"Di mana anak itu?"
"Kata Bi Minah dia di kamar, lagian anak itu juga nggak pernah ke mana-mana. Tumben sekali kamu menanyakan anak itu?"
Arif dan Mayang adalah kedua orang tua Chaya dan Sintya, orang tua yang tidak pernah memperlakukan Chaya sama dengan Sintya. Mereka menganggap Chaya hanyalah patung di rumah ini. Tidak pernah menganggap keberadaan Chaya, satu-satunya kepedulian mereka terhadap Chaya adalah tentang pengobatan penyakit Chaya, meski tidak peduli terhadap Chaya, mereka masih mau membelikan obat-obatan yang dibutuhkan Chaya.
"Apa kata dokter kemarin? Kamu kan yang antar dia chek-up," ujar Arif pada istrinya.
"Bukan, yang antar Pak Naryo. Aku nggak tahu hasilnya. Aku bilang sama dokter agar hasilnya di kirim melalui email saja. Aku belum dapat emailnya," jawab Mayang. Tangannya masoh sibuk merias diri.
"Belum dapat atau belum kamu cek?"
Mayang yang sedang merias diri karena sebentar lagi dia akan ikut suaminya bertemu dengan klien tampak tak suka dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Arif suaminya, seperti tuduhan.
Dengan tetap tak bergeming di depan kaca rias, Mayang menjawab apa yang suaminya tanyakan. "Harusnya kamu tidak perlu menanyakan hal itu, kamupun sudah tahu apa jawabannya."
Arif mengangguk mendengar jawaban dari Mayang, yah lagi pula mereka juga sama-sama tidak peduli terhadap Chaya. Mereka tidak pernah menginginkan keberadaan Chaya. Sejak adanya Chaya, rencana mereka untuk menjadikan Sintya pewaris tunggal di keluarga ini berantakan. Chaya ada karena keteledoran mereka.
"Kamu sudah siap?" Tanya Arif mengalihkan pembicaraan. Membahas soal Chaya membuat mereka mumet, padahal masih banyak pekerjaan yang lebih penting untuk mereka urusi. "Jangan lama-lama, klien kita yang ini sangat on time."
"Tunggu sebentar, aku sedang memasang anting yang kamu belikan pas ulang tahun pernikahan kita. Sayang sekali jika anting ini dibiarkan nganggur. Kamu membeliku tentu tidak murah kan, sayang?"
"Aku tidak pernah membelikan barang murahan untuk orang yang aku sayang."
"Aku mengerti."
Setelah siap, keduanya turun ke meja makan. Jam menunjukkan pukul 8 lewat lima belas menit. Mereka akan bertemu klien jam 10 nanti, namun karena jakarta yang super macet mengharuskan mereka berangkat lebih awal. Arif sengaja tidak berangkat dari kantor karena semalam Mayang sudah mewanti-wanti agar mereka berangkat bersama.
"Kami tidak sarapan pagi ini, namun untuk menjaga-jaga, tolong siapkan bekal kami di jalan, kami takut macetnya cukup lama," perintah Mayang pada salah satu pembantunya.
Tepat saat Mayang dan Arif menunggu bekal yang diminta disiapkan, Sintya putri kesayangan mereka baru saja turun dari lantai atas. Penampilannya cukup rapi, dia pasti akan berangkat kerja. Pekerjaannya sebagai model yang memiliki jam kerja tak menentu terkadang membuat Sintya harus menjelaskan berulang kali pada kedua orang tuanya.
"Hari ini sampai jam berapa?"
Sintya baru saja bergabung dengan kedua orang tuanya, dia sudah mendapatkan pertanyaan klise dari Papanya.
Tangan lentik Sintya segera mengambil susu hangat yang sudah tersedia, "Mungkin sampai malam. Jadwal hari ini cukup padat," jawabnya.
Arif dan Mayang tampak tak suka dengan jawaban Sintya, mereka memang sudah biasa mendapati Sintya bekerja sampai larut malam. Tapi, untuk malam ini harusnya Sintya mengosongkan jadwal, kalaupun harus tetap bekerja, Sintya harusnya pulang lebih awal. Mereka sudah merencanakan ini jauh-jauh hari.
"Kamu tidak lupa kan nanti malam ada apa?" ucap Mayang mengingatkan.
Satu potong roti tawar dengan selai kacang kesukaannya sudah habis, Sintya tak niat menambah.
"Ya, aku ingat."
"Lalu?"
"Akan aku usahakan pulang lebih cepat," ujar Sintya, tapi kedua orang tuanya tak yakin dengan apa yang Sintya katakan. "Jam 8 malam kan?"
"Papa harap kali ini kamu bisa dipercaya."
....
Malam ini adalah malam yang Angga tunggu-tunggu, pertemuan keluarga antara keluarga Angga dan juga keluarga Sintya. Mereka tunangan sudah hampir tiga tahu, dan ini adalah saat-saat yang Angga sangat nantikan. Tapi, kali ini wajah Angga tampak tak tenang, bagaimana dia bisa tenang jika kedua orang tuanya dan juga orang tua Sintya sudah berkumpul sedangkan Sintya tak tampak batang hidungnya.
"Kemana, Sin," gumam Angga jengah, dia menahan emosinya agar tak meledak malam ini.
Sintya tak bisa dihubungi, ponselnya tak aktif. Angga tahu jika Sintya hari ini ada pemotretan, jadwalnnya sangat sibuk dan padat. Sebenarnya, mereka sempat berdebat, Angga yang meminta Sintya mengosongkan jadwalnya malam ini membuat Sintya marah. Sintya beralasan jika dia sudah jauh-jauh hari menaruh jadwalnya, tidak segampang itu mengotak-atik. Perdebatan mereka berakhir dengan kesepakatan jika Sintya akan pulang lebih awal, begitu juga penuturan kedua orang tua Sintya tadi, Sintya akan pulang lebih awal. Namun, ini apa? Sintya bahkan tak bisa dihubungi.
"Apa tetap tak bisa dihubungi?" suara berat dan tegas menyapa telinga Angga.
Angga membalikkan badannya, emosinya dia tahan betul-betul.
"Belum bisa, Pa," jawabnya.
Raut kecewa tampak dari wajah Papa Sintya yang juga telah Angga anggap Papanya sendiri. Perjodohan antara dirinya dan Sintya mungkin perjodohan bisnis, Papinya menginginkan Angga berjodoh dengan Sintya karena Papa Sintya menjanjikan beberapa proyek dan saham, mereka berteman bisnis cukup lama. Meski Angga dan Sintya dijodohkan karena urusan bisnis, tapi keduanya sama-sama saling suka, saling cinta, dan saling ingin memiliki, karena jauh sebelum adanya perjodohan, mereka sudah bersama.
"Padahal dia sendiri yang bilang tadi pagi, dia akan pulang lebih awal."
"Mungkin pekerjaannya belum selesai, kita tunggu saja," ujar Angga. Sejujurnya, dia juga sangat kecewa, karena pertemuan malam ini adalah pertemuan penting, mereka akan membahas soal pernikahan keduanya yang sudah di depan mata.
"Untung Sintya mendapatkan orang sepertimu, tidak dibayangkan jika orang lain yang jadi tunangannya. Sintya tidak pernah mau berubah."
"Aku tidak apa-apa, Pa. Sintya begini juga karena dia masih ada pekerjaan yang belum selesai, kita juga harus memahami dia, memahami pekerjaan dia."
"Sudah lama Papa minta Sintya berhenti dari pekerjaannya ini. Biar dia gabung di perusahaan Papa yang mana pun, tapi kamu tahu dia, sama sekali dia tidak menggubris omongan Papa."
Angga memaksakan senyumnya. Sintya benar-benar keras kepala, selama ini Angga selalu mengalah demi Sintya, demi rasa cintanya. Terkadang, Angga merasa Sintya tidak benar-benar mencintainya, tapi secepat mungkin Angga menepis pikiran buruk semacam itu. Mana mungkin Sintya tidak mencintainya, bukankah Sintya yang jatuh cinta lebih dulu?
"Ayo kita tunggu Sintya di dalam saja, mungkin sebentar lagi dia datang."
"Iya, ayo, Pa."
.....
"Bi, Papa sama Mama ke mana kok nggak ada?" tanya Chaya.
Setelah seharian hanya berbaring di atas ranjangnya, Chaya memberanikan diri turun dari kamarnya, Chaya ingin makan malam di dapur bersama para pembantunya.
"Non Chaya nggak tahu?" tanya Bik Mamut sewot, dia sejak awal terlihat kurang suka dengan Chaya.
"Dia tidak tahu, makanya dia tanya," balas Bik Minah dengan sewot pula. Bukan, bukan sewot pada Chaya, Bik Minah membalas sewot pada Bik Mamut. Bik Minah sudah beberapa kali memperingati Bik Mamut agar bersikap sopan pada Chaya, bagaimanapun Chaya juga majikan mereka.
"Gimana mau tahu, orang dari pagi ngurung diri di kamar."
"Heh! Yang sopan, ya, kalo ngomong. Siapa juga yang mau ngurung diri di kamar seharian kalau bukan karena sakit. Awas aja kamu sakit, tak suruh kamu tetap kerja," Bik Minah tetap tak mau kalah.
Chaya tak ambil hati omongan Bik Mamut, dia sudah biasa dengan sikapnya. Chaya penasaran ke mana perginya kedua orang tuanya, apa ada urusan bisnis lagi? Lagi pula, mereka banyak sekali urusannya, beda dengan Chaya yang mengurusi penyakitnya yang tak kunjung sembuh.
"Papa dan Mama lagi ada pertemuan sama keluarga Den Angga, Non. Mereka sedang merapatkan pernikahan Non Sintya dan Den Angga," Bik Minah menjelaskan dengan lembut.
Ah, Chaya lupa jika Kakaknya akan segera menikah. Terkadang Chaya merasa sangat iri dengan Sintya, dia bisa mendapatkan perhatian kedua orang tuanya, dia mendapatkan pasangan yang sempurna dan begitu mencintainya. Kehidupannya penuh dengan rasa cinta. Sedangkan Chaya? Ah, untuk apa dibandingkan. Diberi kesempatan untuk hidup sampai saat ini saja Chaya sudah sangat bersyukur.
"Aku mau makan, Bi," ucap Chaya memberitahu tujuan awal dia pergi ke dapur.
Sebenarnya, lidahnya terasa getir dan hambar. Tapi kalau tidak dipaksakan makan, Chaya bakal dapat kekuatan dari mana?
"Ayo, Non, kita makan sama-sama. Mumpung kita di sini pada belum makan. Non, mau makan apa? biar Bibik siapkan."
"Apa yang ada saja, Bi."
"Bapak ikut makan, ya, Non," sambung Pak Naryo yang baru datang.
Chaya sangat bahagia, makan bersama mereka adalah kebahagiaan baginya. Bahagia yang sederhana.
"Aku nggak ikut makan deh, nggak napsu. Mending makan entaran aja, siapa tahu dibawakan makanan sama Tuan dan Nyonya," ucap Bik Mamut tetap dengan nada sewotnya.
"Nggak usah makan juga nggak apa-apa," balas Pak Naryo dan Bik Minah kompak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
BX_blue
Gak bisa lupain cerita yang dilukiskan oleh author.
2025-01-09
0