bab 3

Adelio menghela napas berat, mencoba menahan emosinya. Namun, ucapan terakhir ibunya sudah melampaui batas. Ia berdiri tegap, menatap ibunya dengan dingin.

“Kalau begitu, jangan anggap Adeline sebagai anak, dan aku juga takkan menganggapmu sebagai ibu,” ucap Adelio dengan nada rendah, namun penuh tekad.

Ibu mereka mendengus kecil, tak percaya dengan ucapan Adelio. “Berani sekali kau bicara begitu pada ibumu sendiri!”

Adelio melangkah mendekat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Ibu? Ibu seperti apa yang menyakiti anaknya sendiri? Yang menyebut anak kandungnya penyakitan dan menyalahkannya untuk segala hal? Kau tidak pernah mencoba memahami apa pun. Jadi berhenti mengaku sebagai ibu kami.”

Ibu mereka terdiam sejenak, tapi ekspresinya berubah menjadi penuh kemarahan. “Jangan bicara seolah kau tahu segalanya! Kau tidak tahu apa yang sudah kualami sejak perceraian itu! Semua ini terjadi karena ayahmu!”

“Ayah tidak pernah meninggalkan kami, Ibu. Ayah meninggalkanmu karena kau tak pernah berubah! Kau pikir uang bisa menggantikan kasih sayang? Adeline membutuhkan ibu, tapi apa yang dia dapatkan? Kebencian. Itu sebabnya aku yang akan melindungi dia, bukan kau.”

Ibu mereka terpaku, tampaknya terkejut dengan keberanian Adelio. Namun, ia segera menyeringai. “Baiklah. Kalau kau ingin melindungi anak itu, lakukan sesukamu. Tapi ingat ini, Adelio. Suatu hari kau akan lelah, dan kau akan menyadari bahwa dia hanyalah beban!”

Adelio menarik napas panjang, berusaha meredam amarahnya. Ia melangkah mundur, tatapannya tetap tajam. “Kau salah. Adeline adalah alasan aku tetap hidup. Dia bukan beban, dia adalah alasan aku bertahan. Kalau kau tidak bisa melihat itu, maka aku tak peduli lagi. Mulai sekarang, anggap kami tidak ada.”

Tanpa menunggu jawaban, Adelio berbalik dan menuju kamar Adeline. Ia menemukan adiknya sedang duduk di tempat tidur, mencoba membaca buku meski matanya tampak lelah.

“Kak, ada apa tadi?” tanya Adeline dengan suara lembut.

Adelio tersenyum kecil dan duduk di sampingnya. “Tidak ada apa-apa, Adeline. Kau tidak perlu khawatir.”

Adeline menatap kakaknya dengan penuh perhatian. “Kak, aku tahu kau selalu melindungiku. Tapi aku juga tidak ingin kau terus bertengkar dengan Mamah. Aku hanya ingin kita bahagia, Kak.”

Mata Adelio berkaca-kaca mendengar kata-kata itu. Ia mengusap kepala Adeline dengan lembut. “Kita akan bahagia, Adeline. Aku janji. Kita tidak butuh siapa pun yang tidak peduli pada kita.”

Adeline tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu kakaknya mencoba kuat untuknya, dan ia tidak ingin menjadi alasan Adelio terluka lagi.

Namun, jauh di dalam hatinya, Adeline menyimpan harapan kecil—bahwa suatu hari, Mamah mereka akan belajar mencintai mereka kembali.

Adeline yang Mencoba Bertahan

Hari-hari berikutnya, Adelio dan Adeline menjalani kehidupan mereka dengan berusaha menghindari interaksi dengan sang Mamah. Ketegangan di rumah itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Adeline berusaha kembali ke rutinitasnya meskipun tubuhnya masih lemah setelah insiden tamparan itu. Di sekolah, ia tetap menjadi sasaran ejekan. Teman-temannya mencibir, menyebutnya “si lemah” atau “beban keluarga.”

“Lihat, si penyakitan sudah kembali. Apa tamparan dari ibumu masih terasa?” salah satu teman sekelasnya mengejek sambil tertawa kecil.

Adeline menunduk, pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping. Ia menahan air mata dan berusaha tetap tenang.

Saat sore tiba, Adelio menjemput Adeline seperti biasa. Namun, ia segera menyadari ada sesuatu yang salah. Adeline lebih diam dari biasanya. Tatapannya kosong, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

“Adeline? Apa yang terjadi?” tanya Adelio pelan sambil menyetir.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!