Bab 4. Membuka Usaha

"Ta ... Dikta!!" Seru Diana mengetuk pintu kamar adiknya dengan sedikit keras.

Tak ada jawaban dari dalam, membuat Diana kembali mengetuk pintu dan meninggikan nadanya 2 oktaf.

"Dikta ... Bangun Dikta!!"

Tak lama kemudian, Dikta pun membuka pintunya dengan mata yang masih sayu.

"Kenapa? Pagi-pagi udah berisik aja," ujar Dikta dengan suara yang sedikit parau, khas orang baru bangun tidur.

"Dik, kamu lagi nggak ada kerjaan kan? Ayo ke ladang, bantuin abangmu sama bapak panen kelapa sawit," ucap Diana mengajak sang adik untuk turut serta membantu.

Dikta diam tanpa berkata apapun. Melihat hal tersebut membuat Diana langsung menyeret adiknya begitu saja.

"Bentar Mbak, aku mikir dulu," protes Dikta.

"Kelamaan!" tukas Diana.

"Ya setidaknya cuci muka dulu, Mbak!"

"Nanti saja di pondok. Air sumur di sana banyak, kamu bisa mandi sekalian."

.....

Singkat cerita, Diana dan juga Dikta tiba di ladang. Mereka berboncengan mengendarai motor supra milik ayah mereka. Sementara kedua orang tuanya tadi berangkat naik motor bersama Jay, suami Diana.

"Loh, kenapa kamu bangunin Dikta?" tanya Bu Idah saat melihat anak bungsunya.

"Dikta yang mau ikut."

Mendengar jawaban Diana membuat Dikta langsung mendelik menatap kakak perempuannya yang baru saja berbohong.

"Memang betina sangat pandai berdusta," ujar Dikta dalam hati.

"Lagi pula biarkan saja, Mak. Dikta kan mau hidup di desa. Biar dia tahu bagaimana rasanya berladang. Sudah dapat pekerjaan yang bagus, dia lepas begitu saja," sambung Diana.

Jay langsung menegur sang istri dengan melemparkan tatapan tajam. Ia ingin Diana lebih mengontrol lidahnya dalam berucap.

Sementara Bu Idah Dan Pak Bahri tak menanggapi ucapan anak perempuannya. Ia tak ingin menyakiti perasaan Dikta yang seolah tak menghargai keputusan putranya itu. Namun, disisi lain mereka pastinya kecewa dengan keputusan yang telah diambil oleh Dikta.

Dikta mencoba untuk memanen kelapa sawit dengan egrek, yaitu alat yang panjang dengan berbentuk bulan sabit di ujungnya. Melihat Dikta yang kesusahan untuk melakukannya, membuat Jay langsung menggantikan Dikta untuk memanen buah sawit tersebut.

"Biar Abang saja. Kamu cukup angkut buah sawit pakai angkong saja, lalu kumpulkan di sana."

Dikta pun langsung menuruti ucapan abang iparnya itu. Satu persatu ia memasukkan buah sawit ke dalam gerobak kecil yang disebut angkong itu.

Dikta melihat ayahnya yang terlihat menghela napas dengan kasar. Tubuh ayahnya yang dulu kekar kini sedikit mengurus dan ringkih, akan tetapi ia masih melakukan pekerjaan kasar seperti ini.

"Bapak istirahat saja, biar Dikta yang melakukannya," ucap Dikta.

"Tidak apa-apa, bapak sudah terbiasa. Bapak tidak mau kamu bekerja kasar seperti ini, Nak. Hidup di desa sangatlah keras," ujar Pak Bahri.

Mendengar kalimat itu, Dikta merasakan kekecewaan yang mendalam yang dirasakan oleh sang ayah. Dikta hanya bisa memandangi punggung ayahnya.

"Pak, hidup di kota juga sama kerasnya. Dikta sudah berusaha untuk mempertahankan pekerjaan Dikta, tetapi itu terlalu sulit," timpal Dikta.

Pak Bahri hanya membalikkan badannya sebentar, laku kemudian kembali menarik angkongnya itu untuk mengangkut buah kelapa sawit yang masih tersisa.

"Pak, aku akan berusaha untuk membahagiakan bapak. Aku janji, Pak. Tapi mungkin jalan yang ku tempuh akan sedikit sulit. Maka dari itu, tolong restui keputusanku, Pak." Dikta hanya bisa berucap dalam hati. Ia tahu, orang-orang sekitarnya mungkin masih kecewa atas keputusan yang ia ambil, yang dirinya anggap sudah tepat, akan tetapi tidak di mata orang lain.

.....

Malam itu, Dikta duduk di bawah pohon mangga yang ada di depan rumah. Di bawah pohon mangga tersebut terdapat kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu. Tak lama kemudian, Dikta mengubah posisinya menjadi berbaring. Ia memandang langit yang hanya terlihat bulan dan beberapa bintang yang menghiasinya.

"Bujangan tidak boleh melamun, nanti kesurupan!"

Mendengar suara tersebut membuat Dikta pun mengarahkan pandangannya ke pemilik suara. Dilihatnya Jay yang tengah menghidupkan rokoknya dengan pemantik yang ada di tangannya.

"Rokok?" tawar Jay seraya menyodorkan bungkus rokok pada adik iparnya itu.

Dikta pun mengambil sebatang rokok tersebut. Pria itu menghirup nikotin tersebut dengan dalam. Seolah mencari ketenangan lewat sebatang rokok yang ada di tangannya.

"Ucapan mbak mu jangan diambil hati. Dia memang agak cerewet, tetapi itu bentuk kepeduliannya padamu," ujar Jay.

"Tidak apa-apa, Bang. Lagi pula aku sudah paham watak mbak Diana." Dikta menjawab dan kembali menghisap rokok yang ada di tangannya.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing seraya menikmati rokok mereka. Tak lama kemudian, Dikta pun kembali bersuara.

"Aku kecewa dengan diriku sendiri Bang, karena aku telah gagal menjadi kebanggaan bapak dan juga emak," turur Dikta.

"Namun, jika diteruskan aku bisa gila," lanjut pria itu.

Jay menoleh ke arah sang adik ipar, pria itu pun menepuk pundak Dikta seolah menenangkan pria tersebut.

"Tidak apa-apa. Kamu sudah berjuang sejauh ini, itu tandanya kamu hebat. Terima kasih telah berusaha untuk menjadi yang terbaik. Sekali pun gagal tidak masalah, kami tetap menyayangimu," ucap Jay.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Abang iparnya itu, membuat Dikta langsung merasa terharu seketika. Selama ia berhenti dari pekerjaannya, hanya Jay yang tampaknya mengerti akan maksud hatinya.

"Aku ingin membuka usaha, Bang. Mungkin aku akan membuat kedai bakso dan jus buah," ujar Dikta.

"Apa kamu yakin ingin membuka gerai makanan?" tanya Jay.

"Iya, Bang. Aku sudah sangat yakin. Sebelum aku pulang ke kampung, aku telah memikirkannya," timpal Dikta.

"Baiklah jika seperti itu. Aku akan mendukungmu. Semoga usahamu berjalan dengan lancar. Jika kamu ingin membuat gerobak ataupun perlengkapan untuk berjualan, Abang akan merekomendasikan teman Abang untuk membuatnya," ujar Jay.

"Boleh juga tuh, Bang. Terima kasih, Bang."

"Iya, sama-sama."

.....

Keesokan harinya, Dikta pun mendatangi tempat membuat gerobak dan yang lainnya untuk perlengkapan berjualan. Ia memesan dua buah gerobak yang nantinya akan memiliki fungsinya masing-masing. Gerobak yang satu untuk berjualan bakso dan yang satunya lagi untuk tempat jus buah.

Dikta memilih berjualan di rumah dan tidak berkeliling. Karena jika menjual dua menu dengan dua gerobak rasanya mustahil.

Rencana Dikta sudah di setujui oleh keluarga. Meskipun sulit, Dikta akan menempuh jalan ini. Dengan membuka usaha, sekecil apapun usahanya, Dikta tetap menjadi pemiliknya. Lain lagi jika Dikta bekerja di tempat orang lain. Sebesar apapun perusahaannya, Dikta akan terus menjadi pesuruh atau pun dengan kata lain adalah karyawannya.

Dengan membuka usaha, setidaknya Dikta tidak lagi mendapatkan tekanan dari orang lain. Dikta ingin dirinya tetap menghasilkan uang, meskipun usahanya dipandang sebelah mata, karena tidak ada yang tidak mungkin jika memang sudah ditekuni.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!