Aroma sate berpencaran di udara, memanggil mereka yang berkeroncongan. Tusukan daging dipanggang diolesi kecap, asap-asap menerobos wilayahnya. Matangnya sate mewujudkan keinginan perut keroncong. Dua piring sate siap diantarkan ke meja 4. Akibatnya penunggu merasa bersahaja. Gigitan pertama menarik perhatian lidah untuk merasakan lagi. Mereka tampak menikmati makanan di warung sederhana itu. Seorang pria merasa puas karena perempuan itu lahap memakannya.
Memang benar, kebahagiaan bisa datang dari hal sederhana. Melihat dia menikmati, rasanya sangat bersyukur. Dia pernah berpikir bagaimana jika perempuan itu tidak suka berada di tempat sederhana, terutama ketika makan. Tidak semua makanan sedap dihasilkan dari tempat-tempat lewah, ada saja tempat sederhana memenangkan cita rasa.
"Sorry ya bawa lo ke tempat sederhana gini."
Daging yang prosesnya masih dikunyah langsung ditelan oleh tuannya. Ucapan lelaki itu membuat perempuan di depannya tak senang. "Kan aku yang ajak Kakak ke tempat ini," jawabnya. Daging mendarat lagi ke lidahnya. "Memangnya salah makan di tempat begini, Kak? Kak Elzio sering ajak aku makan ginian, kok. Kakak nggak usah khawatir, aku bukan perempuan yang pemilih tempat makan. Ya yang paling penting bagiku tempatnya bersih sih, Kak. Kalau Kakak gimana? Apa Kakak nyaman makan di tempat gini?" Dia melontarkan pertanyaan balik kepada Corne.
Kedua mata itu tertuju kepada perempuan di depannya. Pertanyaannya tidak perlu dijawab, bagaimana pun Corne bisa menyesuaikan dirinya. "Netral," jawabnya singkat. Berbicara dengan Corne sedikit membuat kepala pusing. Lelaki itu sangat malas menjawab pertanyaan yang baginya tidak penting. "Gue suka makan di mana aja, asal ada lo."
Dety menganga menahan rasa tawa. Dirinya dan Corne tidak ada hubungan apa pun, untuk apa mengatakan atau menggombal hal yang tidak perlu? Hari ini kebetulan saja, mungkin di hari selanjutnya mereka tidak bertemu lagi.
"Kak Nicho buaya, ya? Kakak suka menggombal anak cewek, kan? Hayo ngaku... Jujur, Kakak memang tampan, tapi nggak semua cewek pastinya mau sama Kakak."
"Kenapa? Bukannya cewek suka sama cowok tampan, termasuk gue?"
Dety menggeleng cepat. "Gak semua cewek suka sama cowok tampan, Kak. Memangnya kalau tampan, hatinya dah tentu baik? Nggak semua harus dipandang dari luar, ada baiknya lihat ke dalam terlebih dulu." Tanpa berpikir panjang, Dety mengucapkan isi hatinya. "Sama kayak cewek juga, Kak. Memangnya cewek cantik dah tentu hatinya baik? Cowok sukanya juga sama cewek cantik, kan? Kalau gak cantik memangnya mau? Aku tahu, kok, nggak semua orang gitu. Aku percaya di dunia ini masih ada cewek atau cowok yang melihat kecantikan dan ketampanan dari dalam."
Corne mengangguk seolah sependapat dengan Dety. "Jadi gue yang tampan ini, belum tentu baik di dalam? Menurut gue, gue baik orangnya, mau orang lain bilang gue jahat, gue nggak peduli. Yang tahu betul diri gue sendiri cuma gue. Sama kayak lo, kebanyakan orang suka sama lo karena lo cantik aja, kan? Kalau nggak, nggak mungkin lo nerima cowok asal-asalan kayak pacar lo sekarang. Juga kalau memang lo berpikir secara logika, lo nggak akan nerima cowok kayak gitu sebagai pacar lo. Lo nerima dia karena dia terkenal di sekolah, iya, kan? Memang ada gunanya? Yang ada lo malah dijauhi sama anak cewek lainnya."
Gadis di depannya mengepalkan tangan atas ucapan pria itu. Tidak ada satu orang pun yang mendukung dia menjalin hubungan dengan Hans, termasuk Elzio. Dety bingung kenapa mereka semua berpendapat bahwa Hans bukan pria yang baik. Dia yang mengenal Hans lebih baik dari mereka semua. Mengapa harus mereka yang menilai Hans? Apalagi mereka semua hanya melihat sisi buruknya.
"Gue tahu gue keterlaluan ngomongnya," ujarnya ketika menyadari mood Dety berubah. "Tapi An, ini semua untuk kebaikan lo. Elzio sering cerita, dia nggak sanggup lihat lo hampir tiap hari nangis karena pria itu. Apa dia sepenting itu di mata lo?"
Dety mencoba menenangkan dirinya. Perkelahian tidak ingin dia lakukan di luar rumah, apalagi adu argumen. "Kak, kenapa kalian semua gak suka sama Hans? Dia nggak punya salah apa pun sama kalian, kenapa kalian selalu menilai dia buruk?"
"An," tidak ada sela, Corne memanggil Dety. "Lo waras gak? Cewek bodoh mana yang nangisi cowok tiap waktu? Lo tahu kenapa di mata kami Hans bukan pria baik?"
Didapatinya Dety menggeleng dibarengi ekspresi kesal. "Dari lo, An, dari lo! Coba kalau lo nggak nangis hampir tiap hari, pasti kami nggak beranggapan Hans bukan cowok yang baik. Kenapa lo masih pertahanin cowok kayak gitu, An? Udah tinggalkan aja. Gue tahu hal itu gak bakal mudah, tapi jangan terlalu kolot juga, An. Sesekali mikir pakai logika. Lo udah berhak dapat cowok yang lebih baik dari dia."
...•••...
Tangan mungil itu memeluk guling sembari berpikir panjang. Dia masih memusingkan perkataan orang lain padanya. Bukan berniat tidak melawan, perlahan dia harus menerima tutur kata itu. Setiap ucapan adalah nasihat baginya, terutama menyangkut pria itu. Meskipun demikian, baginya tidak ada salahnya bertahan sedikit lagi, kalau memang sudah waktunya, pasti akan terjadi.
Teringat lagi, setelah percakapan tidak menyenangkan itu, dia dan Corne tak mengatakan sepatah kata pun. Dia takut memulai pembicaraan, terlebih lagi mood-nya sudah hancur. Namun, yang disampaikan Corne ada betulnya. Dety tidak sepenuhnya menyalahkan Corne. Pikirnya, dia terlalu keras kepala, bahkan dia belum mengatakan "Terima kasih" kepada pria itu.
Handphone yang terletak di sampingnya, diraihnya dengan pelan. Di sana, dia membuka kontak "Kak Elzio" dan meminta sesuatu. Belum sampai lima menit, pesan yang dia kirim sudah dibalas saja. Dibarengi perasaan bahagia, dia membuka chat mereka. Pesan yang dikirim berupa kontak-nomor baru menambah keceriaan sang gadis.
"Chat nggak, chat nggak?" Dety bingung sendiri. Pria itu tidak akan risih kalau dichat nomor baru? Bagaimana kalau di-block?
[Dety: Halo!]
Ingin melayang rasanya setelah pesan itu terkirim. Dia mengintip handphonenya sedikit demi sedikit, berharap langsung dibalas.
[Corne: Siapa? Ada yang bisa saya bantu?]
Mendapat balasan, perempuan itu melompat-lompat di atas kasurnya. Dia berteriak dan mengacak-acak rambutnya seperti orang gila.
[Dety: Anna.]
[Corne: Minta dari Elzio? Keren juga lo. Ada apa?]
Dety terkejut karena Corne langsung membalas cepat pesannya. Dia sempat berpikir bagaimana jika Corne tidak mau membalas pesannya sampai selama-lamanya.
[Dety: Kak, makasih yaa atas tumpangannya, makanannya, bajunya, dan nasihatnya. Maaf karena tadi aku nggak cakapi Kakak. Aku sadar aku keras kepala, jadi maaf yaa, Kak.]
[Corne: Gak apa-apa, lo gak usah minta maaf, gak ada yang salah di sini.]
[Corne: Nggak tidur? Besok sekolah, kan?]
[Dety: Ini mau tidur. Makasih yaa, Kak. Kakak juga tidur yaa.]
[Corne: Ya.]
Perempuan itu hanya memandang layar handphonenya. Pesan singkat Corne tidak membuatnya kecewa, apalagi matanya sudah mau tertutup. Tanpa keluar dari chat room mereka, mata Dety sudah terpejam saja. Dia memang aneh, tadi masih lompat-lompat di kasur, sekarang sudah menjadi anak kalem. Mungkin batinnya lelah untuk hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments