Keputusan Besar

"Besok sudah siraman, persiapkan semua dengan baik." Mayang memerintah.

Rumah Mayang sudah di dekor sedemikian rupa untuk acara yang akan berlangsung besok. Acara akan dimulai esok hari dengan acara siraman dan pengajian. Mayang sudah tidak sabar untuk melihat Sintya mengenakan baju pengantin. Meskipun sampai hari ini Sintya belum mengambil cuti dari pekerjaannya, Mayang tidak mempermasalahkan.

Sintya tampak buru-buru menuruni tangga, dia akan berangkat untuk pemotretan. Mayang tersenyum sangat manis ketika melihat Sintya turun.

"Hari ini kapan pulang?"

"Mungkin siang atau sore, tergantung kapan selesainya pemotretan."

"Jangan capek-capek, besok sudah siraman dan lusa sudah hari H."

Sintya melirik malas. "Aku tidak amnesia, Ma. Jangan terus diingatkan."

"Mama bukan mengingatkan karena kamu lupa, tapi mengingatkan agar kamu tidak gila kerja dulu. Sayang, ini hari bahagiamu, sekali seumur hidup. Mama tidak mau kamu kecapean di hari H. "

"Aku tahu."

Sintya berangkat, Mayang lupa mengingatkan Sintya untuk sarapan dulu. Anak itu, kalau sudah terburu-buru lupa sarapan.

Mayang melanjutkan memeriksa dekor, meskipun orang yang mengerjakan dekornya belum semuanya datang, Mayang tidak mau ada hal yang keliru, jadi dia harus memantau langsung.

Sementara itu, Bik Minah lari tergopoh-gopoh dari kamar Chaya. Dia sangat panik saat tadi menemukan Chaya tidak berhenti mimisan dan tubuhnya sangat lemah, setelahnya Chaya kehilangan kesadaran.

Bik Minah tak peduli jika Mayang tengah sibuk mengoreksi pekerja untuk dekor acara besok, ini lebih penting dari apapun. Ini menyangkut nyawa Chaya.

"Nyonya, Non Chaya pingsan di kamar setelah tadi mimisan cukup lama."

Mayang menoleh pada Bik Minah yang terlihat panik. Anak itu selalu saja bikin repot. Mayang sangat kesal, harusnya mulai hari ini dia hanya fokus dengan urusan Sintya tapi hari ini Chaya tidak membiarkan Mayang fokus. Benar-benar anak pembawa sial!

"Bawa ke rumah sakit, bawa persiapannya. Panggil supir dan pergi bawa anak itu tanpa saya."

"Tapi, Nya, Non pasti butuh Nyonya," Bik Minah berusaha meminta belas kasihan.

"Bawa saja dulu, nanti sore saya akan ke sana bersama dengan suami."

Mayang berkata seperti itu tidak benar sungguh-sungguh. Sampai nanti sore dia masih memiliki banyak pekerjaan, lagian Arif juga belum tentu mau diajak untuk menjenguk anak tersebut.

Bik Minah tak dapat memaksa lagi, dia lebih baik segera mencari supir untuk segera membawa Chaya ke rumah sakit. Anak itu butuh segera penanganan dokter.

"Non Chaya di mana?"

"Di kamar, Yo. Kamu bawa dia ke mobil, aku yang bawa persiapannya. Aku tidak tega melihatnya, Yo. Dia pasti sangat kesakitan tapi orang tuanya nggak peduli," ucap Bik Minah berderai air mata.

Pak Naryo berlari ke kamar Chaya, dia mendapati Chaya yang tergolek lemah di atas kasur. Meski sebagai laki-laki dia terbiasa kuat, namun ketika berhadapan dengan keadaan Chaya Pak Naryo tak kuat. Dengan tangan gemetar dan tangis yang ditahan, Pak Naryo mengangkat tubuh ringkih Chaya.

"Bertahan, Non. Kita akan segera membawa Non ke rumah sakit."

"Naryo, lebih cepat sedikit. Kita lewat pintu belakang saja, di depan ada Nyonya yang lagi memantau orang ngedekor."

"Nggak, kita lewat depan saja. Biarkan manusia tidak punya hati nurani itu melihat kita bawa anaknya yang lemah ini. Kalau dia memang punya hati, dia pasti akan tersentuh, Minah."

Pak Naryo membawa Chaya melewati orang-orang yang tengah ngedekor, orang-orang di sana pada berhenti sejenak dan melihat Pak Naryo dan Bik Minah yang membawa Chaya. Mayang juga melihatnya, tapi dia tidak merespon apapun. Sungguh tidak punya hati.

.....

"Lo yakin sama keputusan yang lo ambil?"

"Yakin, penawaran ini tidak datang dua kali. Setelah ini karir gue bakal lebih menanjak."

Sintya, dia tengah berada di sebuah cafe yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Sebenarnya sejak hari ini dia sudah mengambil cuti. Tapi, dia malas sekali di rumah, malas bicara dengan orang-orang rumah yang selalu bahas soal pernikahan dan pernikahan.

"Terus gimana dengan pernikahan lo? Gimana dengan Angga? Gimana dengan orang tua lo?"

"Gua nggak peduli. Mereka juga nggak peduli sama perasaan gue. Mereka tahu gue mendambakan pekerjaan gue ini dari dulu, setelah gue dapat dan karir gue bagus, mereka begitu saja mau membunuh karir gue. Tidak semudah itu."

Yolla ingin sekali menasehati Sintya agar tak gegabah, tapi menasehati Sintya tidak mudah. Anak keras kepala ini tidak akan mau mendengarkan apa kata orang. Sekalinya dia ambil keputusan, tidak ada yang boleh menggoyahkan keputusan tersebut selain dirinya sendiri.

"Terus kapan lo mau berangkat?"

"Besok malam. Gue butuh banget bantuan lo, lo sahabat gue, tapi tidak banyak yang tahu kalo lo sahabat gue dan itu sangat menguntungkan."

"Gue akan mendukung semua keputusan lo, asal lo bahagia. Gue harap lo nggak nyesel dengan keputusan lo ini."

"Gue nggak bakal nyesel.

....

"Bik, kenapa aku di sini?"

Chaya terbangun dari pingsannya. Dia menyadari bahwa saat ini dia tidak di rumah. Ada selang infus yang menancap di tangannya. Yang tidak bisa Chaya ingat adalah kenapa dia bisa ada di tempat ini.

Bagi Chaya, rumah sakit seperti rumah keduanya. Chaya sudah sangat sering keluar masuk rumah sakit disebabkan oleh penyakitnya.

"Syukurlah Non sudah sadar."

"Aku kenapa, Bik? Apa aku pingsan? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" tanya Chaya.

"Iya, Non Chaya pingsan setelah mimisan cukup banyak. Bibik sangat panik, Non. Bibik takut Non kenapa-kenapa," ucap Bik Minah terdengar sangat tulus. Chaya yang masih pucat pasi memaksakan diri untuk tersenyum. Bik Minah selalu bisa membuat Chaya terharu. Kadang, Chaya berharap jika orang tuanya juga bisa semanis Bik Minah dalam memperlakukan Chaya. .

"Mana Mama? Mama ikut nganter kan, Bik?"

Sebenarnya Chaya sudah yakin jika Mamanya tidak ikut mengantar, tapi dia ingin menepis keyakinan itu. Chaya berharap ada keajaiban dan Mamanya tiba-tiba muncul di samping Bik Minah.

Bik Minah mengelus tangan Chaya dengan lembut, mata Bik Minah tak bisa berbohong. Dia berkaca-kaca. Tanpa menjawab pun Chaya sudah tahu.

"Mama bilang bakal jenguk sama Papa. Tadi, Mama sudah pasrahkan semuanya sama Bibik. Mama lagi sibuk, Non tahu sendiri kalo besok di rumah akan ada acara siraman." Bik Minah tidak ingin menyampaikan hal ini karena dia tahu ini bukan jawaban yang Chaya inginkan tapi Bik Minah juga tidak bisa berbohong.

"Lebih penting acara Kak Sintya, ya, Bik." Chaya terlihat sangat kecewa. "Aku juga udah sering masuk rumah sakit, aku harusnya ngertiin keadaan yang saat ini fokus sama pernikahan Kak Sintya," ujar Chaya.

"Dari awal, Mama sama Papa juga lebih sayang sama Kak Sintya, aku cuma kebagian sedikit rasa sayang mereka. Atau mungkin, mereka sama sekali tidak sayang sama aku, Bik," lanjutnya dengan isak tangis. Chaya sudah menahan diri untuk tidak menangis, tapi dia tidak bisa. "Kalau mereka tidak sayang sama aku, tidak mungkin mereka mau membiayai pengobatanku selama ini. Tapi selama ini mereka tidak pernah memperlakukanku seperti seorang anak. Aku bingung, Bik."

"Non nggak boleh ngomong gitu, Mama dan Papa juga sayang sama Non Chaya. Cuma, sekarang keadaannya mereka lagi sibuk untuk acara Kakak, lagian mereka janji bakal datang jengukin Non Chaya. Bentar lagi mereka pasti datang, Non."

"Nggak akan, Bik. Mereka nggak akan datang, aku masuk rumah sakit itu sering, tapi mereka nggak pernah mau datang jenguk aku, mereka nggak pernah nganter aku chek-up, yang nganter aku pasti selalu Bik Minah dan Pak Naryo," ucap Chaya. Dadanya terasa sakit dan sesak. Dia tidak pernah meminta banyak hal, dia hanya ingin dicintai oleh kedua orang tuanya, tidak lebih.

Bik Minah memeluk Chaya sangat erat, Chaya menumpahkan segala tangisnya dalam pelukan Bik Minah. Pelukan terhangat yang Chaya miliki.

"Apa salah jika aku ingin mereka menyayangiku, Bik?"

"Apa salah jika aku ingin mereka memperlakukanku sama dengan Kak Sintya?"

"Kenapa mereka seperti ini sama aku? Apa salahku? Apa semua yang aku inginkan itu salah? "

"Nggak, Non nggak salah. Non pasti bakal dapat kasih sayang itu." Bik Minah berusaha untuk menenangkan.

"Kapan, Bik? Kapan?" Chaya semakin terisak.

Bik Minah juga tidak tahu pasti kapan kedua orang tua Chaya bisa sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah kesalahan besar. Bik Minah selalu berharap mereka tidak egois.

"Secepatnya, Non. Non Chaya harus sabar."

Tubuh Chaya terasa semakin ringkih, Bik Minah menguatkan pelukannya. "Semoga saja Tuan dan Nyonya tidak terlambat menyadari," seru Bik Minah dalam hati.

"Apa aku harus mati dulu baru mereka mau menyayangiku?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!