Adelio tidak menoleh. Ia tetap memotong sayur dengan tenang. “Aku tidak mencoba menggantikan siapa pun. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan, sesuatu yang seharusnya kau lakukan sejak dulu.”
Ibunya mendengus. “Kau pikir kau hebat? Kau pikir kau bisa melindungi dia selamanya? Kau hanya memperpanjang penderitaannya.”
Adelio akhirnya berhenti memotong sayur. Ia meletakkan pisau dengan hati-hati dan berbalik, menatap ibunya dengan tajam. “Kau salah. Aku tidak memperpanjang penderitaannya. Aku memberinya harapan. Sesuatu yang tak pernah kau berikan.”
“Harapan? Untuk apa? Dia tidak akan pernah sembuh! Dia hanya akan menjadi beban!”
Kata-kata itu seperti pukulan bagi Adelio. Tapi ia menahan diri, menatap ibunya dengan mata memerah. “Beban? Dia adalah alasan aku terus bertahan, alasan aku bangun setiap pagi dan berjuang. Kalau itu disebut beban, maka aku akan dengan bangga memikulnya seumur hidupku.”
Ibunya terdiam, terkejut dengan ketegasan Adelio. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan pergi ke kamarnya.
Adeline yang Mendengar Segalanya
Tak jauh dari dapur, Adeline berdiri di balik pintu, mendengar setiap kata. Hatinya teriris mendengar ibunya menyebutnya beban, tapi lebih dari itu, ia merasa bersalah karena Adelio harus terus membelanya.
Malam itu, Adeline tidak bisa tidur. Ia merenungkan semua yang terjadi, dari bullying di sekolah hingga sikap dingin ibunya di rumah. Ia tahu Adelio mencintainya, tapi ia merasa tak layak menerima cinta sebesar itu.
“Aku hanya merepotkan Kak Adelio…” bisiknya pada dirinya sendiri.
Rencana Pelarian Adeline
Keesokan harinya, Adeline memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Ia meninggalkan sepucuk surat di meja belajar Adelio. Dalam surat itu, ia meminta maaf karena merasa telah menjadi beban selama ini.
“Kak Adelio, terima kasih sudah selalu melindungiku. Tapi aku tidak ingin Kakak terus terluka karena aku. Aku akan pergi, jadi Kakak tidak perlu khawatir lagi. Jangan cari aku. Aku hanya ingin Kakak bahagia. Maafkan aku.”
Adelio menemukan surat itu saat malam tiba. Begitu membacanya, ia panik. Ia langsung berlari ke kamar Adeline, tetapi kamar itu kosong. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya kalut.
“Adeline… ke mana kau pergi?” gumamnya sambil meremas surat di tangannya.
Pencarian yang Putus Asa
Adelio segera keluar rumah, mencari adiknya di setiap sudut kota. Ia pergi ke taman, stasiun, bahkan sekolah. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Adeline.
Hujan mulai turun, membasahi jalanan yang gelap. Adelio berdiri di tengah hujan, menatap kosong ke arah jalan yang sepi. “Adeline… di mana kau?” isaknya pelan.
Sementara itu, Adeline duduk di sebuah taman kecil, tubuhnya menggigil kedinginan. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk terus berjalan.
Pertemuan di Tengah Hujan
Saat Adelio hampir kehilangan harapan, ia melihat sosok kecil di kejauhan. Meski pandangannya kabur karena hujan, ia mengenali tubuh lemah itu.
“Adeline!” teriaknya, berlari ke arah adiknya.
Adeline menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kak… kenapa Kakak di sini?”
Adelio tidak menjawab. Ia langsung memeluk adiknya erat, tak peduli dengan dinginnya hujan. “Jangan pernah pergi lagi, Adeline. Jangan pernah. Kau adalah hidupku. Tanpa kau, aku bukan siapa-siapa.”
Adeline menangis dalam pelukan Adelio. “Aku hanya tidak ingin menjadi beban, Kak. Aku hanya ingin Kakak bahagia.”
Adelio menggeleng, memegang wajah adiknya. “Kau bukan beban, Adeline. Kau adalah adikku. Kau adalah keluargaku. Aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi.”
Hujan terus turun, tapi di tengah kegelapan malam itu, Adeline menemukan secercah harapan. Ia tahu, selama Adelio ada di sisinya, ia tidak akan pernah sendiri.
Adeline yang Rapuh
Setelah kejadian di taman, Adelio membawa Adeline pulang ke rumah. Tubuhnya yang kedinginan membuat Adelio semakin khawatir, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang agar adiknya tidak merasa bersalah.
“Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membuat Kakak khawatir…” suara Adeline terdengar lemah saat mereka tiba di rumah.
Adelio memeluk bahu adiknya erat. “Adeline, tolong jangan lakukan ini lagi. Kalau ada yang kau rasakan, apa pun itu, katakan pada Kakak. Jangan simpan sendiri.”
Adeline hanya mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia masih merasa bahwa keberadaannya lebih banyak membawa masalah.
Setelah memastikan adiknya bersih dan berganti pakaian hangat, Adelio menyuruh Adeline beristirahat. Namun, saat Adeline tertidur, Adelio duduk di dekat ranjangnya, menatap wajah lemah itu dengan hati yang hancur.
“Aku gagal lagi,” gumamnya pelan, matanya berkaca-kaca.
Ibu yang Mulai Tersadar
Malam itu, tanpa disangka, ibunya mendengar semua suara dari kamar Adeline. Ia berdiri di lorong, mendengarkan percakapan Adelio dan Adeline yang penuh luka.
Kata-kata Adeline di taman terus terngiang di telinganya. “Aku hanya tidak ingin menjadi beban…”
Saat itu, untuk pertama kalinya, ada sedikit rasa bersalah yang muncul di hatinya. Ia mulai menyadari bagaimana kata-katanya selama ini telah melukai anak-anaknya, terutama Adeline.
Namun, egonya yang besar menahannya untuk masuk dan meminta maaf. Sebagai gantinya, ia kembali ke kamarnya, duduk dengan pikiran yang kalut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments