"Kak, kok muka nya lesu kayak gitu? Capek banget ya?"
Arra yang baru saja tiba di rumah dan merebahkan diri di sofa, kembali duduk ketika mendengar suara ibunya. Suara yang selalu terdengar hangat, sehangat dekapan yang bisa meredakan segala penat.
"Iya mom, hari ini keliling kampus lihat-lihat semua fakultas. Makanya kakak jadi kacapekan."
Alyssa berjalan mendekat, lalu mengusap pipi putri sulungnya dengan lembut. Meski kini sudah ada dua bocah kembar yang mencuri banyak perhatian, cinta Alyssa pada Arra tidak pernah terbagi. Tidak pernah ada yang berubah.
"Kasian banget anak Mommy, mau Mommy buatin jus jeruk, Kak, biar segar?" tawarnya, seperti biasa dengan suara penuh kasih sayang.
Arra menggeleng, "nggak usah Mom. Tadi di kampus Kakak udah beli jus kok."
"Kak Ala."
Suara kecil itu memotong percakapan mereka. Arra dan Alyssa menoleh bersamaan dan mendapati dua bocah kembar berjalan menghampiri—Zach dan Zayn. Keduanya berjalan dengan langkah kecil yang masih goyah, tapi penuh semangat.
Tanpa ragu, Arra langsung merentangkan tangannya.
"Ya ampun, adek-adek Kakak kok makin gembul sih, makan nya banyak nih pasti," seloroh Arra, seraya memeluk mereka. Pelukan hangat yang seperti candu bagi si kembar.
"Mamam itan paus jadi endut." jawab Zayn sambil menepuk-nepuk perut buncitnya. Kalimat polos itu sukses membuat Alyssa dan Arra tergelak. Bocah itu memang jagonya bikin rumah ramai.
Wajar saja, kalau bukan meniru dari sang ayah—Vincent—mustahil Zayn bisa mengarang cerita tentang makan ikan paus.
"Atu nda mamam itan paus ya, amu aja. Atu cuma mamam telol," sambung Zach, wajahnya datar seperti biasa, kontras dengan Zayn yang penuh ekspresi. Meski kembar, sifat mereka bagai siang dan malam.
Zayn selalu riuh, ceria, dan penuh celoteh. Sedangkan Zach, lebih pendiam dan tenang. Diam-diam memperhatikan, menyerap semuanya dalam diam.
Meski usia mereka belum genap dua tahun, Zach dan Zayn tumbuh cepat. Mereka sudah bisa berjalan di usia 14 bulan, dan mulai pandai mengucapkan kata-kata sederhana sejak 18 bulan. Semua berkat Alyssa, yang tak pernah lelah mengajarkan kata demi kata sejak si kembar masih delapan bulan.
"Wah, adek-adek Kakak pintar makan, ya. Jadi badannya gembul. Sekarang tidur siang, yuk. Biar sore nggak ngantuk," ucap Arra sambil melirik jam dinding.
Si kembar mengangguk nyaris bersamaan. Arra langsung gemas, menciumi pipi chubby mereka satu per satu.
"Ayo kita tidur siang." Alyssa akhirnya buka suara. Sedari tadi ia hanya menikmati interaksi ketiga anaknya itu—pemandangan yang selalu berhasil menghangatkan hatinya.
Arra melepas pelukan, membantu mereka berdiri, lalu menggiring mereka ke arah sang ibu.
"Bye bye ZaZa~" seru Arra. Panggilan singkat itu adalah bentuk kasih sayang, hasil gabungan dari nama mereka.
"Babai!" sahut Zayn dengan senyum lebar, sementara Zach cukup melambaikan tangan mungilnya.
"Kak, Mommy nemenin adek tidur dulu ya. Kalau mau makan atau apa, minta tolong sama Bi Inah." ucap Alyssa sambil menggandeng tangan kecil si kembar.
"Iya Mom. Arra kayaknya mau tidur juga, soalnya nanti malam mau ke kampus lagi. Ada konser mini dan penyambutan mahasiswa baru."
"Ya udah, Mommy duluan ya. Ayo, Zach, Zayn."
Alyssa dan kedua bocah itu sudah naik ke lantai dua menggunakan lift. Arra kembali duduk di sofa, mengeluarkan ponsel dari tasnya. Jari-jarinya mulai menjelajahi dunia maya, menonton beberapa video yang sedang viral.
Tak butuh waktu lama, ponsel itu meluncur pelan dari tangannya. Arra tertidur. Lelah itu akhirnya menuntut jatahnya.
---
Sementara itu...
Setelah mengantar Arra pulang, Leo tidak langsung pulang ke rumah. Bukannya beristirahat, ia justru melajukan motornya ke sebuah kafe. Ada seseorang yang mengajaknya bertemu—seseorang dari masa lalu yang tak mudah dihapus.
Kafe itu tak ramai. Hanya ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan kopi dan laptop masing-masing. Leo membuka pintu, mengedarkan pandangannya, dan mendapati seseorang melambaikan tangan ke arahnya.
Ia berjalan dengan wajah datar, tanpa ekspresi.
"Sayang, akhirnya kamu datang juga."
Leo tak menjawab. Ia hanya duduk. Sorot matanya seolah sudah bicara lebih banyak dari mulutnya.
"Mau pesan apa? Di sini semua makanan dan minumannya enak-enak, lho," tawar wanita itu, masih dengan senyum manis yang ia pakai seperti topeng.
"Saya ke sini bukan untuk basa-basi. Ada apa?" ujar Leo dingin. Suaranya memotong seperti pisau. Senyum di wajah wanita itu pun perlahan menghilang.
Wanita itu menghela napas. "Mami kangen sama kamu."
Kalimat itu meluncur begitu saja, tapi tak menggetarkan hati Leo sedikit pun. Pandangannya tetap dingin. Bisu. Tak ada setitik pun rindu di sana. Baginya, wanita itu—ibu kandungnya—tak lebih dari orang asing dengan kenangan buruk.
"Saya sudah bilang, saya tidak datang untuk basa-basi. Langsung saja ke intinya."
Wanita berusia 37 tahun itu akhirnya menunduk sejenak, lalu mengangkat kepala dengan wajah sedih yang tampak dibuat-buat.
"Bantu Mami supaya bisa rujuk sama Daddy kamu lagi. Kamu pasti mau kan kalau kita bisa tinggal bersama lagi?"
Leo menaikkan alis, sinis. "Bahkan saya nggak pernah membayangkan itu sejak kecil. Apa karena nggak ada pria yang mau serius, makanya Anda kembali ke Daddy saya?"
Amanda terdiam, mencoba menyusun jawaban yang bisa meluluhkan hati Leo. Tapi Leo bukan anak kecil lagi. Luka itu terlalu dalam, terlalu nyata.
"Bukan seperti itu… Tapi karena Mami masih cinta sama Daddy kamu. Dan Mami juga mau tinggal bareng anak Mami. Kamu, Leo," ucapnya lembut.
Leo mendecih. "Cinta? Anda yakin? Atau karena Anda udah capek ditinggal kekasih-kekasih Anda yang cuma main-main itu?" Mata Leo menatap keluar jendela. Ia tidak sanggup menatap wajah itu terlalu lama.
"Leo, dengarkan Mami, Nak. Mami memang salah di masa lalu. Tapi saat itu Mami masih muda, belum siap jadi ibu. Mami bingung, Mami... takut."
"Artinya kehadiran saya adalah kesalahan. Makanya Anda tinggalkan saya begitu saja?" Suara Leo dalam dan penuh tekanan. Rahangnya mengeras.
Amanda menggeleng cepat. "B-bukan begitu, tapi..."
Leo berdiri. Tatapannya menghitam. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
"Setelah ini, jangan hubungi saya lagi kalau hanya untuk hal nggak penting seperti ini." ucapnya tajam, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.
Amanda masih duduk terpaku. Hatinya remuk—tapi semua itu adalah bayaran dari masa lalu yang ia abaikan sendiri.
"Leo... Mami sayang sama kamu, Nak. Mami menyesal... tapi kenapa kamu nggak mau kasih Mami kesempatan?" lirih Amanda, matanya menatap punggung Leo yang semakin jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
penyesalanmu udah terlambat deh seandainya dari dulu kamu bisa bersikap baik pada anakmu dia g mungkin sekecewa itu padamu
2024-11-01
1
vj'z tri
semangat Thor up nya 🥳🥳😘🥳🥳
2024-10-20
1
Ami Aja
Sampek lupa kalo Leo masih punya mama🙁
2024-10-20
1