Alarm ponsel Dikta berbunyi. Ia pun meraba benda pipih itu dengan mata masih terpejam. Pria itu menggeser layar ponselnya untuk mematikan alarm yang menjadi pengingat bahwa ia harus bangun.
Perlahan Dikta membuka matanya, menatap waktu sudah menunjukkan pukul 05:30 yang artinya ia harus bangun karena harus berangkat bekerja. Dikta bangun dari tempat tidurnya, sesaat kemudian pria itu teringat akan sesuatu.
"Bukankah aku sudah berhenti bekerja. Berarti aku adalah seorang pengangguran. Untuk apa aku bangun terlalu pagi?" gumamnya menggaruk kepala dan kemudian memilih untuk kembali memejamkan matanya dan menarik selimutnya.
Dikta berencana untuk mengawali hari bebasnya ini dengan tidur. Namun, karena telah terbiasa bangun pagi, membuat pria ini pun tetap tak bisa tidur lagi walaupun sudah dipaksa untuk tidur.
"Benar-benar menyebalkan!" gumamnya menggerutu.
Dikta memilih bangun dari tidurnya, ia pun langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah serta menyikat gigi. Sembari memandangi dirinya di depan cermin, Dikta kembali mengingat ucapan Sarah semalam, bahwa ia tidak bisa jika harus kembali dari 0 lagi.
Hal itu sungguh membuat pikiran Dikta terganggu. Bagaimana pun juga, Sarah adalah gadis yang sangat ia cintai, sebisa mungkin ia ingin mempertahankan hubungan ini. Namun, saat Sarah marah karena dirinya berhenti bekerja, Dikta mencoba untuk mengerti, mungkin saja kemarahan Sarah memang wajar, karena bagaimana pun juga pernikahan pastinya akan membutuhkan biaya dan setelah menikah butuh uang juga untuk penyambung hidup. Ditambah lagi, Dikta harus menghidupi Sarah. Dan dari situ Dikta sadar bahwa ia harus minta maaf pada Sarah karena kejadian kemarin malam.
.....
Dikta sedang mengelilingi taman hari ini dengan melakukan lari pagi. Isi kepalanya terlalu berisik, ia pun memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan melakukan lari pagi agar lebih merasa tenang.
Napasnya terengah-engah, Dikta pun memilih untuk menghentikan larinya dan duduk di jalan setapak dengan kaki yang di selonjorkan di pinggir jalan. Pria tersebut menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang menjuntai di antara lehernya.
Dilihatnya berbagai macam orang yang berlalu lalang beraktivitas. Ada yang melakukan hal serupa dengannya, ada yang bersantai, dan ada juga yang mencari nafkah dengan berjualan di pinggir jalan.
Dikta berpikir, jika ia membuka usaha nanti, usaha apa yang akan ia dalami. Cukup lama mengamati keadaan sekitarnya hingga mata Dikta menangkap beberapa orang yang sedang menunggu di halte dengan seragam kantor yang ia kenakan. Entah mengapa, ada sedikit rasa penyesalan saat dirinya memutuskan untuk berhenti bekerja karena banyak orang yang berlomba-lomba menginginkan masuk ke perusahaan tersebut.
Namun, di sisi lain Dikta juga merasa lega keluar dari tempat itu. Jika tidak berhenti sekarang, mungkin entah sampai kapan Dikta mendapatkan tekanan demi tekanan yang ada di sana, tentu saja hal tersebut akan membuat mentalnya semakin tidak sehat.
Dikta kembali melanjutkan larinya. Saat berlari pun ia tetap berpikir keras bagaimana nanti ke depannya. Jika Dikta ingin membangun usaha, kemungkinan besar ia juga tidak akan langsung berjaya. Butuh waktu yang cukup lama untuk dirinya mengumpulkan modal menikahi Sarah dan itu akan lebih memperpanjang waktu lagi.
Dikta terhenti di salah satu minimarket. Ia membeli sebotol air mineral, dan langsung menenggaknya. Saat kakinya hendak melangkah menuju ke kasir, ia tak sengaja mendengar percakapan dua remaja yang saling berbincang. Dan perbincangan diantara mereka cukup menarik perhatian Dikta.
"Apa pekerjaan pacarmu? Jika dia menganggur, lebih baik putuskan saja. Pengangguran itu tidak mempunyai masa depan yang cerah. Lagi pula apakah kamu mau saat menikah dengannya kamu yang bekerja keras sementara dia enak-enakan di rumah. Ayolah! Jangan bodoh! Pria yang harusnya bekerja bukan wanita!"
Mendengar ucapan salah satu remaja tersebut, membuat Dikta sedikit merasa tersentil. Ia berjalan berlalu di antara mereka, dan membayar minum yang baru saja ia tenggak sedikit airnya.
Setelah keluar dari minimarket tersebut, Dikta pun mulai mengambil keputusan. Ucapan dua remaja tadi memanglah ada benarnya juga.
"Sebaiknya aku mencari pekerjaan lain saja. Mengandalkan tabunganku untuk penyambung hidup kami juga tidak akan cukup. Semua butuh proses pastinya. Baiklah, aku akan memutuskan untuk mencari pekerjaan lain," batinnya.
Dikta mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya. Ia menekan kontak Sarah, hendak menelepon untuk mengatakan bahwa dirinya akan mencari pekerjaan lain. Namun, pria itu mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk mengunjungi Sarah di apartemennya saja, sekaligus meminta maaf pada tunangannya itu karena telah membuat keputusan yang salah kemarin.
....
Malam itu, Dikta sudah terlihat rapi dengan menggunakan kemeja berwarna coklat dipadukan dengan celana jeans. Ia tak lupa mengenakan jaket kulitnya yang hanya digunakan saat berkendara saja. Pria tersebut menuju ke apartemen Sarah dengan menggunakan motor ninja CBR miliknya.
Dikta sengaja tidak mengabari Sarah karena ingin membuat kejutan kecil untuk gadis kesayangannya itu. Saat di perjalanan, ia singgah ke toko bunga. Tak lupa ia juga membeli cake untuk Sarah, mengingat bahwa sang kekasih sangat senang memakan red velvet cake.
Meskipun sedikit kesulitan membawa bunga dan cake tersebut secara bersamaan, mengingat motor yang ia kendarai bukanlah motor matic yang memiliki ruang yang cukup di bagian tengahnya. Namun, Dikta bisa mengakali itu semua dengan baik. Membawa kendaraan dengan berhati-hati agar cake tersebut tidak rusak.
Sayangnya, jarak sekitar 300 meter lagi menuju ke rumah Sarah, tiba-tiba turun hujan. Dengan terpaksa Dikta pun memilih untuk berteduh sejenak.
Pria itu mengeluarkan ponselnya. Ia ragu ingin mengabari kekasihnya atau tidak bahwa dirinya akan pergi ke apartemennya malam ini juga. Namun, Dikta kembali menyimpan ponselnya lagi ke dalam saku, dan mengurungkan niatnya untuk memberitahu hal tersebut.
"Jika aku memberitahunya sekarang, namanya bukan kejutan lagi," gumam Dikta.
Dikta terus menunggu, hingga 30 menit pun terlewat sudah, tetapi sayangnya hujan pun tak kunjung reda. Dikta melihat kotak cake yang ada di sampingnya. Ia melepaskan jaket kulit yang dipakainya, membalut kotak cake yang hanya berwadahkan kotak kertas saja. Ia pun mengambil resiko kehujanan demi menyelamatkan cake tersebut. Dikta, memilih untuk tetap berkendara di tengah hujan deras yang mengguyur ibu kota pada saat itu.
Setibanya di apartemen Sarah, Dikta menekan bel berulang kali. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Pria tersebut tahu kata sandi pintu apartemen kekasihnya itu. Ia pun memasukkan sandi yang biasa digunakan oleh Sarah, lalu kemudian masuk ke dalam.
Pertama kali hal yang ia temukan, terdapat sepatu pria yang ada di sana. Dikta mengernyitkan keningnya, seribu kecurigaan pun mulai menyelimuti diri.
Ia kembali melangkahkan kakinya perlahan. Tidak ada siapapun di ruang tengah, akan tetapi Dikta menemukan pakaian pria dan wanita yang berserakan di sofa dan juga lantai.
Tangannya mulai gemetar. Ia benar-benar penasaran dengan semua itu dan memutuskan untuk membuka kamar Sarah. Dan ternyata ... malam itu Dikta menemukan sebuah fakta yang mengejutkan lagi. Dimana Sarah baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya bersama dengan seorang pria. Dan pria itu tak asing lagi bagi Dikta.
Brakkkk ....
Dikta menjatuhkan cake yang dipegangnya. Sarah dan juga pria yang mengenakan jubah mandi itu pun langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara.
"Dikta, ...."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments