Hujan mengguyur kota malam ini. Suasana malam terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya.
Bagi Chaya, rasanya tidak ada beda. Hidupnya tetap begini saja. Hanya saja, di rumahnya akhir-akhir ini semakin ramai orang berdatangan, Chaya tahu itu berkaitan dengan pernikahan Sintya dan Angga yang sudah di depan mata, tinggal menghitung hari.
"Dingin sekali, tapi aku tidak bisa tidur."
Chaya merengkuh tubuh ringkihnya, dingin menusuk tulang. Hoodie yang dipakai tak membuatnya lolos begitu saja dari dinginnya malam. Entah sudah berapa jam hujan tak juga reda. Sejak hari berganti malam, hujan langsung mengguyur kota dengan deras.
Penghuni rumahnya sudah sepi, mungkin mereka pada bergegas tidur. Tidur dengan keadaan hujan dan menutupi tubuh dengan selimut lebih nikmat, katanya. Nyatanya tak begitu, Chaya tak bisa tidur justru karena terlalu dingin.
"Ini kapan aku bisa tidur?"
Tidak ada tanda-tanda kantuk akan menyerang, Chaya menyentuh ubin yang sedingin es. Chaya menuruni ranjang, dia tertarik melihat ke luar rumah melalui jendela kamar.
Chaya melangkah perlahan, tepat di depan jendela dia berdiri dan menyibak tirai. Pemandangan di luar tak begitu jelas, lampu depan sepertinya sudah dimatikan. Hujan juga terlihat enggan sekali pergi, nadanya menenangkan. Chaya ingin sekali merasakan hujan, sayang kena air hujan sedikit saja dia akan demam berhari-hari dan bisa berakhir di rumah sakit.
"Itu siapa depan pagar?"
Chaya sedikit panik.
"Apa itu maling?" tanya Chaya lagi. "Apa seperti itu bentukan maling di dunia nyata? Apa aku harus bangunkan orang rumah?"
Chaya melihat orang berdiri di depan pagar rumahnya, orang tersebut tampak menggunakan payung. Kalaupun orang iseng, rasanya sangat tidak mungkin. Yang lebih memungkinkan orang itu adalah orang jahat, mengingat orang tua Chaya merupakan orang terkenal di kota ini.
"Ya, sepertinya aku harus bangunkan orang rumah, jangan sampai rumah ini kemalingan." Chaya terlihat panik sendiri.
Chaya sedikit tergesa menuju pintu kamar, tapi dia balik lagi pada jendela kamar guna memastikan lebih jelas.
Seksama, Chaya melihat kembali orang yang masih berdiri di depan pagar rumahnya. Dari gerak-geriknya sama sekali tidak mencurigakan, orang tersebut seperti sedang menatap ke kamar sebelah. "Kamar Kak Sintya?" gumam Chaya.
Dengan keberanian yang tak banyak Chaya membuka jendela kamar, tampak orang tersebut menyadari keberadaan Chaya. Chaya melihat ke kamar sebelah yang tampak sudah gelap, Sintya sudah pasti tidur.
"Mas Angga? Iya, dia Mas Angga," gumam Chaya lagi.
Kali ini Chaya dapat melihat orang tersebut dengan jelas, dan benar saja orang itu adalah Angga. Tampaknya Angga tengah melambaikan tangannya pada Chaya, terlihat bibirnya juga bicara, tapi sayang Chaya tak dengar. Suaranya hilang tergerus suara hujan.
"Ngapain Mas Angga malam-malam gini ada di depan rumah? Apa dia mau bertemu dengan Kak Sintya? Kenapa nggak bertamu tadi aja pas belum larut malam gini." Chaya berbicara sendiri.
Kasihan juga melihat Angga tetap berdiri. Terbesit untuk turun menemui Angga tapi Chaya ragu. Dia tidak pernah keluar malam-malam, apalagi hujan. Chaya juga ingat bagaimana sikap Angga terhadapnya selama ini. Sungguh menyebalkan, tidak mencermin bahwa dia calon kakak ipar yang baik.
"Biarkan saja, nanti kalo kedinginan pasti balik sendiri."
Chaya naik ke atas kasur, niatnya ingin tidur. Entah kenapa Chaya masih kepikiran Angga, bagaimana jika dia memang sangat perlu dengan Sintya, makanya dia sampai rela hujan-hujanan tengah malam begini.
"Apa aku turun saja?" Chaya ragu, ini bukan solusi yang baik. Namun, dibanding harus membangunkan Sintya yang sama saja dengan membangunkan singa yang sedang tidur, Chaya lebih memilih untuk turun saja.
Chaya turun ke lantai bawah, lantai bawah sidtah gelap sekali, tak tampak ada kehidupan. Sepertinya seluruh penghuni sudah tidur. Chaya menuju dapur, dia akan keluar lewat dapur. Chaya tidak bisa keluar lewat depan. Chaya tidak tahu kunci pintunya dipegang siapa, sedangkab kunci pintu dapur ada di dalam wajan yang tergantung di dinding. Kata Bik Minah, itu cara ampuh agar kunci tak hilang.
Meski sudah menggunakan payung, saat keluar Chaya merasakan dingin semakin bertambah berkali-kali lipat. Chaya mempercepat langkahnya, Angga sudah memperhatikan Chaya sejak dia berjalan dari arah pintu belakang.
"Ngapain?"
"Hah?" Chaya kebingungan dengan pertanyaan Angga.
"Kamu ngapain? Aku nggak ada perlu sama kamu," ujar Angga dingin, lebih dingin dari air hujan.
Ingin sekali Chaya berani bilang kalau dia turun untuk menemuinya karena Chaya kasihan melihat Angga yang kehujanan. Tadi juga Angga seperti melambaikan tangan ke arah Chaya, Chaya pikir Angga butuh bantuannya. Tapi ....
"Aku itu perlu sama Sintya, kenapa kamu yang turun?" Lagi. Mulut Angga sepertinya penuh dengan bongkahan batu es, mungkin karena dia sudah terlalu lama berdiri di tengah derasnya hujan. Dingin sekali.
Chaya dan Angga bicara dibatasi pagar, Chaya tidak bisa membukakan pintu untuk Angga karena dia sendiri tidak tahu siapa yang bertugas memegang kunci gerbang.
"Mas ngapain tengah malem depan rumah, ujan lagi?"
"Budeg? Itu telinga biasanya dipake buat apa sih? Aku nggak bakal ke sini kalo nggak karena aku ada perlu sama Sintya!"
"Ya, tapi Kak Sintya sudah tidur. Mas bisa liat sendiri kamar Kakak sudah gelap. Kenapa nggak telpon dulu tadi?" Chaya masih bicara dengan lemah lembut.
Angga merasa benar-benar sial sepanjang hari ini, seharian pekerjaannya di kantor banyak yang tidak beres. Tiba-tiba Sintya tak bisa dihubungi sejak sore padahal mereka tidak ada bertengkar atau bagaimana, dan sekarang niat hati ingin menemui Sintya yang datang malah manusia polos dan lemah ini.
"Kalau Sintya bisa ditelponin aku juga nggak bakal datang ke sini."
Heran. Chaya tidak tahu apakah manusia di depannya yang hanya berbatas pagar besi ini bisa bicara dengan baik atau tidak. Kenapa Sintya bisa kecintaan dengan manusia seperti ini, tidak ada baik-baiknya sama sekali.
"Kalian lagi marahan?"
"Nggak!"
"Terus?"
"Cerewet kamu ya!"
"Aku ke sini mau bantuin Mas Angga, siapa tahu aku bisa bantu."
Angga benar-benar jengah. "Manusia seperti kamu bisanya apa?"
Chaya diam.
"Sudah berulang kali aku bilang, aku butuh sama Sintya. Aku ingin memastikan dia kenapa sampai tidak bisa dihubungi. Sampai sini paham?"
"Aku nggak ada urusan sama kamu dan nggak pernah mau ada urusan sama manusia kayak kamu. Amit-amit."
Sepertinya keputusan Chaya untuk turun dan menemui Angga adalah sebuah kesalahan besar. Harusnya Chaya biarkan saja Angga menunggu di depan pagar sampai pagi. Toh, benar dia tidak ada urusan sama Chaya.
Tanpa bicara lagi, Chaya balik badan. Chaya berniat untuk balik ke atas. Dia sudah sangat kedinginan, semoga saja dia tidak pingsan sebelum sampai di kamar.
"Mau ke mana?"
"Balik."
"Harusnya kalau kamu berniat bantuin, kamu balik ke atas sana, bangunin Sintya dan bilang kalau ada aku di sini menunggu."
Maunya apa sih? Chaya kesal juga akhirnya. Tadi marah-marah, sekarang malah binta supaya Chaya bangunin Sintya.
"Tadi bilangnya nggak ada urusan sama aku."
"Tadi bilangnya mau bantuin."
"Terus?"
"Panggilin Sintya."
"Nggak."
"Panggilin nggak! Aku ini calon kakak ipar kamu!"
....
Di sini juga akhirnya. Chaya masuk kamar karena dia sudah sangat tidak kuat dengan dingin. Barusan pula dia habis dimaki-maki parah oleh Sintya. Ya, Chaya nurut kemauan Angga. Daripada dia sampai pagi di depan pagar, terus dia bilang kalau semalam Chaya turun tapi nggak mau bantuin kan lebih panjang urusannya. Meskipun Chaya tahu sendiri apa resiko ketika membangunkan macan yang sedang tidur.
"Hidup mudah dibikin rumit," gumam Chaya saat melihat di bawah sana Sintya dan Angga tengah beradu argumen. Entah apa yang jadi topik masalahnya.
Kadang mereka semesra surat dan perangko, tapi kadang mereka layaknya kucing dan anjing. Apa seperti itu hidup dengan pasangan? Kira-kira manusia seperti Chaya akan punya pasangan tidak, ya?
"Aku tidak mau menemui dia, kamu saja yang temui dia."
"Aku tidak butuh dia, bilang kalau aku tidak mau ketemu."
"Aku tidak mau ketemu dia, Chaya!" Sintya setengah berteriak.
"Aku tidak mau menikah dengan dia! Aku tidak mau dengan pernikahan ini! Bilang sama dia!"
Chaya tiba-tiba kepikiran semua yang diucapkan Sintya tadi saat Chaya maksa agar Kakaknya itu mau turun. Apa yang menyebabkan Sintya semarah itu? Padahal kemarin-kemarin mereka baik-baik saja. Kok tiba-tiba Sintya bicara seperti itu saat pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.
"Semoga lancar sampai hari H. Papa sama Mama pasti akan sangat senang karena anak pertama mereka akan menikah."
"Jika aku yang menikah, apakah Papa dan Mama akan bahagia juga?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments