BAB 5 : Konflik Baru

Sore itu, matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga yang melukis langit di balik jendela besar gedung perkantoran mewah di pusat kota. Suasana kantor mulai lengang, namun Alena masih sibuk dengan dokumen proyek di tangannya. Dengan langkah cepat, ia menuju ruang kerja Gavin, CEO muda sekaligus calon suaminya dalam pernikahan yang akan segera berlangsung. Meski ia tahu pernikahan itu hanyalah kontrak bisnis, Alena tetap berusaha menjalankan perannya dengan baik.

Saat tiba di depan pintu mahoni yang besar, Alena mengetuk ringan sebelum membukanya perlahan. “Pak Gavin, saya punya ide untuk…” Kata-katanya terhenti saat pandangannya menangkap pemandangan di dalam ruangan.

Emily, asisten Gavin, duduk di kursi depan meja kerjanya. Wanita itu terlihat anggun dengan rambut cokelatnya yang tertata rapi dan sikapnya yang penuh percaya diri dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, suasana di ruangan itu dingin dan tegang, jauh dari kesan hangat. Gavin sendiri duduk di balik mejanya, tetapi kali ini auranya lebih dingin dari biasanya.

“Oh… maaf kalau saya mengganggu,” ujar Alena dengan nada tenang, meski hatinya bergejolak.

Emily menoleh dengan tatapan tajam, tetapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Gavin berbicara dengan nada datar, “Masuk saja.”

Alena melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa gugup dibalik sikapnya yang tenang.

Emily menjawab sebelum Gavin sempat membuka mulut. “Beberapa investor tetap menarik diri meski kita sudah mengadakan konferensi pers kemarin. Sekarang muncul isu baru.”

Alena mengerutkan kening. “Isu apa?”

Emily menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Ada rumor bahwa kamu adalah orang ketiga antara pak Gavin dan bu Clara. Rumor ini menyebar dengan cepat dan semakin merusak reputasi perusahaan.”

Alena tertegun. Isu itu membuat dadanya terasa sesak, meski ia tahu bahwa rumor tersebut tidak sepenuhnya tanpa dasar. Pernikahannya dengan Gavin memang hanya sebuah kontrak, dan hubungan Gavin dengan Clara, baru saja kandas akibat Gavin membatalkan pernikahan secara sepihak. Namun, Alena mencoba tetap tenang.

“Rumor itu tidak benar. Tapi kalau memang itu yang dipercaya publik, saya tidak bisa melakukan apa-apa,” jawab Alena, berusaha terdengar tenang, untuk mengendalikan dirinya. 

Sebelum Emily bisa menambahkan komentar, Gavin tiba-tiba bersuara, “Emily, tinggalkan ruangan ini. Sekarang.”

Emily tampak terkejut, tetapi segera berdiri dan melangkah keluar tanpa banyak bicara. Saat pintu tertutup, Alena menatap Gavin dengan tatapan bingung.

“Kenapa anda menyuruhnya keluar?” tanya Alena pelan.

Gavin menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap dingin. “Aku tidak ingin ada yang tahu tentang perjanjian pernikahan kontrak kita. Itu bukan urusannya.”

Alena menunduk sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk berkata, “Kalau begini caranya, mungkin lebih baik kita membatalkan pernikahan ini. Isu-isu ini hanya akan membuat situasi semakin sulit.”

Gavin menatapnya tajam, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. “Tidak. Kita tetap melanjutkannya.”

“Tapi—”

“Tidak ada tapi, Alena,” potong Gavin. “Pernikahan ini bukan hanya tentang kita. Ini menyangkut banyak hal—perusahaan, investor, dan reputasi keluarga. Membatalkannya sekarang hanya akan memperburuk segalanya.”

Alena terdiam, menatap pria di depannya yang begitu berbeda dari sosok Gavin yang dulu ia kenal. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa Gavin sudah mengambil keputusan, dan seperti biasa, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.

“Baiklah,” gumam Alena akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Meski hatinya terasa hampa, ia sadar bahwa sejak awal, ini semua hanyalah permainan. Sebuah permainan yang kini mulai menyesakkan.

Alena diam sejenak setelah mendengar keputusan Gavin. Suasana di dalam ruangan itu terasa semakin berat, seperti ada sebuah beban yang mengikat hatinya. Namun, ia tahu ia tak bisa melawan takdir yang sudah ditentukan. Dengan langkah yang agak goyah, ia berbalik dan menuju pintu, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh keraguan.

Namun, saat ia hendak memutar gagang pintu, suara Gavin yang datar menghentikannya.

"Alena," panggil Gavin dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, tetapi tetap terdengar penuh jarak.

Alena menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Gavin yang sulit dibaca. Pria itu berdiri di balik mejanya, memandangnya dengan ekspresi yang jauh lebih tenang, meskipun tak bisa menyembunyikan keseriusan dalam suaranya.

"Jangan terlalu formal padaku, kita akan segera menikah jika kamu bersikap seperti itu kita akan terbongkar." kata Gavin sambil berjalan mendekati Alen, suaranya tidak sekeras biasanya. "Jadi, kita harus mulai beradaptasi satu sama lain." Gavin menunduk menatap mata Alena lebih lekat. 

Alena tertegun. Pernyataan itu terasa seperti angin segar di tengah kerumitan yang membelit pikirannya, meskipun masih ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang. Ia menatap Gavin dengan bingung. "Maksudmu?"

"Lebih santai," jawab Gavin, masih dengan nada yang tenang, namun sedikit lebih manusiawi. "Kita akan menjalani hidup bersama, meskipun ini semua lebih banyak tentang urusan bisnis daripada perasaan, tapi setidaknya kita bisa berkomunikasi dengan lebih baik."

Alena menggigit bibir bawahnya, ragu untuk berbicara lebih jauh. Ia sadar, pernikahan kontrak ini memang bukan seperti pernikahan biasa, tapi kenyataan bahwa Gavin menginginkan mereka untuk berinteraksi dengan lebih santai sedikit banyak membuat hatinya terangkat. Meskipun ia masih merasa canggung, ada sedikit harapan yang muncul, mungkin ini adalah langkah pertama menuju hubungan yang lebih manusiawi, meski tidak didasarkan pada cinta.

“Aku mengerti,” jawabnya akhirnya, suara Alena terdengar lebih lembut daripada yang diharapkan. "Aku akan mencoba."

Gavin mengangguk, wajahnya kembali menjadi lebih serius meskipun sedikit lebih rileks. "Itu lebih baik."

Dengan langkah yang sedikit lebih mantap, Alena membuka pintu dan melangkah keluar dari ruangan Gavin. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi setidaknya untuk saat ini, ada sedikit ruang untuk perubahan dalam hubungan mereka. Begitu pintu tertutup di belakangnya, Alena menarik napas panjang dan berjalan melewati lorong dengan perasaan campur aduk, seperti melangkah menuju masa depan yang tidak pasti, tetapi setidaknya sedikit lebih ringan.

Setelah pintu ruang kerjanya tertutup, Gavin duduk kembali di kursinya, tangannya terulur menuju ponsel di meja. Ia menatap layar ponsel yang masih menyala, menunggu sejenak, sebelum akhirnya menekan beberapa tombol dan menelpon seseorang dengan suara yang tegas.

Nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya sebuah suara berat menjawab di ujung sana. Gavin menatap lurus ke depan, matanya dingin, suaranya datar namun tegas.

“Bereskan semuanya. Aku tidak ingin ada celah sedikitpun,” ucapnya dengan nada yang penuh perintah, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Setelah itu, tanpa menunggu jawaban panjang, ia langsung menutup sambungan telepon. Hening, rencana besar itu akan segera dimulai tanpa ada yang mengetahuinya selain dirinya.

Terpopuler

Comments

Nơi đầy ánh nắng

Nơi đầy ánh nắng

Baper abis!

2024-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!