Torn Between the Past and the Future"
Saat melangkah keluar dari penjara, udara luar terasa lebih segar, seolah-olah memberikan sedikit kekuatan untuk langkah selanjutnya. Leora menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang sempat kacau. Di hatinya.
Ia tahu jalan yang akan ditempuh tidak mudah, penuh dengan rintangan yang bisa saja menggoyahkan keyakinannya. Namun, entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lebih siap. Lebih siap untuk menghadapi kebenaran, untuk berjuang demi ayahnya, dan bahkan untuk dirinya sendiri.
Leora Lawrence Arthur
Sekarang waktunya.
*bisiknya*
Leora Lawrence Arthur
Aku tidak bisa mundur. Aku harus melawan."
Dengan tekad yang semakin menguat, Leora memutuskan untuk kembali ke rumah, merencanakan langkah berikutnya, dan menyusun strategi untuk membuka tabir kebohongan yang menjerat ayahnya. Langkah kecil yang penuh arti.
Saat dalam perjalanan pulang, Leora tanpa sengaja melihat seorang wanita yang begitu ia benci, yang tak lain adalah ibunya, sedang bersama seorang pria.
Ia tertegun sejenak, hati yang semula tenang tiba-tiba dipenuhi rasa panas.
Wanita yang telah meninggalkannya, yang lebih memilih untuk memutuskan hubungan mereka setelah perceraian, kini tampak begitu akrab dengan pria yang belum pernah ia kenal.
Leora merasa kebingungan dan marah sekaligus, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan berkecamuk dalam dirinya.
Seiring mobilnya melaju melewati mereka, ia sempat melihat ekspresi ibunya yang tampak begitu ceria, seolah tidak ada masalah yang menghantuinya.
Sementara itu, Leora, yang telah bertahun-tahun berjuang menghadapi dunia sendirian, merasa seperti dikhianati lagi.
Perasaan campur aduk itu membuat Leora berhenti sejenak di tepi jalan. Tangannya menggenggam setir mobil dengan erat, napasnya terengah-engah.
Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan—marahkah ia pada ibunya yang telah meninggalkannya, atau pada dirinya sendiri yang merasa cemas melihat ibunya hidup bahagia tanpa memikirkan masa lalunya?
Akhirnya, dengan kepala penuh pikiran, Leora memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan itu tetap bergema. "Apa yang sebenarnya ibu cari dengan pria itu? Kenapa dia begitu mudah melupakan semuanya?"
Sementara itu, di sisi lain kota, William duduk di ruang kerjanya yang luas dan modern.
Ia memeriksa beberapa dokumen penting di meja, tetapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang ada di depannya.
Meski tangan-tangannya bergerak secara otomatis, matanya tampak kosong, terfokus pada sesuatu yang tak tampak jelas.
Semua yang ada di benaknya hanyalah perasaan yang terus berkelindan—rasa marah, kebingungan, dan mungkin sedikit penyesalan yang mulai muncul.
Pikirannya terus melayang kembali pada Leora. Setiap kata dan ekspresi yang muncul di pertemuan mereka seakan terulang dalam benaknya.
Ia tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, sebuah kewajiban yang tak bisa ia hindari.
Namun, mengapa ia merasa semakin terjerat? Mengapa, setiap kali melihat Leora, ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan—antara rasa benci dan rasa iba yang terus bertarung?
Ia mengambil secangkir kopi yang sudah lama terletak di meja, meneguknya pelan. Tapi rasanya hambar. Sama seperti kehidupannya saat ini—hambar dan penuh dengan kebingungan.
William Nicholas Wilson
"Brengsek, kenapa aku merasa seperti ini?"
William Merasakan kegelisahan yang semakin menekan. Ia sudah berusaha menjauh, berusaha menjaga jarak, tetapi semakin ia mencoba menjauh, semakin dekat perasaan itu.
Mengapa ia merasa cemas setiap kali Leora terlihat terluka? Mengapa kata-kata ibunya yang terdengar penuh kasih sayang itu seakan menghantui pikirannya?
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan masuk dari ibunya, Clara, yang masih cukup sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan Leora.
Mama Clara:💬
"William, aku tahu kau tidak ingin melibatkan perasaan dalam pernikahan ini, tapi tolong, jaga hati Leora. Dia sudah cukup menderita. Jangan biarkan dia merasa sendirian dalam situasi ini.
William menghela napas, membaca pesan itu berulang kali. Clara memang selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa bersalah, meskipun ia tidak menginginkan hal itu. Ia meremas ponselnya, merasa cemas dan bingung.
William Nicholas Wilson
Apakah aku harus benar-benar peduli?
William Nicholas Wilson
Atau ini semua hanya tanggung jawab yang harus kutuntaskan?
Dengan sebuah desahan panjang, William meletakkan ponselnya kembali di meja dan menatap langit yang gelap melalui jendela kantornya.
Ada begitu banyak hal yang belum selesai dalam hidupnya, dan Leora hanyalah salah satu bagian dari kekacauan itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai bertanya-tanya: apakah ini semua hanya tentang kewajiban, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang mengikatnya pada Leora?
Ia merasa semakin terjebak dalam dilema yang tidak bisa ia hindari.
Ia tahu bahwa pernikahan mereka bukanlah cinta, tapi ada sesuatu dalam diri Leora yang membuatnya merasa tidak nyaman—bahkan sedikit khawatir.
Apakah mungkin, di tengah segala kebohongan dan kepura-puraan, ada secercah kebenaran yang tak bisa ia hindari
William memijat pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin berputar. "
William Nicholas Wilson
Aku tidak bisa terus seperti ini,"
*pikirnya*
William Nicholas Wilson
Aku harus menemukan cara untuk mengakhiri semua ini, untuk diri sendiri.
Namun, entah kenapa, meski ia ingin mengakhiri pernikahan ini dengan cepat, perasaan yang muncul setiap kali ia melihat Leora—entah itu rasa marah, benci, atau bahkan sedikit rasa kasihan—semuanya membingungkan.
Mengapa, setiap kali Leora terluka, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu hatinya? Mengapa ia merasa cemas melihatnya begitu rapuh, meskipun ia berusaha keras untuk tidak peduli?
Saat ia tengah tenggelam dalam pikiran yang kacau, tiba-tiba sebuah tangan melingkari tubuhnya dari belakang. William terkejut dan segera menoleh, hanya untuk menemukan Zoe berdiri di belakangnya, dengan senyum penuh arti di wajahnya.
William Nicholas Wilson
Zoe?"
Suara William terdengar sedikit tegang, tak bisa menyembunyikan kebingungannya
Zoe tersenyum manis, matanya memancarkan kedekatan yang tak terucapkan. "
Zoe Christina Lee
Kamu tampak tertekan, William. Aku pikir kamu butuh seseorang untuk menenangkan pikiranmu,"
Suaranya berbisik pelan di telinga William. Tangan Zoe tetap melingkari tubuhnya, seolah-olah mencoba menawarkan kenyamanan yang William rasakan semakin jauh.
William mencoba untuk melepaskan diri dari pelukan itu, namun hatinya terombang-ambing antara keinginan untuk menolak dan kenyataan bahwa Zoe adalah bagian dari masa lalunya yang sulit ia lepaskan.
William Nicholas Wilson
"Zoe, kita sudah selesai... itu sudah lama berlalu
Zoe hanya tertawa pelan, tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
Zoe Christina Lee
Kamu tahu, William, aku tidak akan pernah benar-benar pergi begitu saja.
Zoe Christina Lee
Kamu hanya perlu waktu untuk melihat apa yang sebenarnya kamu butuhkan.
Ia menggenggam tangan William dengan lembut, menatapnya dengan mata yang penuh harapan.
Tapi di dalam hatinya, William merasa semakin terperangkap.
Di satu sisi, ia merasa lega dengan kehadiran Zoe yang familiar, tetapi di sisi lain, hatinya bergejolak dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab tentang perasaannya terhadap Leora, dan perasaan yang semakin membingungkan itu.
Tangan Zoe mulai mengusap pipi William dengan lembut, matanya penuh kesungguhan. "
Zoe Christina Lee
Aku tahu kau masih mencintai aku, William
Katanya dengan suara rendah, seolah-olah mengungkapkan sebuah rahasia yang telah lama terpendam
Zoe Christina Lee
Dan aku minta maaf karena waktu itu aku tidak percaya padamu. Aku seharusnya lebih mendengarkanmu, lebih memahami."
William terdiam, terkejut dengan kata-kata Zoe. Selama ini, ia berusaha menahan diri untuk tidak memikirkan masa lalu, tetapi kini, kehadiran Zoe seolah membawa kembali semua perasaan itu.
Ia mengalihkan pandangannya, berusaha menahan emosi yang mulai mengalir.
William Nicholas Wilson
Aku sudah melupakan semuanya, Zoe,"
Suara william terdengar pelan, mencoba untuk menjaga jarak meskipun hatinya tidak sepenuhnya setuju dengan kata-katanya. "
William Nicholas Wilson
Kita sudah berakhir. Ini bukan tentang cinta lagi. Ini tentang apa yang terjadi setelah kita berpisah."
Zoe mendekatkan dirinya, matanya penuh dengan kesedihan.
Zoe Christina Lee
Tapi aku masih di sini, William. Aku masih peduli padamu.
Zoe Christina Lee
Mungkin kita bisa memulai lagi, memperbaiki semuanya.
William merasa hatinya terombang-ambing, dan meskipun ia tahu ia harus menanggapi dengan tegas, perasaan yang bertahan begitu lama di dalam dirinya membuat segalanya terasa sulit.
ia tahu bahwa hubungan mereka sudah terlalu rusak untuk diperbaiki, tetapi perasaan yang muncul dari dalam dirinya membuatnya ragu.
Setiap kali Zoe mendekat, sebuah bagian dari dirinya merespon dengan cara yang tidak bisa ia kontrol, seperti sebuah daya tarik yang tak bisa ia hindari.
Namun, semakin lama, semakin jelas baginya bahwa apa yang mereka miliki—jika itu bisa disebut hubungan—hanyalah bayangan dari masa lalu yang tidak bisa diputar kembali.
William menarik napas panjang, mencoba mengusir kebingungannya. "
William Nicholas Wilson
Zoe, aku… aku tidak tahu apa yang aku rasakan lagi. Aku berterima kasih untuk semua yang kita lalui, tapi aku harus jujur, aku sudah berbeda sekarang.
Suara william Pelan, seolah-olah mengucapkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri lebih dulu.
Zoe menatapnya dengan tajam, bibirnya sedikit terangkat, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
Zoe Christina Lee
Kau bohong, William. Kau masih mencintaiku, bukan?"
William memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Saat matanya terbuka kembali, ia menatap Zoe dengan tatapan yang penuh kebingungannya. "
William Nicholas Wilson
Ya, aku memang masih mencintaimu, Zoe.
William Nicholas Wilson
Tapi di sisi lain, aku bingung dengan perasaanku. Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar yang mengganggu pikiranku.
William Nicholas Wilson
Sesuatu yang aku tidak bisa jelaskan. Dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya."
Zoe menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap William dengan mata yang penuh perasaan.
Tangan Zoe yang tadi mengusap pipi William kini turun dan melingkari lehernya dengan lembut, menariknya sedikit lebih dekat.
Dengan gerakan yang penuh keyakinan, Zoe mencondongkan wajahnya, mendekatkan bibirnya ke bibir William, seolah-olah ingin memastikan bahwa perasaan yang pernah ada di antara mereka belum sepenuhnya padam.
Comments