Bab 5. Kedai Mas Dikta

Hari ini adalah pembukaan kedai Dikta. Ia menamai kedainya itu dengan nama Kedai Mas Dikta. Semua perlengkapan sudah selesai. Meja, kursi, gerobak, dan yang lainnya sudah Dikta beli. Semua itu tentunya ia beli menggunakan uang tabungan yang hendak digunakan melamar Sarah, akan tetapi tak jadi ia lakukan karena mantan kekasihnya itu berkhianat.

Resep bakso buatan Dikta cukup menggugah selera. Tentu saja resep ini ia pelajari dari internet, dan ternyata berhasil dan terasa enak, maka dari itu ia memutuskan untuk menjualnya.

Saat hari pertama, membuat bakso tak dilakukannya sendirian. Tentu saja orang-orang yang ada di rumah ikut andil membantu usahanya itu.

Dikta memindahkan kuah bakso ke dandang yang ada di gerobaknya. Pria itu tersenyum sembari menutup dandang tersebut seraya berucap dalam hati, "Semoga dagangan ku laris manis."

Dikta berbalik, ia melihat Diana yang tengah mengelap meja. Saat Diana bertatapan dengan adiknya, wanita itu langsung memasang wajah cemberutnya.

"Apa lihat-lihat? Semua yang ku lakukan pasti ada persenannya. Awas saja kalau tidak dibayar," ucap Diana.

Plakkkk ....

Bu Idah dari belakang memukul anak perempuannya itu dengan kain serbet yang ada di tangannya. "Menolong itu harus ikhlas. Adikmu baru saja menjalankan usaha kamu sudah minta dibayar," tukas Bu Idah memarahi Diana.

Dikta menjulurkan lidah mencoba untuk mengejek Diana, sedangkan Diana hanya bisa melemparkan tatapan tajamnya pada sang adik.

Dikta memposting usahanya itu di media sosial. Berharap teman-temannya akan melihat postingan tersebut dan datang untuk menikmati bakso dagangannya.

Beberapa pemuda desa yang merupakan teman sekolah Dikta datang mengunjungi kedai. Dikta pun dengan senang hati melayani mereka, karena mereka adalah pembeli pertama.

"Ta, aku baru tahu kalau kamu sudah benar-benar pulang ke kampung. Kemarin Bang Jay bercerita, katanya kamu mau buka kedai. Makanya kami ke sini buat cicip bakso dagangan kamu," ucap salah satu dari mereka.

"Iya, aku berhenti dari pekerjaanku dan mencoba membuka usaha," balas Dikta seraya menyodorkan bakso pesanan mereka.

"Silakan dinikmati," lanjut Dikta dengan ramah dan kembali duduk di salah satu kursi yang kosong di meja yang berseberangan.

Mereka tampak menikmati bakso Dikta. Dikta tersenyum, melihat betapa lahapnya teman-temannya itu menyantap bakso buatannya.

"Enak?" tanya Dikta.

Semua orang mengacungkan ibu jarinya, pertanda bahwa bakso jualan Dikta memang membuat lidah bergoyang.

Teman-teman Dikta telah menghabiskan bakso di piringnya. Mereka juga memesan jus buah sebagai penutupnya.

"Ta, hitung semuanya. Soalnya aku yang traktir mereka," ujar salah satu dari mereka.

Dikta pun bersemangat menghitung semua harga makanan yang telah mereka santap. "Totalnya seratus lima puluh sudah sama jus buahnya," ucap Dikta.

Pria yang bernama Agus itu pun langsung menghampiri Dikta. Ia menarik lengan Dikta hingga sedikit menjauh dari rombongan yang lainnya.

"Ta, aku ada segini dulu. Sisanya nanti aku bayar besok ya, atau lusa deh paling lambat," ujar pria yang bernama Agus tersebut menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah pada Dikta.

"Tapi kan Gus, aku baru buka loh. Masa pelanggan pertama ngutang," balas Dikta.

"Astaga, Ta. Kamu pelit banget sih! Tenang aja, nanti kalau aku selesai panen padi, aku bayar dua kali lipat ."

"Panen padi masih lama, Gus. Kan bukannya kemarin sawah kamu baru di bajak? Kapan panennya?" tanya Dikta lagi.

"Ck! Ayolah Ta, jangan pelit. Nanti juga aku bayar. Lagi pula waktu SD dulu kamu sering pinjam penggarisku, pensilku. Jadi, aku utang dulu aja ya. Tenang pasti aku bayar kok." Agus menepuk sedikit punggung Dikta seraya menyunggingkan senyumnya.

Dikta hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Agus yang terlihat sok kaya padahal aslinya nol besar.

"Gayanya traktir, tapi pas bayar malah ketar-ketir," gerutu Dikta seraya membereskan mangkok di atas meja karena rombongan Agus telah pergi meninggalkan hutangnya seratus.

"Agus kebangetan!" lanjutnya kesal.

Diana yang baru saja pulang dari mengantar bekal makan siang untuk suaminya. Ia melihat raut wajah Dikta yang terlihat masam seraya membereskan mangkok di atas meja.

"Mukamu kenapa masam begitu? Harusnya kalau ada yang beli senyum, bukan manyun!" oceh Diana.

"Beli apaan Mba, pelanggan pertama masa ngutang," gerutu Dikta.

"Ya ... kalau cuma ujungnya saja tidak apa-apa. Lagi pula anggap sebagai pemikat pelanggan," balas Diana.

"Pemikat ngutang maksudnya? Lagi pula kalau cuma ujungnya saja, aku juga tidak masalah. Makan total seratus lima puluh, bayar cuma lima puluh. Seratusnya dibayar tunggu panen padi," keluh Dikta.

"Siapa yang ngutang?"

"Agus, traktir kawan-kawannya ujungnya bon dulu," timpal Dikta.

"Memang si b*ngsat Agus ini," ujar Diana seraya meletakkan tangannya di pinggang dan meniup anak rambut yang ada di keningnya dengan kesal.

Setelah dihutangi oleh Agus, Dikta pun belum mendapatkan pelanggan sama sekali. Melihat hal yang seperti ini membuat Dikta menciut. Ia merasa kesal karena kedainya sepi.

Bu Idah melihat putranya melamun sendirian di kedai yang tak ada pembeli sama sekali. Bu Idah pun langsung menghampiri Dikta seraya memegang pundak sang putra dari belakang.

"Usaha pasti ada pasang surutnya. Terkadang sepi, terkadang juga ramai pembeli. Hal yang utama kamu miliki saat membuka usaha yaitu kamu harus menerima resiko yang satu ini. Terkadang, memang sulit. Namun, tidak apa-apa. Ini adalah awal, bukankah merintis dari 0 itu membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa?"

Mendengar penuturan sang ibunda, membuat hati Dikta menghangat. Ia memeluk ibunya dengan erat.

"Maafin Dikta, Mak. Dikta gagal jadi kebanggaan emak dan bapak," ucap Dikta.

Bu Idah mengusap punggung putranya. Meskipun sudah berumur 26 tahun, bagi Bu Idah Dikta tetaplah bayi kecilnya yang masih ingin membutuhkan banyak perhatian.

"Jangan bicara seperti itu, hadirnya kamu di dalam hidup emak sudah membuat emak sangat bangga. Maaf karena emak kemarin terlalu egois. Jujur emak tidak mau jika kamu harus bertani seperti kami. Emak ingin kamu sukses dan hidup enak, cukup emak dan bapak saja yang seperti ini," tutur Bu Idah.

"Aku janji, Mak. Aku akan berusaha untuk menjadi kebanggan emak lagi. Tolong langitkan do'a emak untukku. Agar aku bisa menjadi kebanggaan emak dengan caraku," ucap Dikta.

"Itu sudah pasti," tutur Bu Idah seraya mengembangkan senyumnya.

Tak lama kemudian, dua motor yang dinaiki masing-masing dua orang terparkir di depan. Dikta pun bergegas menyambut pembelinya dengan cepat. Ia melayani pembeli tersebut dengan senang hati. Begitu pula Bu Idah yang turut serta membantu menyiapkan pesanan di saat anaknya keteteran. Diana melihat hal tersebut, menyuruh ibunya untuk beristirahat saja. Ia menggantikan Bu Idah untuk membantu Dikta.

Bersambung .....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!