Adeline tersenyum kecil. “Tidak ada, Kak. Aku hanya lelah.”
Adelio tahu adiknya sedang berbohong. Tapi ia memilih untuk tidak memaksa. “Kalau kau lelah, istirahatlah. Ingat, Kakak selalu ada kalau kau ingin bicara.”
Adeline mengangguk, tapi dalam hati ia tahu ia tidak akan pernah bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir lagi.
Adelio yang Mencoba Melindungi
Namun, Adelio tidak tinggal diam. Keesokan harinya, ia datang ke sekolah Adeline tanpa memberitahunya. Ia meminta waktu dengan wali kelas, dan di sana ia menuangkan semua kekhawatirannya.
“Adik saya diperlakukan dengan sangat buruk di sekolah ini. Dia dibully setiap hari, dan kalian semua hanya diam?” suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.
Wali kelas itu terkejut. “Kami tidak tahu, Adelio. Adeline tidak pernah melapor.”
Adelio mengepalkan tangannya. “Tentu saja dia tidak melapor. Dia tidak ingin menjadi beban. Tapi saya tidak akan diam. Saya minta sekolah mengambil tindakan serius. Ini harus dihentikan sekarang.”
Wali kelas mengangguk dengan wajah bersalah. “Kami akan menyelidiki dan memastikan para pelaku dihukum. Kami mohon maaf atas kelalaian ini.”
Meski lega, Adelio tahu masalah ini belum selesai. Adeline membutuhkan lebih dari sekadar perlindungan sekolah. Dia membutuhkan lingkungan yang aman, termasuk di rumah.
Konfrontasi di Rumah
Saat Adelio pulang, suasana rumah kembali memanas. Ibunya menunggunya di ruang tamu, dengan tatapan penuh kemarahan.
“Adelio, apa lagi yang kau lakukan hari ini? Mengurusi anak itu lagi?” tanyanya dengan nada penuh hinaan.
Adelio meletakkan tasnya dan menatap ibunya. “Ya. Aku ke sekolah Adeline untuk memastikan dia tidak disakiti lagi. Karena kau jelas tidak peduli.”
Ibunya mendengus. “Berhenti menyalahkanku. Aku sudah cukup menderita membesarkan kalian sendirian.”
Adelio mendekat, matanya penuh kemarahan. “Kau bukan menderita karena kami. Kau menderita karena pilihanmu sendiri. Kami bukan alasan kau menjadi seperti ini. Adeline butuh ibu, tapi kau terus menyakitinya. Aku tidak akan membiarkan itu lagi.”
Ibunya berdiri, menunjuk Adelio dengan penuh kemarahan. “Jangan sok tahu! Kau pikir kau lebih tahu daripada aku? Kau hanya anak kecil yang tidak mengerti apa-apa!”
Adelio menarik napas panjang, menahan emosi yang sudah memuncak. “Aku mungkin anak kecil, tapi aku tahu satu hal: Adeline lebih penting daripada egomu. Kalau kau tidak bisa berubah, maka jangan heran kalau suatu hari kau akan kehilangan kami.”
Adelio tidak menunggu jawaban. Ia langsung pergi ke kamar Adeline, meninggalkan ibunya yang terdiam dengan tatapan bingung dan marah.
Di kamar, Adelio menemukan Adeline sudah tertidur, wajahnya terlihat damai meski tubuhnya lemah. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap kepala adiknya dengan lembut.
“Aku akan melindungimu, Adeline. Apa pun yang terjadi,” bisiknya, meski ia tahu adiknya tidak bisa mendengar.
Adelio berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai hari itu, tidak ada lagi yang bisa menyakiti adiknya. Tidak teman-temannya, tidak ibunya, dan tidak dunia.
Hari-hari berikutnya, Adelio memastikan Adeline selalu mendapat perhatian. Ia mengatur jadwal sekolah adiknya, memastikan Adeline tidak terlalu lelah, dan mendampingi setiap kali diperlukan. Namun, ketegangan dengan ibunya semakin memuncak.
Suatu malam, saat Adelio sedang menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, ibunya muncul di dapur. Ia terlihat lelah, tetapi ekspresinya tetap dingin.
“Adelio, kau benar-benar berpikir bisa menggantikan peran orang tua di rumah ini?” tanyanya sinis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments