CHAYA ( Just A Shadow)
"I-itu milikku, Bang."
Angga menoleh pada sumber suara yang tidak jauh darinya, suara yang terdengar sedikit lemah dan ragu.
"Ini milikmu?" Angga menunjukkan jepit ramput yang dia temui di teras rumah Sintya, tunangannya.
Jepit ramput berwarna hitam yang tergeletak di dekat kakinya itu kini berpindah pada tangan kekarnya, Angga pikir jepit rambut tersebut milik Sintya, karena Sintya juga suka sekali memakai jepit ramput. Dan seingat Angga, dia pernah membelikan jepit rambut persis dengan yang dia pegang itu beberapa minggu lalu.
"Kenapa ini bisa jadi milikmu?" tanya Angga lagi. "Harusnya ini milik Sintya, bukan milikmu."
Jepit rambut yang Angga belikan untuk Sintya saat mereka pergi jalan-jalan beberapa minggu yang lalu, Sintya mengatakan jepit rambut ini akan dia pakai sampai dia benar-benar bosan atau bahkan sampai jepit rambutnya rusak.
Chaya, dia mendapatkan jepit rambut itu dari Kakaknya. Chaya tidak tahu jika jepit rambut tersebut hasil dibelikan oleh tuangan Kakaknya. Jepit rambut itu Chaya temukan di dapur, saat Chaya menanyakan pada Kakaknya, Kakaknya bilang sudah tidak suka lagi dengan jepit rambut tersebut. Tanpa ragu Chaya mengambilnya, Chaya sangat bahagia karena bisa mendapatkan barang baru, barang cantik dan barang yang hampir tidak pernah dia miliki. Bukankah, bekas Sintya akan berpindah tangan padanya? Mana pernah Chaya mendapatkan barang kecuali itu bekas Kakaknya.
"Aku ... aku dapatkan itu di atas meja dapur," jujurnya. Chaya paling tidak bisa berbohong. "Aku mengambilnya dan memakainya."
"Dia mengambil yang bukan miliknya!" bentak Sintya yang tiba-tiba saja sudah berada di dekat Chaya, matanya melirik tajam pada Chaya. Ah, Chaya kena lagi. "Dia memang tidak punya sopan santun, Sayang. Dia juga suka iri terhadapku, apa yang aku punya, pasti harus jadi milik dia."
"Aku pikir kamu yang berikan pada dia, siapa tahu saja kamu sudah tidak suka dengan jepit rambut tersebut."
Angga memang tidak suka dengan Chaya, meski status gadis itu adalah calon adik iparnya. Menurut Angga, Chaya terlalu polos, terlalu lemah. Apalagi Angga sering mendapatkan cerita dari Sintya dan kedua orang tuanya jika Chaya memiliki sifat pendendam dan iri hati. Angga benar-benar tidak suka padanya.
Sintya mendekati tunangannya itu, dia mengelus pundak Angga dengan manja. Sintya menaruh kepalanya di bahu Angga, Angga sama sekali tak risih. Sedangkan Chaya, dia sudah biasa menyaksikan kemesraan dua sejoli ini di hadapannya. Dia tidak masalah. Yang jadi masalah kenapa harus dia yang jadi korban lagi, jelas-jelas Kakaknya sudah bilang tidak suka dengan jepit rambut tersebut.
"Mana mungkin aku tidak suka dengan pemberianmu, kamu tahu sendiri aku suka sekali dengan jepit rambut, apalagi jepit rambut itu dari kamu." Sintya memang pintar sekali mengambil hati Angga. "Kalaupun harus rusak, aku tidak sampai hati membuangnya, Sayang."
"Lain kali jangan sampai barangmu diambil sama dia," Angga menunjuk dengan dagunya ke arah Chaya. Chaya hanya diam, membalaspun dia tak bisa. "Kalau dia tidak bisa berlaku sopan, setidaknya kamu harus tegas, mana barangmu, mana barang dia. Jangan biarkan dia ngelunjak."
Kata-kata Angga hanya bisa Chaya telan tanpa bisa memberi perlawanan.
"Aku tidak bisa lama-lama, kamu tahu sendiri seperti apa sibuknya aku. Aku ke sini cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja, aku tahu kamu sekarang lagi mens, jadi aku bawakan kamu coklat."
"Kamu baik sekali, Sayang. Tanpa diminta kamu sudah tahu apa yang aku mau," puji Sintya.
....
"Non, makan dulu ya, habis itu minum obat."
Bik Minah datang menemui Chaya yang terbaring lemah di ranjangnya, dengan sepiring nasi lengkap dengan lauknya Bik Minah mendekati Chaya. Dengan sekuat tenaga pula Chaya berusaha untuk duduk. Sejak pagi hari, badannya terasa sangat lemas, padahal dia tidak pernah absen minum obat. Bisa dibilang hidupnya hanya di habiskan untuk minum obat dan berbaring di kamar.
" Hari ini gimana kabarnya, Non?" Tanya Bik Minah peduli. Dari tiga pembantu di rumahnya, bisa dibilang Bik Minah yang paling peduli padanya. Mungkin karena Bik Minah adalah orang yang paling lama merawat Chaya. Bik Minah juga orang yang paling dekat dengan Chaya, melebihi keluarganya sendiri.
"Yah, seperti ini, Bik. Tidak ada yang benar-benar baik."
Setiap kali Chaya mengatakan keadaannya, Bik Minah merasa sangat teriris hatinya. Chaya berjuang dengan penyakit leukimia dari dia berusia 2 tahun, Bik Minah tahu betul bagaimana keadaan Chaya. Dia tidak pernah baik-baik saja. Seandainya, keluaganya benar-benar peduli, sayang mereka hanya peduli pada Sintya, anak pertama mereka. Bahkan, Chaya seperti bukan anak kandung. Mereka memperlakukan Chaya seperti orang lain.
"Sepertinya harus minum obat biar bisa sedikit lebih seger," ucap Bik Minah menghibur. Padahal, dia sendiri selalu khawatir melihat wajah pucat Chaya dan juga tubuh lemahnya.
"Perasaan sama saja, Bik. Dari kecil aku nggak pernah nggak minum obat, tapi gini-gini aja."
"Hus, nggak boleh ngomong gitu. Allah tidak suka sama orang yang mudah menyerah."
"Iya, aku tahu," Chaya berusaha memaksakan diri untuk tersenyum. "Yang lain sudah makan?"
Yang lain yang Chaya maksud itu adalah keluarganya, bisa dibilang Chaya jarang makan bersama di meja makan bersama mereka. Chaya lebih sering makan di kamar atau paling tidak dia makan bersama para pembantu dan para supir di dapur. Orang tuanya sering tidak suka jika Chaya ikut makan bareng mereka.
"Belum, Papa belum datang, Mama juga belum pulang arisan. Kalau Kakak sepertinya dia tidak keluar kamar sejak masuk kamar habis disamperin Mas Angga, Non. Kakak kan biasa gitu kalo lagi mens."
"Oh, gitu."
"Iya, sekarang Non makan dulu. Habis itu obatnya di minum."
Chaya mengangguk lemah
....
Chaya Bagaskara, nama yang Chaya dapatkan dari keluarganya. Meskipun mereka tidak peduli padanya, setidaknya dia masih memiliki nama 'Bagaskara' di belakang namanya. Satu-satunya yang bisa dia banggakan saat ini.
Nama Chaya sendiri memiliki arti bayangan, Chaya berasal dari bahasa Yunani, setidaknya itu yang Chaya ketahui dari Neneknya. Yang memilih nama Chaya memang neneknya, menurutnya nama itu sangat pas untuk putri kedua seorang Arif Bagaskara, Chaya akan selalu ada untuk mereka sebagaimana bayangan yang selalu ada untuk setiap manusia. Lebih dari itu, neneknya berharap Chaya mampu menarik seluruh kasih sayang dari keluarganya, mampu menopang kemakmuran keluarganya.
Sayangnya, saat neneknya meninggal sejak Chaya berusia 10 tahun, nama Chaya sendiri semakin tergambar pada diri Chaya. Neneknya mungkin lupa bahwa bayangan memang selalu ada di setiap manusia, tapi manusia sendiri bahkan tidak peduli dengan bayangan mereka. Mereka tidak pernah benar-benar memperhatikan keberadaan bayangan mereka, bahkan mungkin mereka menganggap bayangan itu tidak ada. Seperti itulah Chaya di mata keluarganya saat ini.
Chaya keluar dari kamar mandi dengan sedikit sempoyongan, dia baru saja memuntahkan makan malamnya. Tubuhnya lebih sering menolak makanan yang dia makan, sehingga tubuhnya semakin ringkih dan lemah.
"Tuhan, aku tidak apa-apa. Aku baik kok, aku hanya sedikit lelah. Kalau boleh, malam ini aku ingin tidur dengan tenang." Chaya bermonolog.
Bisa dikatakan itu adalah sugesti terbaik untuk dirinya ketika penyakit ganas itu berusaha untuk meruntuhkan kekuatan tubuhnya. Chaya masih bisa memeluk tubuhnya sendiri di tengah keterbatasannya. Dia tidak ingin menyerah.
"Aku kuat, Tuhan," ulangnya.
Pusingnya tak reda juga, dia berusaha mencari obat di dalam laci samping tempat tidurnya. Tidak sulit, dia mengambil beberapa obat yang dikhususkan untuknya. Dari saking terbiasanya, dia mampu menelan obat tanpa perlu bantuan air.
"Tuhan, bantu aku tidur dengan tenang," sugestinya lagi. "Besok ada hari yang lebih cerah untuk kunikmati. Bantu aku, Tuhan."
Chaya selalu berharap esoknya dia masih diberikan waktu untuk membuka mata dan menikmati hari-harinya dengan baik. Karena dengan keadaannya, Chaya tidak tahu kapan waktunya tiba-tiba terhenti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments