Traces in the Shadows
----
📍𝙇𝙤𝙠𝙖𝙨𝙞 𝙐𝙣𝙞𝙩 𝘼𝙥𝙖𝙧𝙩𝙚𝙢𝙚𝙣
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬 "Kenapa pagi ini mendung lagi, sih…"
--
Dari balik jendela apartemennya, Acha menatap langit kelabu. Gerimis turun tipis-tipis, menciptakan atmosfer sendu yang—jujur aja—perfect buat mager seharian di kasur.
Kalau aja perutnya nggak protes.
Masalahnya? Kulkasnya literally kosong. No instant noodles, no snacks, nothing.
So, no choice.
Dengan hoodie kebesaran dan celana training, Acha menyeret kakinya ke pintu. Baru aja dibuka—
𝘽𝙧𝙖𝙠𝙠!!
---
---
Hampir aja dia tabrakan.
Sama seseorang.
Seseorang yang absolutely nggak ingin dia temui pagi-pagi begini.
𝙈𝘼𝙑𝙀𝙉!.
Dosen psikologi yang—unfortunately—juga tetangganya.
Acha refleks mau mundur balik ke apartemennya, tapi—
---
Maven Mysander
💬 "Pagi." (Dengan suara cool and calm)
---
𝙎𝙝𝙞𝙩!.
Acha langsung freeze di tempat.
In front of her, Maven berdiri dengan ekspresi super santai. Kaos hitam yang pas di badannya, jaket cokelat tua yang terlihat effortlessly cool, jeans gelap yang simpel tapi tetap classy as hell.
Dan baunya.
𝙊𝙝.𝙈𝙮.𝙂𝙤𝙙!.
Aroma parfum mahalnya samar terbawa angin—hangat, ada hint woody, sedikit misterius, dan… ugh.
Acha bisa merasakan jantungnya mulai bekerja lembur.
𝙒𝙝𝙮 𝙩𝙝𝙚 𝙝𝙚𝙡𝙡 𝙞𝙨 𝙝𝙚 𝙨𝙤 𝙥𝙪𝙩-𝙩𝙤𝙜𝙚𝙩𝙝𝙚𝙧 𝙖𝙩 𝙩𝙝𝙞𝙨 𝙝𝙤𝙪𝙧?!
💬"𝙂𝙪𝙚 𝙣𝙜𝙜𝙖𝙠 𝙨𝙞𝙖𝙥 𝙗𝙪𝙖𝙩 𝙞𝙣𝙩𝙚𝙧𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙧𝙖𝙩 𝙞𝙣𝙞…"
---
Raisya Andromeda (Acha)
(Dengan canggung,meremas ujung lengan hoodienya.)
💬 "P-Pagi, Pak."
Maven Mysander
(mengangkat satu alis, ekspresinya datar tapi tetap punya vibe intimidating yang khas.)
💬 "Di luar kelas, panggil saya Maven."
Raisya Andromeda (Acha)
💬 "Tapi... Pak—" (Terkejut dan ragu)
Maven Mysander
💬 "Nggak apa-apa."
Raisya Andromeda (Acha)
💬 "Oh. Oke. Baiklah. Fine. GREAT."
---
Buru-buru, Acha melipir ke arah lift, praying Maven nggak—
…tapi tentu saja, dia ikut masuk juga.
TING!
Pintu lift tertutup.
---
---
Bahkan suara elevator naik terasa lebih berisik dari biasanya.
Acha menunduk, pura-pura sibuk merapikan ujung hoodie-nya. Tapi semakin dia mencoba fokus ke hal lain, semakin dia sadar akan satu hal…
---
---
Parfum Maven.
Parfum Maven.
PARFUM MAVEN.
Aromanya literally bikin otaknya nge-lag.
---
---
Dalam upaya putus asa buat mengusir keheningan super awkward ini, Acha akhirnya asal nanya,
---
Raisya Andromeda (Acha)
(Dengan perasaan gugup dan canggung)
💬 "Uh… btw, tahu tempat makan enak di sekitar sini?
Maven Mysander
(meliriknya, ekspresinya santai.)
💬 "Hmm… saya ada rekomendasi."
Raisya Andromeda (Acha)
(Acha mengangguk pelan.)
💬 "Nice. Kasih tahu aja, nanti saya coba—"
Maven Mysander
💬 "Tapi gimana kalau ikut dengan saya saja? Saya mau ke sana sekarang." (Ucapnya dengan nada santai)
---
Acha literally bisa merasakan otaknya mengalami system failure.
Dia menoleh, expecting some kind of joke, but nope. Maven masih menatapnya dengan ekspresi unbothered, seolah ini ajakan yang totally biasa.
💬"𝙃𝙀𝙇𝙇𝙊?! 𝙎𝙄𝙍?! 𝙒𝙝𝙖𝙩 𝙠𝙞𝙣𝙙 𝙤𝙛 𝙨𝙤𝙘𝙞𝙖𝙡 𝙖𝙢𝙗𝙪𝙨𝙝 𝙞𝙨 𝙩𝙝𝙞𝙨?!"
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬 "A-Apa?"
Maven Mysander
(sedikit tersenyum—bukan yang lebar, tapi cukup buat jantung Acha lompat sedikit.)
💬 "Sarapan bareng. Saya jamin kamu bakal suka."
---
Tatapan intense itu bikin Acha blank.
Sebelum otaknya sempat proses informasi dengan benar…
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬 "Iya!" (Ucapnya cepat dengan otak yang masih loading)
---
Dan begitu kata itu keluar, dia langsung pengen facepalm keras-keras.
💬"𝙆𝙀𝙉𝘼𝙋𝘼 𝙄𝙔𝘼?"
---
---
Pintu lift terbuka di lantai satu.
Tanpa banyak bicara, Acha dan Maven melangkah keluar, berjalan berdampingan menyusuri lorong menuju pintu utama apartemen. The awkward silence still lingering between them.
Di luar, langit tetap mendung. Gerimis kecil turun tipis-tipis, menciptakan suasana gloomy yang entah kenapa perfectly matching with Acha's mood today. Dia mendesah pelan, menatap langit dengan ekspresi done with life.
---
Maven Mysander
(meliriknya sekilas.)
💬“Kamu nggak suka hujan?”
Raisya Andromeda (Acha)
(mengerutkan hidungnya.)
💬“Bukan hujan, sih. Saya cuma nggak suka gerimis.”
---
Maven mengangguk kecil, tanpa ada niatan buat bertanya lebih lanjut.
And there it is again—the silence.
Tapi anehnya, dibandingkan tadi, sekarang rasanya nggak se awkward itu. Maybe karena suara hujan yang jadi background noise, atau mungkin karena otaknya masih sibuk processing betapa absurd-nya pagi ini.
---
---
Begitu mereka duduk, Acha langsung meraih menu dan…
--
Raisya Andromeda (Acha)
💬“Oh, great.”
( mengernyit).
💬“Kenapa ini full bahasa Jerman semua?”
---
Tatapannya berpindah ke daftar makanan itu seolah sedang melihat soal ujian kalkulus yang mustahil dia jawab. Meanwhile, di seberangnya, Maven tetap dengan ekspresi calm and composed—bahkan dia sama sekali nggak repot-repot membuka menu.
---
Maven Mysander
💬“Pumpernickel mit Frischkäse und Gurke,” (Ucapnya santai.)
Raisya Andromeda (Acha)
(memicingkan mata.) 💬 “I’m sorry, what?”
Maven Mysander
(akhirnya menutup menu tanpa repot-repot melihat isinya.) 💬"Roti gandum hitam khas Jerman, dimakan dengan krim keju dan irisan mentimun.”
Raisya Andromeda (Acha)
(Mengangguk pelan. )
💬“Oh. Sounds fancy.”
Maven Mysander
(menaikkan satu alis.)
💬“Mau coba?”
---
Acha menghela napas, mencoba menimbang opsi. But then again, mengingat dia literally hampir pingsan kelaparan pagi ini… Why not?
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬“Alright,”
(ujarnya dengan kepercayaan diri setipis tisu basah.)
💬 “Let’s go.”
[Beberapa Menit Kemudian]
---
Makanan mereka datang. Dan begitu Acha menggigit potongan pertama—
Dia langsung freeze.
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬“Wait a second—” (menatap rotinya, lalu ke Maven, lalu balik lagi ke rotinya.)
Maven Mysander
(yang sedang mengaduk kopinya, hanya menatapnya dengan ekspresi amused.) 💬“Kenapa?”
Raisya Andromeda (Acha)
💬“This is—” ( menunjuk rotinya dengan garpu, matanya membelalak.)
💬 “Kenapa enak banget?!”
Maven Mysander
(terkekeh pelan.) 💬“Saya bilang juga apa."
Raisya Andromeda (Acha)
(mendengus, tapi ada senyum kecil di wajahnya. ) 💬“Fine, Saya resmi percaya rekomendasimu,prof”
---
And just like that, dia mulai makan dengan lebih semangat. Gigitan pertama masih penuh kehati-hatian, gigitan kedua lebih percaya diri, and by the third bite—
---
Maven Mysander
💬“Pelan-pelan,”
(Ucap nya, terdengar nyaris seperti peringatan.)
Raisya Andromeda (Acha)
(menatapnya dengan mulut masih penuh.) 💬“Huh?”
Maven Mysander
(menyesap kopinya, ekspresinya masih tenang.) 💬 “Kamu makan kayak orang yang belum makan seminggu.”
Raisya Andromeda (Acha)
(tersedak. Great. Just great. Dengan buru-buru, meneguk airnya sambil melirik Maven dengan tatapan do-not-judge-me.) 💬“Bukan salah saya kalau makanannya seenak ini.”
---
Maven hanya tertawa kecil—bukan yang keras, lebih seperti suara rendah yang nyaris nggak terdengar.
Acha meliriknya sekilas. Dan untuk pertama kalinya sejak tadi, Maven terlihat less intimidating. Maybe—just maybe—dia nggak se intense yang Acha kira.
Lalu, tiba-tiba—
Di bawah meja, kaki Acha tanpa sengaja menyentuh kaki Maven.
Oh. My. God.
Mata Acha melebar. Refleks, dia langsung menarik kakinya cepat, berharap Maven nggak menyadarinya.
Tapi tentu saja, Maven menyadarinya.
Pria itu hanya meliriknya sebentar dengan ekspresi calm as hell, lalu dengan santai kembali menyeruput kopinya.
Meanwhile, di dalam kepala Acha—
💬"Oke. Gue harus lebih hati-hati sebelum jantung gue beneran copot."
---
---
[Setelah Makan]
Mereka berjalan kembali ke apartemen dalam suasana yang jauh lebih ringan dibandingkan tadi pagi. No more awkward tension. Sekarang rasanya lebih… natural?
---
---
Acha melirik Maven dari sudut matanya. Surprisingly, pria itu nggak seintimidating yang dia kira. Atau mungkin karena dia sudah mulai terbiasa dengan aura cold but intriguing dari dosennya ini.
Di lorong apartemen, tiba-tiba—
---
Maven Mysander
💬"Pelajaran di kelas kemarin masih sulit dipahami?" (suara nya memecah keheningan.)
Raisya Andromeda (Acha)
(yang sejak di rumah makan mulai lebih nyaman, akhirnya bisa berbicara lebih santai.) 💬 "Jujur? Iya. Kenapa psikologi harus sekompleks itu, sih?"
Maven Mysander
(terkekeh pelan, nada suaranya terdengar seperti sudah mendengar keluhan ini ratusan kali.) 💬"Karena manusia kompleks."
Raisya Andromeda (Acha)
(memutar bola matanya.) 💬"Ugh, classic dosen answer."
Maven Mysander
(meliriknya, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.) 💬"Kalau gitu, kenapa kamu masuk jurusan ini?"
---
Langkah Acha sedikit melambat.
Well. That was unexpected.
---
Raisya Andromeda (Acha)
(menatap lurus ke depan, lalu menghela napas.) 💬"...Karena saya ingin mengerti pola pikir manusia." (Lebih tepatnya karena Noah, but no way she’s telling him that.)
---
Mereka masuk ke dalam lift.
Saat pintu tertutup, Maven mengangguk kecil.
---
Maven Mysander
💬"Jawaban yang menarik."
---
Acha hanya meliriknya sekilas. She’s not sure if he’s being genuine or just saying that.
Begitu sampai di lantai mereka, mereka berjalan berdampingan ke unit masing-masing. Dan sebelum berpisah—
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬"Thanks buat sarapannya tadi," (ujar nya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya.)
---
Maven mengangguk santai. Lalu, seolah itu bukan masalah besar, dia menambahkan—
---
Maven Mysander
💬"Kalau kamu kesulitan dengan materi, tanyakan saja pada saya. Saya bisa jadi tutor di luar kampus."
---
Acha langsung berhenti di depan pintu unitnya.
Wait. Hold up.
"W-wait, what?"
---
Maven Mysander
(memasukkan tangan ke saku celananya, ekspresinya tetap calm as if he didn’t just casually drop that offer out of nowhere.) 💬 "Saya serius. Dan jangan panggil saya 'Pak' atau 'Prof' kalau kita nggak sedang di kelas."
---
Acha, yang masih dalam mode buffering, akhirnya cuma bisa menatapnya dengan mata sedikit membesar.
Excuse me? Sejak kapan dosennya this chill?
Tapi sebelum otaknya bisa memproses semuanya, bibirnya sudah bergerak lebih dulu.
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬"Noted, Maven."
---
Maven hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk ke unitnya.
Acha juga masuk ke unitnya sendiri—710, tepat di sebelah Maven—lalu begitu pintu tertutup, dia langsung bersandar ke dinding.
Jantungnya masih berdebar.
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬"Apa gue baru saja breakfast date sama dosen sendiri?" ( bisiknya, nyaris nggak percaya.)
Raisya Andromeda (Acha)
(menutup mata, menghela napas panjang, lalu bergumam pelan.)
💬"And why does it feel dangerously nice?"
---
Siang Hari yang Lembab dan Sebuah Kejutan...
---
---
Gerimis dari pagi bikin udara lembap. Kabut tipis ngegantung di sekitar kampus, bikin semuanya kelihatan a bit gloomy. Langit mendung, kayak nahan matahari biar nggak terlalu ambisius buat muncul.
Acha turun dari mobil, tangannya otomatis ngerapatin jaket. Udara dingin ngerayap pelan ke kulitnya, tapi bukan itu yang bikin dia tiba-tiba freeze di tempat.
Matanya ke-lock pada satu mobil.
BMW 3 Series.
Familiar. Terlalu familiar.
---
Raisya Andromeda (Acha)
( mengernyit)
💬" Prof.Maven?"
(Bergumam pelan)
💬”So, dia udah sampai duluan ternyata”.
---
A reasonable thought—sampai pintu mobil itu kebuka.
Dan bukan Maven yang keluar.
---
Raisya Andromeda (Acha)
💬"Noah?"
(Jantungnya mencelos.)
💬”What the hell?”
---
Sahabatnya sekaligus Cinta pertamanya. Dan Cowok yang dengan santainya bilang kalau dia gay.
Baru aja keluar dari mobil seorang profesor psikologi.
Yang juga tetangganya acha.
Acha nggak bisa move. Matanya nge-track setiap gerakan Noah. Cowok itu jalan buru-buru, langkahnya panjang, ekspresinya? Blank. No hesitation, no side glance, seolah dia doesn’t want to be seen.
---
Raisya Andromeda (Acha)
(merasakan udara yang semakin berat.) 💬”Kenapa dia keluar dari mobil Prof.Maven?”
---
Coincidence? Or something bigger than that?
Tiba-tiba, suara familiar narik dia balik ke realitas.
💬"Ach?"
---
Laura
(berdiri di samping Acha, arms crossed, ekspresinya campuran antara penasaran dan kepo.)
💬"Lo ngapain diem di sini? Jangan bilang lagi lo ngelamun di parkiran sambil staring contest sama mobil orang?"
(Matanya menyipit.)
💬 "Wait, lo liat sesuatu yang interesting? Jangan-jangan alien baru turun dari salah satu mobil disini? "
Raisya Andromeda (Acha)
(tersentak. ) 💬 "Hah? Nggak, nggak... gue cuma... lagi ngapalin dialog buat presentasi nanti."
Laura
(narrowed her eyes.) 💬 "Seriously, Cha? You’re a lot of things, but serious student is not one of them. Spill. Something’s up."
---
Acha cuma angkat bahu, playing it cool, but deep inside?
I’m not telling. Not yet.
Ada hal yang lebih penting buat dipikirin.
Noah. Maven. That car.
But for now, this stays inside my head.
---
---
Lorong menuju kelas rame. Suara obrolan mahasiswa, tawa-tawa kecil, dan langkah kaki beradu dengan lantai. Acha jalan di samping Laura, yang sibuk bawa sesuatu di tangannya—a pastel-colored lunch box.
---
Laura
💬"Gue bawa ini buat Maven," (Ucapnya penuh percaya diri. ) 💬"Gue yakin dia bakalan suka sama masakan buatan gue"
Raisya Andromeda (Acha)
(melirik lunch box itu sekilas.)
💬 "Lo nggak capek ditolak terus?"
Laura
(mendesis, tapi ekspresinya tetap santai. ) 💬"Optimis itu kunci, babe."
---
Acha cuma hembusin napas. Ada sesuatu di dadanya yang terasa... aneh. Tapi dia nggak mau ngebahasnya lebih jauh.
---
---
Begitu masuk kelas, atmosfernya nggak jauh beda—riuh rendah suara mahasiswa, dentingan keyboard laptop, kursi yang digeser. Acha duduk di baris kedua sama Laura, sementara yang lain mulai cari tempat masing-masing.
---
---
Pintu kelas kebuka.
---
---
Prof.Maven masuk.
Langkahnya santai. Always composed, always cool. Kemeja hitamnya punya dua kancing terbuka di atas, lengan tergulung sampai siku. Rambutnya sedikit berantakan, tapi tetap effortless. Tatapan matanya nyapu ruangan, pause sebentar di Acha, lalu pindah ke yang lain.
Acha ngerasa sesuatu. A shift. A pull.
Dia milih buat ignore.
---
Maven Mysander
💬"Selamat siang." (nyandarin tangan ke meja depan. Suaranya dalam, steady. )
💬 "Hari ini kita akan membahas sesuatu yang sering jadi perdebatan dalam psikologi... Understanding Sexual Orientation."
Raisya Andromeda (Acha)
(freeze) 💬”Wait—what?” (bergumam pelan)
Raisya Andromeda (Acha)
(Bergumam pelan dengan perasaan lega)
💬”Jadi... itu memang buat materi kuliah?”
---
Somehow, that makes sense. Dan entah kenapa, dia lega.
Maven berdiri di depan kelas, ekspresinya calm but firm, seperti biasa. Tapi kalau diperhatiin lebih dalam, ada sesuatu di matanya—sesuatu yang nggak langsung kelihatan.
---
Maven Mysander
(mulai menjelaskan.)
💬"Sexual orientation is not a choice. It’s not something you wake up one day and decide. It’s a complex interplay between biology, psychology, and environment. Some people realize it early, some later. Tapi satu hal yang pasti: ini bukan sesuatu yang bisa diubah hanya karena tekanan sosial atau keinginan pribadi."
(Tangannya sedikit bergerak, emphasizing his words.)
Laura
(langsung angkat tangan, suaranya penuh percaya diri.) 💬"Professor, does that mean our orientation is set in stone? Or can it evolve?"
Maven Mysander
(mengangguk pelan.) 💬 "Good question. And the answer is... not that simple. Some people feel their orientation is constant throughout their life. Others experience fluidity—they might be attracted to one gender at one point, and then later, to another. But this shift isn’t about ‘changing back to normal’—because there’s nothing abnormal to begin with."
---
Laura smirks, like she just won something.
Acha, yang dari tadi cuma dengerin, tiba-tiba ngerasa ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Dan sebelum dia bisa ngerem dirinya sendiri, tangannya naik.
Maven langsung notice. "Yes?"
---
Raisya Andromeda (Acha)
(ngambil napas dalam.)
💬"Professor... what if someone isn’t sure? What if they think they’re one thing for a long time, and then suddenly... they’re not? Does that mean they were wrong about themselves this whole time?"
---
Kelas goes completely silent.
Maven… freezes.
It’s subtle, tapi ada momen di mana ekspresinya berubah. Almost like the question hits somewhere deep.
Dia exhales slowly, seolah milih kata-kata dengan hati-hati.
---
Maven Mysander
💬"Certainty… is a privilege not everyone has,"
( akhirnya menjawab, suaranya lebih pelan. )
💬"Some people know who they are sejak kecil. For others, it takes years. And sometimes… even when you think you know yourself, life throws something at you that makes you question everything."
Maven Mysander
(berhenti sejenak, matanya sedikit menajam.)
💬"And that questioning? That confusion? It doesn’t mean you were wrong. It doesn’t invalidate who you were before. It just means… you’re human. And identity is complex."
---
Acha nggak bisa ngerem debaran di dadanya.
Karena… entah kenapa, cara Maven ngomong itu terdengar too personal.
Seolah dia bukan cuma ngejelasin teori.
Tapi ngomong dari pengalaman sendiri.
Acha menelan ludah.
Dan untuk pertama kalinya, dia bertanya-tanya—
Maven… sebenarnya siapa?
--
---
Kelas baru aja selesai, dan Laura langsung rush ke depan. Determined as hell, dia menghampiri Maven dengan lunch box pastel-nya.
---
Laura
💬"Profesor, ini buat Anda," (senyum penuh harapan.)
Maven Mysander
(cuma melirik sekilas. No hesitation.)
💬 "Terima kasih, tapi saya tidak bisa menerimanya."
Laura
(freeze.)"Kenapa? Anda bahkan belum coba!"
---
Maven ngasih small smile—bukan senyum ramah, tapi lebih kayak... kasihan. Lalu dia jalan pergi, leaving no room for discussion.
---
Laura
(mendesis kesal.) "Seriously? Gue enggak ngerti lagi sama dia!."
---
Acha harus gigit bibir buat nahan tawa.
Tapi di dalam hati?
Dia 𝙇𝙚𝙜𝙖.
Wait. 𝙡𝙚𝙜𝙖?
💬"𝙆𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙜𝙪𝙚 𝙣𝙜𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖 𝙡𝙚𝙜𝙖?"
Dia langsung shake her head, seolah bisa shove away pikirannya sendiri.
---
Laura
(menghela napas dramatis.) 💬"Acha, kita ke kantin aja, yuk. Gue perlu isi energi setelah penolakan barusan."
Raisya Andromeda (Acha)
(menggeleng.) 💬 "Lo duluan aja. Gue mau ke toilet."
Laura
(ngelirik curiga, tapi akhirnya angkat bahu.) 💬 "Yaudah, tapi janji lo nyusul gue!" (Tatapan tajam, pipi menggembung.)
Raisya Andromeda (Acha)
(cuma ngacungin jempol, lalu lihat Laura pergi.)
---
Then, silence.
Dia mulai jalan ke lorong sepi, menuju toilet.
Tapi sebelum dia sampai...
Dia dengar sesuatu.
Suara seseorang.
Menangis.
Langkahnya melambat.
Suara itu... familiar.
Dengan hati-hati, dia ngintip dari balik dinding.
Dan what she sees—
Noah.
Sahabatnya berdiri di depan seseorang, bahunya gemetar, suara tersendat seakan dia mad and broken at the same time.
Dan di depannya... Maven.
Acha holds her breath.
Mereka face to face.
Tapi ada yang beda.
Maven nggak lagi kelihatan seperti the always-composed professor.
Ekspresinya lebih gelap. More vulnerable.
Seolah... ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Acha nggak bisa denger jelas, tapi cukup untuk nangkep one line dari Noah—
"Lo enggak bisa terus begini, Maven."
What the hell does that mean?
Jantung Acha racing.
Ada sesuatu di antara mereka.
Something deeper. Something unspoken.
Dan entah kenapa, it makes her chest tighten.
She wants to move—ask, step in, do something—
But her feet won’t budge.
Because deep down, she knows.
This isn’t something she’s supposed to hear.
But it’s too late.
She already did.
---
Comments