sok badas yang bakal nyesel nanti. Tapi wajah itu... tatapan tajam yang ga lari, ekspresi datar yang ga peduli siapa dia... bikin pikirannya ga tenang.
arjianta
lo kenapa, el?
//tanya jian sambil ngebolak-balik botol minumnya di rooftop sekolah
kael
ga kenapa napa
//jawab kael yang sedang duduk di samping jian, sambil melihat ke lapangan bawah
arjianta
lo daritadi diam aja. biasanya kalo ada yang nantangin lo, lo langsung... ya gitu lah
gentala
//Gentala nyengir
atau jangan jangan lu... penasaran?
orion
//orion ngelirik tajam
eh, jangan asal ngomong. cewe itu bahaya. lo lihat sendiri nyalinya segede gunung
kael akhirnya berdiri, ngerogoh kantong jaketnya dan mengambil ponsel
kael
azura.. cekin dia
//gumamnya pelan
gentala
lo mau nyari data dia?
kael hanya membalas dengan anggukkan
Malam itu sekolah udah sepi. Angin dingin nyeret debu di lapangan basket belakang, satu satunya tempat yang lampunya masih nyala setengah mati. Azura duduk di tribun, ngerjain tugas sambil makan camilan. Dia emang orang yang gasuka ngerjain tugas di rumah.
Tapi dari jauh, suara langkah kaki mulai terdengar. Gak cuma satu, banyak.
Azura mendongak pelan. Lima orang cowok, berseragam lusuh datang dari arah gerbang belakang.
Geng 'junkyard dogs', rival lama The Vultures, yang biasanya muncul cuma buat nyari ribut. Dan sekarang... mereka mengelilingi Azura.
rey
lu yang namanya azura, iya kan?
Si pemimpin, Rey. Cowok tinggi dengan jaket robek dan bekas luka di pelipisnya.
Azura tidak menjawab. Dia berdiri pelan, dan menyimpan bukunya di tas.
rey
lo pikir setelah nantang The Vultures, lo ngerasa keren?
azura
kalian ini siapa sih? tukang parkir?
//berbicara datar
Cowo paling depan langsung maju, mendorong bahu Azura dengan kasar. Azura mundur satu langkah, lalu berhenti.
alvin
kita cuma ngasih tau lo, di sekolah ini bukan cuma The Vultures yang punya taring.
Anggota inti junkyard dogs, Alvin. Cowo tinggi ber kacamata.
azura
//menghela napas pelan, lalu nyengir kecil.
sialnya.. gua ga takut sama taring palsu
Tanpa aba-aba, satu dari mereka nyerang. Azura geser satu langkah, tangannya nyamber pergelangan lawan, lalu jebrett!—lututnya nyodok ke perut cowok itu.
Yang lain kaget, tapi langsung nyerbu bareng-bareng.
Satu pukulan hampir kena pipi Azura—dia nunduk, muter, nyikut dada si penyerang. Yang satu lagi narik rambutnya—Azura tangkap tangan itu, crack, lalu tendang kaki belakangnya sampe jatuh.
Tiga lawan satu.
Tapi Azura gak mundur.
Tangannya luka, bibirnya sobek, tapi matanya... tetep dingin.
Sampai akhirnya, suara berat terdengar dari ujung lapangan.
Kael berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip.
Semua mata langsung nengok.
azura
lo.. kenapa disini?
//tanya azura ngos ngos-ngosan, tapi gamau keliatan lemah.
kael
//kael maju pelan, tatapannya ke anggota junkyard dogs
satu kesempatan. pergi sekarang. atau gua yang turun tangan
Setelah melihat wajah Kael yang gak main main, mereka akhirnya pergi satu per satu.
Azura duduk, nahan napas, luka kecil mulai berdarah.
kael
gua dah bilang... lo ganggu
//ucapnya sambil menyodorkan sapu tangan
azura
//mengambil sapu tangan itu dengan kasar
dan lo.. terlalu penasaran
Azura duduk bersandar di tiang tribun, napasnya belum stabil. tapi waktu nengok ke samping..
kael dah pergi, begitu saja.
azura
cowok anehh
//gumamnya
Gelap.
Suara napas terengah. Lampu berkedip di dinding logam. Bau logam dan darah menguar di udara.
Azura berdiri di tengah ruangan, napasnya berat. Tangan kanannya gemetar... menggenggam pisau.
Pisau itu... berlumuran darah.
Di depannya, ada bayangan tubuh. Tak bergerak.
Wajahnya tidak jelas. Namun tangan Azura penuh luka, dan dia—dia tertawa.
Perlahan. Histeris. Takut dan puas dalam satu rasa.
Lalu... suara berat dari pengeras suara di ruangan menyala.
“Subjek AZ-13: fase ketiga melewati batas. Aktivasi ulang ditolak. Kendali hilang.”
“Catat anomali ini. Ini... di luar kendali.”
Azura membanting pisaunya. Berteriak.
Suaranya bergema. Lalu...
---
Clek!
Dia terbangun.
Malam. Napasnya masih tersengal. Pakaian tidurnya basah oleh keringat. Matanya liar menatap sekitar kamarnya yang remang-remang.
Dia duduk, meraih segelas air di meja samping. Namun tangannya masih gemetar.
Lalu dia berbisik pelan.
Suara yang nyaris tidak terdengar.
“...itu lagi.”
Dia memandangi tangannya. Seolah bekas darah masih ada di sana, meski jelas-jelas kosong.
Lalu, satu kalimat muncul di benaknya—seperti mantra yang selalu ia bisikkan sejak bertahun-tahun:
“Aku bukan mereka. Aku bukan alat.”
Namun... mengapa masih ada bagian dari dirinya yang meragukannya?
Comments
Miu miu
Ga nyesel baca. 🙌
2025-04-10
1