Dengarkan kata hati. Tutup telinga untuk menangkal masuknya tuturan dekil. Tak penting dihiraukan, hidup terbentuk bukan karena mereka. Buang pikiran buruk, masih ada mengidolakanmu, tapi kau tak tahu.
Siapa butuh rekan hujahan? Di depan manis, di belakang menikam. Sudah kaualami rasa sakit yang membuatmu tak mengenal waktu, hanya meneteskan mutiara putih dari mata nan elok. Tinggalkan yang menyakiti, tak perlu merasa iba. Hidup untuk bahagia, bukan menderita oleh tuturan terbelakang.
Berpura-pura tak mengacuhkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapa kata dia tidak mendengar ocehan di sana? Namanya disamarkan, dia tahu. Keburukannya terungkap tanpa diketahui dirinya. Siapa yang menambahi, tak lain orang terdekat.
"Modal caper aja bangga," bisikan itu selalu dia dengar, setiap saat, apalagi jika memasuki kelas kekasihnya. Apa salah guru meminta bantuan? Apa salah aktif di setiap mapel? Kalau tidak merugikan orang lain, ya diam saja. Uang sekolah dari orang tuanya, bukan dari omongan-omongan terbelakang. Menjawab apa yang ditanyakan bukan berarti mencari perhatian.
"Dety, tolong kamu tulis absen kelas kita ya, Nak. Besok Ma'am tunggu paling lama." Tangan mulus itu memberi buku tipis berbentuk persegi panjang kepada sang gadis. "Satu lagi, tolong kamu sampul buku absennya. Sampulnya minta ke tata usaha."
"Oke Ma'am. Permisi ya, Ma'am." Kedua kaki mulus itu melangkah dengan cepat keluar dari kelas yang memiliki aura tak sedap. Dia tidak menyapa kekasihnya, dia bahkan enggan untuk melihat.
...•••...
"Det, nanti kita pulang bareng, ya? Kamu nggak sama pacar kamu, kan?" Abigail menghampiri meja sahabatnya. Sudah lama baginya mereka tidak pulang bersama. Dety selalu diantar pacarnya pulang ke rumah, sementara dia pulang sendirian dengan rasa sepi.
Dety menghentikan jarinya yang mengayunkan pulpen hitam di atas kertas putih. Dia menoleh kepada sahabatnya. Mata nan elok itu memperlihatkan air tergenang di sana.
Segera Abigail mendekati telinga Dety, dia berbisik, "Det jangan menangis, nanti kita beri pelajaran ke buaya itu."
Terdengar suara tawa ringan dari sahabatnya, mata itu tak lagi tergenang air, tapi masih tampak kesedihan dari wajahnya. "Kenapa dia nggak pernah melihat aku ya, Ga? Apa aku jelek? Apa aku kurang baik untuknya? Setiap aku memasuki kelasnya, dia selalu buang muka, bahkan dia tadi bermain dengan anak-anak cewek, Ga. Nggak adil, kan, ya? Dia ngelarang aku friendly ke cowok, tapi dia malah friendly ke cewek. Mau dia apa coba? Apa rasa sukaku kurang besar?"
Abigail mengambil kursi temannya yang sedang permisi ke toilet, dia meletakkan kursi itu di samping Dety. "Kamu hanya bodoh," ucap Abigail. Mendengar curhatan Dety sudah menjadi makanannya sehari-hari. Padahal Abigail berkali-kali menyuruh Dety untuk putus saja, tapi gadis itu tetap tidak mau, dia selalu merasa bahwa Hans adalah orang yang terbaik untuknya. Memang kalau sudah jatuh cinta manusia akan buta.
"Det, aku berkali-kali nyuruh kamu putus, dia bukan pria yang baik, Det. Tinggalkan orang seperti dia, tolong. Kamu mau disakiti terus-terusan? Nangis untuk orang yang belum tentu jodoh kamu? Kamu pikir dia peduli dengan perasaan kamu? Enggak, Det, enggak. Dia udah bosan sama kamu, perasaan dia hambar, Det. Seharusnya kamu sadar saat ini dia sedang mencari penggantimu. Ayo dong Det, buka pikiran kamu. Kamu pintar, tapi sayang sangat bodoh masalah cinta." Abigail tidak peduli lagi dengan perasaan Dety. Jujur, dia sudah muak atas kelakuan pacar sahabatnya. Abigail pernah berpikir bagaimana jika Hans sudah mencuci otak Dety? Soalnya setiap disuruh putus, Dety tidak mau putus dari dia.
"Kamu sama sekali tidak mengerti, Ga. Rasa sukaku sudah aku beri untuk dia. Aku nggak bakal bisa kalau kami mengakhiri hubungan. Bagiku dia sudah seperti malaikat."
Bel pulang menghentikan percakapan mereka. Abigail kembali ke mejanya untuk membereskan barang-barangnya. Bukan tidak ingin menanggapi Dety, dia hanya sedikit pusing dengan sahabatnya itu. Abigail merasa sahabatnya mendadak bongak. Semakin hari rasa suka Dety semakin menumpuk, sedangkan rasa suka Hans semakin memudar.
Kedua tangan kecil itu bergandengan menuju gerbang kebebasan. Kaki-kaki melangkah dengan riang, mengeluarkan keluh-kesah yang dihadapi. Dia mencoba tidak memikirkan pria itu, berusaha tidak menoleh ke belakang-berharap dicari. Sebelum menaiki kendaraan umum, mereka mampir ke fotokopi sebelah. Abigail mengambil dua pulpen gel hitam bercorak kuromi, satu ingin diberikan kepada sahabatnya. Rasa sayang Abigail kepada Dety, mengalahkan rasa sayang Hans kepada Dety. Andai saja Dety menyadari perbedaan mereka. Andai...
Hendak memasuki kendaraan umum, sorakan anak sekolah Eterna mengalahkan klakson mobil karena macatnya jalan. Dety dan Abigail menoleh dari seberang apa yang terjadi. Sekejap sebuah motor Honda CBR250RR, menampakkan diri ke jalan raya, melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa sadar Dety ada di sana.
Pandangan mata anak Eterna tertuju pada Dety yang diam membisu. Ada yang puas, ada yang merasa iba, bahkan ada yang tidak peduli. Pandangannya kosong, jauh di dalam rasanya seperti tertusuk seribu pisau. Tidak cukup kah friendly saja? Mengapa harus ada pihak ketiga di antara kita?
Rangkulan itu membuat Dety tersadar, dia memasuki kendaraan umum bersama sahabatnya. Kepalanya tertunduk, tidak sudi melihat orang-orang. Untuk kesekian kali, dia menahan air yang tergenang di matanya.
...•••...
"Sudah pulang adik tercinta kakak? Makan siang sana, habis itu kakak mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu mau, kan? Biasanya kamu paling semangat kalau keluar sama kakak."
Tak ada tanggapan dari ucapannya. Dia menyadari ada yang aneh dari Dety. Diletakkannya laptop di atas meja, meninggalkan tugas kuliahnya. Dia merasa bersalah karena tidak menoleh saat berbicara kepada Dety. Kaki panjang itu menyusul langkah adiknya menuju kamar. Sebelum pintu dikunci, dia berhasil mencegah.
Didapatnya tatapan kesal dari sang adik. Tangannya mendorong pintu perlahan, masuk tanpa izin. Dielusnya kepala dengan rambut hitam itu, lalu dia mendapat pelukan dari sang adik.
Dirasakannya baju itu mulai basah, dengan perlahan dia melepas pelukan sang adik. Mata nan elok itu kini dipenuhi air mengalir membasahi pipi mungil sang adik. Kedua tangan kekar itu menghapus air yang mengurangi kecantikan adiknya. Dia tersenyum, mengerti apa yang dirasa.
"Dia bukan pria yang baik, Det. Tinggalkan, kakak mohon," ucapnya lembut.
Waktu berlalu begitu cepat, air tidak lagi membasahi pipi mungil sang gadis. Seorang pria membawakan makanan ke dalam kamar sang gadis. Tak tega baginya jika sang adik belum makan hanya karena pria sontoloyo menyakitinya. Sungguh menjengkelkan.
"Bentar lagi Mama dan Papa pulang, cepat makan, nanti kita dua dimarahi," tegas Elzio.
"Kita mau ke mana, Kak? Biasanya kakak selalu sebut tempatnya, kok," tanyanya sembari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.
"Ke rumah teman kakak." Tanpa memikirkan Dety setuju atau tidak, dia menganggap Dety setuju dengan dia. Dety suka pergi keluar rumah jika diajak oleh Elzio. Oleh sebab itu, Dety pasti mau-mau saja diajak pergi ke mana pun. "Ke rumah Cornelious, masih kenal?" sambungnya.
Segera Dety mematung di atas tempat tidur. Siapa sangka cepat atau lambat mereka akan bertemu kembali. Lagian kenapa harus ke rumah Corne? Jika mengingat kejadian kemarin, dia sangat malu.
"Cepat makannya, dia udah gak sabar nunggu kamu."
Alis Dety bertaut, "Nunggu aku? Kenapa? Untuk apa?"
"Untuk dekatin kamu lah, apa lagi?"
Cubitan kecil mendarat di tangan Elzio. Rasa sakit itu merespon untuk menghindari serangan selanjutnya. "Kenapa Dety? Kamu malu ketemu sama dia? Kenal aja enggak," ejeknya yang membuat Dety semakin kesal.
"Kamu aneh kak! Kakak bilang kak Nicho mau dekatin Dety, terus kakak bilang kami nggak saling kenal. Nggak masuk akal tahu!" ujarnya sembari memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut.
"Ya... itu urusan kalian lah, kalau memang belum kenal, nanti kenalan. Jika memang kalian saling suka, kakak pasti dukung! Tanpa bertanya kalian sudah dapat restu dariku."
Dety menggeleng. "Enggak mau! Dety suka sama Hans! Selamanya!!"
Tawa Elzio menyakiti perasaan Dety. Salahkah Dety menaruh hati kepada Hans? Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, siapa tahu nanti Hans berubah menjadi pria yang lebih baik dan mencintai Dety sedalam-dalamnya.
"Kalian tidak akan bisa bersama selamanya, Dety. Kakak tidak memberikan restu atas hubunganmu dan Hans. Jangan bodoh, tidak semua pria itu pria yang baik. Satu lagi, jangan termakan omongan manisnya." Elzio keluar dari kamar Dety dengan perasaan bersalah. Dia tidak mau menyakiti Dety, demi apa pun dia tidak mau. Yang dia lakukan untuk kebaikan Dety, seharusnya Dety bisa mengerti.
...•••...
Tawa itu memecah kesunyian senja untuk kesekian kali. Dua dari tiga berbincang-bincang layaknya di dunia hanya ada mereka. Seorang lagi terdiam-membisu, susah rasanya mengikuti pembicaraan pria dewasa. Jika tidak tentang kuliah, pekerjaan, cewek, mereka membahas game. Tidak semua perempuan menyukai game, termasuk Dety. Hanya saja dia bersyukur, kedua pria itu tidak membahas hal dewasa. Masih terbilang wajar untuk menghargai anak perempuan manja di sana.
Sejujurnya sepasang mata memperhatikan Dety dari sofa seberang. Pandangannya tak pernah lepas, meskipun sedang berbicara dengan seorang teman. Dia memperhatikan gerak-gerik perempuan itu, tangannya mengotak-atik handphone sembari tersenyum. Tidak asal menebak, dia tahu Dety pasti bertukar pesan dengan kekasihnya. Jadi siapa di sini orang ketiga? Dety yang hanya diam-membisu di rumah Corne atau Corne yang memperhatikan Dety secara diam-diam? Atau Elzio yang menghalangi Corne berbicara empat mata dengan Dety?
[Dety: Hans, kamu tadi lucu banget yaa sama Manda. Dia lagi sakit? Biasanya kamu nggak mau pulang sama cewek lain.]
[Hans: Maaf yaaa sayangg, tadi Manda buru-buru pulang. Bundanya sakit, nggak ada yang jaga. Manda minta tolong antarin dia tadi. Kamu nggak marah, kann? Maaff nggak izin sama kamu dulu.]
[Dety: Iyaa, nggak apa-apa kok. Aku mau nanya, boleh?]
Dety berhenti menggerakkan jarinya. Tak kunjung datang pesan dari Hans. Perempuan itu selalu mengambil sisi positif, mungkin Hans lagi sibuk atau sedang membawa motor.
Dety merasa bosan dengan media sosial yang ia buka. Diletakkannya handphone itu di atas meja, pandangannya tertuju pada Corne yang masih berbincang dengan Elzio. Tatapan itu tidak memberi maksud apa pun, tatapannya kosong, layaknya melamun.
"Ada apa?" Corne sadar akan tatapan perempuan itu. Secara sadar dia mengalihkan perhatian kepada Dety, tak mengacuhkan Elzio yang tengah tertawa.
Getaran handphone Dety membuat dia tersadar dari lamunannya. Kedua mata elok kini berpandangan muka. Mereka terpatung, kaku, canggung, tak tahu harus bagaimana.
Kedua kalinya handphone Dety bergetar, Dety mengalihkan pandangan dari Corne. Segera ia mengecek notifikasi yang tak sabar untuk diberi tanggapan.
[Hans: Mau nanya apa sayangkuu? Tanya aja, pasti aku jawab.]
[Hans: Kamu di mana? Ayoo jalan.]
Kedua pesan tersebut berhasil mengembalikan suasana hati Dety. Ia selalu melihat sisi positifnya, tak peduli bahwa itu berkebalikan.
[Dety: Kamu kenapa selalu cuek waktu aku masuk ke kelas kamuu?]
[Dety: Aku merasa kamu nggak suka lagi sama aku, iya, yaa? Katanya rasa suka cowok dari 100-0, apa benar?]
Jantung Dety tidak stabil saat mengirim pesan tersebut. Dia takut Hans akan marah padanya, dia takut Hans meminta putus. Ekspresi perempuan itu tidak tertebak lagi, kedua pria yang duduk di dekatnya sampai bingung akan sikapnya yang berubah-ubah setiap saat.
[Hans: Aku masih suka sama kamu, tolong jangan pikir yang lain-lain sayangg.]
[Hans: Aku cuek? Aku benar-benar minta maaf Detyy. Rasanya nggak enak kalau guru ngelihat kita kode-kodean saat kamu masuk ke kelasku. Bisa dibilang nggak sopan.]
[Dety: Kamu lakuin itu untuk kebaikan kita yaa? Makasih yaa Hans, kamu memang yang terbaik.]
[Hans: Iyaa, kamu di mana sekarang?]
[Dety: Lagi di luar, sama kakak.]
[Hans: Ohh berarti kita nggak bisa ketemuan? Ya udah selamat menikmati.]
"Det, buatin kakak Sandwich dong." Suara itu menyadarkan adiknya yang tengah bermain handphone. Bermula dari layar hijau, kini menjadi hitam. Belum sempat membalas chat Hans, sudah dikagetkan oleh pria di sampingnya.
"Tapi ini bukan rumah kita, Kak. Masa aku jemput bahan-bahannya ke rumah," Dety berbisik untuk menjaga perasaan Corne.
Pria yang memperhatikan mereka melipat kedua tangannya di dada, kakinya ikut menyilang. "Gue punya bahannya. Perlu bantuan?"
Perempuan itu langsung terdiam dengan sikap dinginnya Corne. Apa Dety punya salah sama dia? Pertemuan terakhir mereka baik-baik saja, bahkan Corne masih bercanda-tawa.
"Mau buat sekarang, kan?" Corne beranjak dari sofa yang ia duduki. Tanpa berpikir dua kali, Dety menyusul dia dengan cepat.
Tangan kekar pria itu membuka lemari dan mengeluarkan mikser. Diletakkannya alat itu di atas meja sembari mencari bahan lainnya di dalam kulkas. Sementara perempuan di sana hanya bengong, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Aerik_chan
tiba-tiba ngefreeze dong
2024-10-18
0