Nicho dan Anna

Waktu menunjukkan pukul 18.00 sore. Dia merapikan barang dengan tergesa-gesa. Panik, takut ketinggalan angkutan umum. Temannya izin pulang terlebih dahulu, dia tak keberatan, terus melanjutkan tugas kelompok tanpa mengenal waktu. Kecerobohannya membuat dia hampir tidak pulang ke rumah--merepotkan orang tua bukan tipenya.

Suara guruh meresahkan hatinya. Rintik-rintik turun membasahi mereka yang berada di bawah. Perempuan itu memandang langit abu tak percaya. Lupa membawa payung, sungguh sial nasibnya.

Ditatapnya ruangan kelas sebelum menutup pintu. Aura-aura mengerikan menyelimuti dirinya. Salah satu tangan kecil itu mematikan lampu secepat kilat, menarik pintu kuat-kuat agar tertutup cepat. Dia berlari sekuat tenaga menuju pintu gerbang. Dia merasa seperti dikejar sesuatu. Mencekam.

Tetesan air jatuh dari seragam yang ia kenakan. Perempuan itu berteduh di halte sementara waktu. Tangan yang terasa lengket susah payah membuka handphone yang ia pegang. Rasa ingin mencaci hampir keluar dari diri sang gadis. Tak sadar handphone itu tersisa satu persen. Baru ingin menelepon Kakaknya, sudah keburu mati. Ditariknya napas dalam-dalam, menghembuskan dengan rasa kecewa.

18.20, hujan semakin deras. Angkutan umum berkurang. Di sana sangat sepi, tidak ada orang berlalu-lalang. Entahlah, mungkin karena sudah malam dan cuaca tidak mendukung.

Petir menyambar kesekian kalinya. Sang gadis menatap langit diikuti perasaan gelisah. Sampai kapan dia duduk diam di tempat itu? Tidak ada yang bisa diandalkan. Pacarnya sudah pulang, handphone mati, angkutan umum entah ke mana, dan tidak ada satu pun orang yang lewat dari sana.

Mata itu tergenang air lagi. Dia takut, sangat takut. Bagaimana jika hujan tak kunjung berhenti dan petir menyambar setiap menit? Bagaimana jika orang yang lewat bukan orang yang baik dan hendak merampok dia? Bagaimana jika dia tidak pulang ke rumah? Bukankah orang tua dan Kakaknya akan khawatir? Apa ini hukuman karena tidak mendengar nasihat sang Kakak? Apa memang harus putus dengan Hans? Hans juga tidak ada menemani dia di sana, bahkan dia tidak mengirim pesan kepada Dety semenjak pulang sekolah tadi. Namun, Dety selalu melihat sisi positifnya, mungkin Hans sedang sibuk. Tidak mungkin Dety selalu menjadi yang utama bagi Hans.

"Do I know you?" Suara pria mengagetkan Dety yang termenung meratapi nasib. Diliriknya pria itu dengan waspada. Hari sudah gelap, sulit mengenali orang.

"Anna?" Dety membelalakkan matanya. Benarkah dia yang menolong dirinya? Tapi bagaimana mungkin? Kenapa dia bisa sampai di sini? Apa dia memperhatikan Dety? Tidak, tidak, kemungkinan hanya lewat saja dan tidak mungkin orang asing mau menolong dia. Kata siapa mereka akrab? Hanya sekadar tahu nama saja. Lagi pula kalau tidak bersama Elzio, mereka seperti orang asing.

Pria itu duduk di samping Dety. Dilihatnya gadis itu basah kuyup. Ada sesuatu di dalam dirinya terasa tersayat. Sedih, kecewa, marah, entahlah. "Gue punya baju di mobil, ganti, ya? Kasihan lihat lo basah kuyup gini."

Didapatinya balasan menolak dari perempuan di sampingnya. Segera alisnya bertaut bingung. Mengapa ada orang yang menolak bantuan? Apa dia sejahat itu?

"Kakak punya nomor Kak Elzio? Bisa tolong telepon dia? Soalnya baterai Dety habis."

Corne menggeleng dengan cepat. Dia tidak setuju dengan permintaan Dety. Dia di sana untuk menolong Dety, kenapa harus menelepon Elzio? Manfaatnya apa? Bukankah lebih cepat kalau dia diantar Corne daripada dijemput Elzio?

"Gue akan antar lo pulang, tapi ganti baju dulu. Ayo. Kalau menolak gue tinggalin lo di sini." Ancamnya. Dia pergi meninggalkan Dety.

Dengan berat hati, Dety mengejar langkah Corne. Walaupun ada perasaan takut, Dety percaya Corne adalah orang yang baik. Dia tidak akan melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Dety berusaha percaya, berusaha. Tidak mungkin Kakaknya memiliki teman asal-asalan, pasti semua temannya baik, tidak berpikiran buruk.

"Di jok tengah ada tas, mungkin bajunya kebesaran sama lo. Gantilah di dalam, gue nunggu di luar." Tidak ada respon dari Dety, dia memijit kepalanya pusing. "Gue nggak akan ngintip," sambungnya sembari pergi menjauhi mobil.

Dety menuruti perkataan Corne. Baju yang tak layak lagi dikenakan segera ia buka. Dipakainya kaus dan celana pendek Corne, sangat kebesaran di tubuhnya. Di dalam tas Corne ada plastik, Dety mengambilnya dan memasukkan seragamnya ke dalam plastik itu. Selesai mengganti pakaian, Dety pindah ke jok depan. Dia memanggil Corne dengan sedikit membuka pintu mobil. Baginya hal tersebut tidak sopan, tapi bagaimana mau ia buat, nanti basah kuyup lagi, lalu dimarahi Corne.

Corne menutup payung hitam yang ia kenakan. Dinyalakannya mobil sambil memandang Dety. Dia ingin menertawai Dety dengan baju kebesaran yang dikenakannya. Sama seperti anak kecil yang belum tahu berpakaian.

Corne membuka jaket yang ia kenakan. Jaket itu menyelimuti tubuh kecil Dety. Jantung Dety mulai berdetak tak karuan. Apa yang dilakukan Corne seharusnya tidak ia lakukan, terlebih mereka hanya orang asing.

"Pakailah, lo pasti kedinginan."

"Makasih, Kak," jawabnya kaku.

"Mau makan di mana? Lo belum makan, kan?"

Seperhatian itu? Kenapa? Dia hanya adik dari kawannya, tidak perlu memberi perhatian lebih. Tidak mungkin Corne menyukai Dety, kan? Ngomong-ngomong memberi perhatian lebih kepada orang lain belum tentu karena suka, kan, ya? Bisa saja karena kita baik, jadi timbul rasa iba.

"Anna? Lo dengar gue, gak? Jangan diam aja, gue nggak bisa baca isi hati lo." Perlahan Corne menginjak gas, mobil mulai berjalan melewati jalan raya. "Lo takut sama gue? Tenang aja, gue nggak bakal lakuin apa pun ke lo. Lo itu adiknya teman gue, gak salah anggap lo sebagai adik gue juga."

Dety paham akan apa yang disampaikan Corne. Sekarang sudah pukul 18.48, sudah waktunya makan malam. Perut Dety berkeroncongan, tapi tak terdengar Corne. Namun, tidak apa-apa dia makan bersama dengan Corne? Dia lupa bawa uang, agak tidak enak jika Corne yang bayar semua.

"Kakak lapar?" dia balik bertanya. Sungguh tidak adil jika hanya Dety yang mendapat perhatian.

Sekilas Corne melirik Dety. Lucu rasanya yang ditanya malah nanya kembali. "Kalau gue bilang gak lapar, emang lo mau makan? Makan dulu, baru gue antar pulang."

Tidak ada celah untuk menolak Corne. Perhatian yang diberikan Corne mengalahkan perhatian yang diberikan Hans. Dari awal pacaran, Hans tidak pernah memberi perhatian seperti Corne. Apa karena Corne lebih tua dan berpikir matang? Sungguh membuat Dety bingung.

Mencoba memberanikan diri, Dety mulai membuka mulutnya. Corne tidak akan marah kalau Dety meminta sesuatu, kan? Dia pernah bilang kalau dia nggak bakal makan orang. Dia juga menolong Dety, seharusnya tidak apa-apa.

"Kak, aku boleh pinjam handphone Kakak? Mau ngabari Kak Elzio," ujar Dety dibarengi jantung yang berdegup kencang. Kejadian ini benar-benar membuat canggung.

Tanpa basa-basi Corne memberikan handphonenya kepada Dety. "5352."

Tujuan Dety meminjam handphone Corne hanya untuk menelepon Elzio, hanya untuk itu. Dia tidak berniat melakukan sesuatu. Diberi handphone saja rasanya sudah sangat bersyukur.

Dia menekan nama "Elzio" untuk dihubungi. Rasa paniknya muncul kembali. Takut dimarahi. Memang salahnya karena ceroboh, dia mengakui.

"Ada apa?" Terdengar suara dari seberang sana. Intonasi yang ia ucapkan mirip orang yang sedang marah.

Dety menarik napasnya, mencoba tenang. "Kak," ucapnya takut. "Ini Dety."

"Ha? Dety?! Kamu diculik sama Corne? Di mana kamu sekarang? Beraninya dia nyulik kamu. Pantas kamu belum pulang sampai sekarang. Harus diberi pelajaran itu anak."

Dety sengaja mengaktifkan speaker di percakapan mereka. Corne hanya bisa menggeleng-geleng dengan apa yang dikatakan Elzio. Sejak kapan Corne mau menculik wanita? Perasaan Elzio yang tahu baik tentang Corne.

"Eh, Kak, tenang dulu. Kak Nicho gak culik aku, kok. Jadi sebenarnya aku ketinggalan angkot, Kak. Terus hujan, baterai handphoneku juga habis. Untung ada Kak Nicho yang lewat, dia bilang dia antar aku pulang. Kakak nggak usah khawatir ya, ini aku juga mau makan kok sama Nicho."

"Makan? Sepiring berdua maksud kamu? Gak boleh! Makan di rumah aja."

Corne mengambil handphone yang dipegang Dety. Ia mendekatkan handphone itu ke telinganya. "Adik lo gak bakal sengsara kalau sama gue. Lo di rumah aja nunggu baik-baik. Biarkan Anna menghabiskan waktunya bersama gue. Jangan ganggu." Corne mengakhiri percakapan mereka. Elzio benar-benar mengganggu. Lagian aneh, kemarin dia mendukung, sekarang malah panik. Padahal Corne bukan pria yang suka melakukan hal senonoh.

[Elzio: Jaga adik gue baik-baik. Dia masih kecil, lo jangan macam-macam. Awas aja!]

Pesan itu hanya dibaca oleh Corne. Sedikit diliriknya Dety yang tengah menatap dia. Tangan kirinya menyentuh tape, memutar lagu apa saja untuk menghilangkan keheningan. Matanya fokus memperhatikan jalan yang dibanjiri oleh rintik-rintik hujan. Dia tidak tahu harus berkata apa dengan kondisi mereka. Kepalanya masih dipenuhi ucapan asal yang dia lontarkan kepada Elzio, "Biarkan Anna menghabiskan waktunya bersama gue." Rasa malu itu tak kunjung hilang. Padahal Dety mempunyai pacar, tidak seharusnya dia berkata demikian.

Namun, salahkah menaruh hati pada mereka yang sudah mempunyai kekasih? Apakah ada hukum tertulis 'tidak boleh menaruh hati kepada mereka yang sudah punya kekasih'? Siapa pun tahu, tidak semua hubungan berjalan mulus. Jika mereka memang tidak berjodoh, maka ada kesempatan untuk mendapatkan hatinya. Tidak ingin menjadi perusak hubungan, hanya menunggu waktu yang tepat.

Terpopuler

Comments

Aerik_chan

Aerik_chan

1 iklan untumu kak biar semangatzzz

2024-10-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!