BAB 4 : KONFERENSI PERS

Gedung konferensi Alessandro Corporation dipenuhi hiruk-pikuk wartawan dari berbagai media ternama. Kamera, mikrofon, dan lampu kilat sudah siap diarahkan ke satu sosok yang mereka tunggu sejak pagi. Isu tentang pembatalan pernikahan Gavin Alessandro masih menjadi perbincangan hangat, dan hari ini publik menantikan jawaban langsung darinya.

Suasana di luar gedung tidak kalah ramai. Barisan mobil berderet rapi, sementara bodyguard berjas hitam sibuk mengatur lalu lintas manusia agar tetap tertib. Ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan pintu utama, semua mata tertuju pada kendaraan itu. Pintu terbuka, dan keluarlah Gavin Alessandro dengan langkah mantap. Senyum percaya dirinya seakan menutupi badai rumor yang tengah melanda hidupnya.

Di sampingnya, Alena melangkah keluar. Penampilannya elegan dengan balutan gaun sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya memancarkan ketenangan yang kontras dengan riuhnya wartawan di sekeliling mereka. Sejenak, suasana jadi semakin gaduh.

“Gavin! Tolong berikan pernyataan!” teriak seorang wartawan dari barisan depan.

“Siapa wanita itu, Gavin?!” sambung yang lain.

Namun, para bodyguard sigap membentuk barikade, menahan kerumunan yang mencoba mendekat terlalu jauh. Salah satu dari mereka dengan suara lantang berkata, “Silakan masuk ke dalam ruangan konferensi. Semua pertanyaan akan dijawab di dalam.”

Sorak-sorai wartawan terus mengiringi langkah Gavin dan Alena hingga mereka masuk ke gedung. Di dalam, suasana jauh lebih teratur. Para jurnalis sudah duduk di kursi masing-masing, mikrofon di depan mereka siap merekam setiap kata. Lampu sorot panggung menyoroti meja panjang di tengah ruangan, tempat Gavin akan memberikan pernyataan resminya.

Dengan tenang, Gavin berjalan menuju mikrofon. Ia berdiri tegap, menatap ruangan penuh wartawan yang tak sabar mendengarnya berbicara.

“Selamat pagi, semua,” Gavin membuka suaranya. “Saya Gavin Alessandro. Tujuan konferensi pers kali ini adalah untuk meluruskan isu yang beredar beberapa waktu terakhir.”

Hening seketika. Semua wartawan menyiapkan alat tulis, kamera, dan perekam.

Seorang wartawan senior langsung melontarkan pertanyaan pertama. “Tuan Gavin, apa alasan Anda membatalkan pernikahan dengan Clara Nathania Lim?”

Gavin menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya tenang dan terukur. “Pembatalan pernikahan dengan Clara terjadi karena kami memiliki perbedaan tujuan hidup. Saya menghargai hubungan yang pernah ada, dan saya tidak ingin ada kesalahpahaman lebih jauh. Saya harap publik bisa menghargai keputusan pribadi ini.”

Namun wartawan tak berhenti di situ. Seorang jurnalis wanita angkat tangan. “Lalu, siapa wanita yang bersama Anda hari ini? Apa hubungan Anda berdua? Dari mana Anda berdua bertemu?”

Tatapan kamera serentak mengarah pada Alena yang duduk di samping Gavin. Senyumnya kaku, namun ia tetap menjaga ketenangan.

“Alena,” jawab Gavin singkat namun penuh penekanan, “adalah seseorang yang sangat spesial. saya dengan bangga ingin mengumumkan bahwa kami akan segera menikah.”

Sontak, ruangan bergemuruh. Suara kamera berkilat berkali-kali.

“Bagaimana bisa tiba-tiba begini?” celetuk seorang wartawan muda. “Apakah pembatalan pernikahan dengan Clara ada hubungannya dengan orang ketiga? Lalu kapan pernikahan Anda dengan Alena akan dilaksanakan?”

Gavin tetap tersenyum, meski matanya menunjukkan kewaspadaan. “Tidak ada hubungannya dengan orang ketiga. Saya bertemu Alena setelah keputusan pembatalan pernikahan. Untuk pernikahan kami, detailnya masih kami rencanakan.”

Beberapa wartawan tampak mengangguk, namun suasana belum reda. Tiba-tiba, seorang wartawan senior yang dikenal tajam dalam pertanyaan mengangkat tangannya.

“Tuan Gavin, bagaimana dengan rumor yang beredar di luar sana, tentang orientasi anda? Apakah itu menjadi alasan pembatalan pernikahan dengan Clara?”

Ruangan seketika sunyi. Beberapa wartawan menahan nafas, menanti jawaban. Gavin menatap pria itu dingin, lalu berkata singkat, “Saya tidak akan menjawab pertanyaan itu.”

Melihat situasi memanas, Emily yang berdiri di sisi ruangan segera melangkah maju. “Saya rasa cukup untuk hari ini. Terima kasih atas perhatian rekan-rekan media. Pernyataan resmi sudah jelas disampaikan.”

Wartawan masih berusaha berteriak memanggil nama Gavin, namun bodyguard segera bergerak. Gavin dan Alena bangkit, berjalan keluar ruangan dengan tenang. Mereka tampak percaya diri, meski sebenarnya masing-masing menyimpan kegelisahan di hati.

Begitu tiba di luar, Alena melirik Gavin. Dengan suara berbisik ia bertanya, “Bagaimana menurutmu? Apakah kita berhasil?”

Namun Gavin hanya terdiam, tak memberikan jawaban. Alena mendengus pelan, kesal. “Sangat menyebalkan,” gumamnya.

Sementara itu, berita konferensi pers langsung meledak di berbagai media. Judul-judul besar memenuhi portal berita: “Gavin Alessandro Perkenalkan Pasangan Baru: Alena, Bukan Clara Lagi”. Media sosial tak kalah ramai, komentar publik membludak. Sebagian terkejut, sebagian lainnya mendukung, tapi banyak juga yang sinis.

Di tempat lain, di sebuah kamar apartemen mewah, Clara duduk terpaku dengan tablet di tangannya. Wajah cantiknya pucat, matanya memerah. Sejak pagi ia menunggu kabar dari konferensi pers itu, berharap masih ada celah bagi dirinya.

Namun saat membaca berita itu lebih detail, hatinya hancur. Gavin tidak menunjukkan tanda penyesalan. Sebaliknya, ia dengan percaya diri memperkenalkan wanita lain.

“Tidak mungkin!” Teriakan Clara. “Tidak mungkin, Gavin! Bagaimana kamu bisa melakukannya padaku?!”

Dengan kasar, ia membanting tablet ke lantai. Layar retak, suaranya nyaring di ruang sunyi itu.

“Clara, tenanglah,” ucap Rachel, sahabat dekatnya yang sejak tadi menemaninya. “Kamu tahu Gavin punya keputusannya sendiri. Mungkin ini yang terbaik.”

Clara menatap Rachel dengan nyalang. “Aku pikir, masih ada kesempatan. Tapi sekarang? Dia sudah memilih orang lain. Seorang wanita yang tidak jelas asal-usulnya!”

“Kamu pasti. akan mendapatkan yang lebih baik dari Gavin” Ucap Rachel.

Namun Clara hanya membeku. Kata-kata Rachel masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Pikirannya dipenuhi amarah dan rasa dikhianati.

Malam itu, Clara duduk sendirian di kamarnya. Lampu meja menerangi wajahnya yang muram. Tablet barunya menampilkan berita trending tentang Gavin dan Alena. Setiap kata, setiap foto, menusuk hatinya.

Senyum tipis muncul di bibirnya, namun bukan senyum bahagia. Itu senyum getir, senyum seseorang yang tengah menyusun rencana.

Suara langkah kaki terdengar dari sudut ruangan gelap. Seorang pria muncul, mengenakan setelan hitam sederhana, wajahnya nyaris tertutup bayangan. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Dialah tangan kanan Clara, sosok yang setia padanya tanpa pernah bertanya alasan.

“Cari tahu siapa Alena itu,” perintah Clara dengan suara dingin.

Beberapa jam kemudian, ia kembali dengan laporan singkat. “Alena hanya seorang karyawan baru di perusahaan, Nona. Dia yatim piatu, dibesarkan paman dan bibinya di desa.”

Clara mendengus, wajahnya menegang. “Itu saja? Hanya itu yang bisa kau temukan?”

“Untuk saat ini, iya, Nona.”

Tangan kanannya mengepal, dengan suara rendah namun penuh kebencian, Clara berbisik, “Alena… kau pikir bisa mengambil Gavin dariku begitu saja? Aku akan membuatmu menyesal, kau bukan tandinganku."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!