"Bagaimana jika papa mengawasiku mulai sekarang? Jika aku gagal masuk kedinasan di tahun pertama ini, yang perlu papa lakuin hanyalah cabut semua fasilitas yang papa kasih! Semuanya. Termasuk uang buat beli internet, makan tiap harinya, listrik, les ini itu, dan bayaran sekolah." Ucapku.
"Kamu udah memikirkannya?" Tanya papa.
"Ya. Cara ini lebih bagus kan? Pengeluaran papa tiap bulannya nggak membengkak. Di saat yang sama, aku pun harus berusaha lebih keras agar sekolah, les, kerja, dan tanggung jawab di rumah nggak keganggu gugat! Dari sini, situasinya akan memaksaku untuk benar2 mandiri secara finansial, bukan terus2an jadi parasit di rumah ini. Dengan begitu, ketika mama benar2 ngusir anak kandungnya ini, aku tak perlu risau karna bisa membiayai segalanya sendiri!" Ucapku.
"Baiklah. Lakukan semaumu!" Ucap papa.
Aku tersenyum lebar.
Mungkin papa melihat sisi keras kepalaku.
Mungkin juga papa melihat raut wajahku yang benar2 serius.
Tapi papa sepertinya lupa satu hal.
Aku pernah bilang suatu saat nanti, aku pasti jadi trillionaire pertama di keluarga besarku dan papa merestuiku.
Tentu saja mau dipikir gimanapun, ucapanku saat itu seperti omong kosong bukan?
Sayangnya, untuk anak yang tak pernah direstui oleh ibu kandungnya, restu papa aja udah cukup menyentuh hatiku.
Pertama, aku sayang papa.
Kedua, papa pahlawanku.
Ketiga, papa tuh malaikat pelindungku.
Keempat, tanpa bilang pun, papa paling tau apa yang kurasakan.
Kelima, hanya papa lah orang kedua yang percaya pada kemampuanku setelah diriku ini.
Jadwal makin padat.
Kadang nggak dapet hari libur.
Cuannya lumayan sih.
Kesulitannya itu gila2an!
Tapi gpp.
Sejak awal, aku tau jalan yang kupilih benar2 terjal dan curam.
Memangnya aku bisa apa?
Aku takkan membiarkan diriku terus2an terpuruk begini seolah2 akulah orang terhina di muka bumi ini!
Soalnya aku percaya satu hal.
Takkan ada yang mau memandangku, kecuali aku benar2 dah jadi orang!
Tadinya kupikir gajiku bakal dibayar full di bulan2 berikutnya, ternyata tidak.
Aku langsung digaji di bulan itu juga.
Alhasil ini memudahkanku untuk mengelola lagi semua pos2 yang kumiliki.
Short term:
Kebutuhan bulanan
Kursus+seminar+workshop (olahraga, seni, dan bisnis)
Kulineran+solo traveling
Medium term:
Bisnis
Biaya berobat ortu
Biaya pindah negara
Long term:
Dana darurat
Tabungan
Asuransi
Investasi
Biaya pensiun ortu
Biaya nikah
Biaya pendidikan anak
Lucu ya?
Wajahku datar.
Belas kasih dan moral aja udah terkikis.
Dendam kesumat masih membekas di hati.
Entah mama, papa, ataupun adik.
Aku benci betul keluargaku.
Di saat yang sama, aku masih memikirkan nasib keluargaku di masa depan.
Ini aneh bukan?
Masa bertindak kok setengah2?
Kalo jadi jahat ya jahat aja!
Kalo jadi baik ya baik aja!
Masa setengah2 gini sih?
Heran aku!
Apa karna masih ada rasa balas budi pada papa mama?
Atau karna jauh di lubuk hatiku masih sayang mereka?
Entahlah.
Aku pun tak tau.
Aku yang sering berpikir menggunakan logika benar2 nggak ahli menggunakan perasaan begini!
"Cieee yang lagi cantik2nya~ Ntar kalo kita udah sama2 kerja dan punya penghasilan sendiri, mau gak belanja cheongsam bareng?" Tanyaku.
"Nggak deh. Gw kan dah ngehapus semua yang berkaitan dengan budaya lama gw." Ucap temanku.
"Berarti gak bisa ya?" Tanyaku.
"Lo nggak jajan? Setidaknya beli makan siang kek atau apalah!" Ucap temanku.
"Nggak. Lo kan tau gw gimana? Gw nggak akan jajan, kecuali target gw terwujud!" Ucapku.
"Nggak masalah nih?" Tanya temanku.
"Gpp. Makan aja. Aku bisa tahan nafsu kok!" Ucapku.
Alih2 nggak jajan, aku pun malas bawa bekal.
Lebih tepatnya aku trauma bawa bekal.
Masa makan bekal ngemper di lantai, ngeliatin kaki orang, dan lagi makannya sendirian pula?
Oh no!
Aku nggak mau kejadian itu terjadi lagi!
Aku cuma beruntung karna sering nggak bawa bekal, aku jadi lebih sering makan masakan mama.
Yeah meski terkadang dia eksperimen aneh2, tetep aku makan kok!
Kadang2 aku buang diem2 sih...
Uhuk!
Ramai banget!
Andai saja aku tak perlu membatasi diri dan juga tak perlu nahan nafsu!
Dengan uang yang kumiliki, aku pasti bisa jajan sepuasnya apapun yang aku mau!
Tapi...
Aku sadar betul papa akan segera pensiun, opa bakal mati, keluargaku berujung nggak dapet warisan apa2 saat ngejual rumah, mama bakal menua pasti perlu banget biaya berobat, dan lagi... ekonomi keluarga saat ini tak begitu baik.
Jika aku jadi anak yang gak tau diri, hidup hedon, kerjanya hura2 tiap hari, bukankah itu artinya keluargaku bakal semakin terpuruk lagi?
Aku tak mau hal itu benar2 kejadian!
Seperti biasanya.
Sekolahku benar2 membosankan.
Belajar sih belajar, tapi kan kebanyakan jamkos tau!
Apa mungkin karna kelasku sering disebut kelas berandal?
Entahlah.
Bukan urusanku juga.
Yang penting...
Selama masa sekolahku, aku sudah menyiapkan diri buat ujian, tes kesehatan, dan tentunya wawancara.
Ah!
Jangan salah paham!
Meski sering dapet kelas berandal begini, aku pun berhasil mencetak 10JT pertamaku!
Kyaaa!
Senangnya~
Mau dipikir gimanapun, untuk pelajar yang bentar lagi tamat sekolah, segini udah lumayan sih daripada diriku di masa lalu yang masih saja pengangguran+beban ortu+parasit di rumah!
Tapi aku tak bisa bangga.
Percuma juga kalau aku tak bisa mengelola keuangan pribadiku sendiri!
Sebaiknya aku harus menggulung kembali cuannya dan fokus pada pos2 medium+long term!
"Gimana? Lo keterima gak?" Tanyaku.
"Keterima dong!" Ucap temanku.
"Woah! Boleh juga Lo! Jangan berhenti berjuang ya! Soalnya gw mau ngeliat Lo, ah maksudku kita berdua udah sama2 di atas sana!" Ucapku.
"Gw juga pengen kita tetep sering ngumpul bareng. Jangan ngelupain gw ya?" Tanya temenku.
"Gini aja. Jika gw masih ngunjungin Lo sesekali, itu artinya gw nggak ngelupain Lo. Oke?" Tanyaku.
Dia mengangguk setuju.
Menyenangkan sekali!
Meski begitu, aku harus tetap mengusahakan yang terbaik bukan?
Soalnya yang namanya kepercayaan sangatlah berharga di situasi begini!
Mengkhianati kepercayaan orang lain hanya akan menurunkan nama baikku saja.
Aku menatap keluar jendela.
Ada banyak gedung2 tinggi dan perusahaan besar dimana2.
Sejak saat itu, aku tenggelam dalam hasrat ambisiku yang tak ada habisnya.
"Kamu sama adek harus kuliah! Papa aja S1, masa anak2nya cuma lulusan SMA doang? Mau taruh dimana nama keluarga kita?" Tanya papa.
Benar.
Memang seharusnya aku masuk kuliah.
Tapi apa benar aku bisa melakukannya?
Aku mulai meragukan diriku dan kemampuanku sendiri.
Kembali merana dan ketakutan.
Hingga...
"Emangnya Lo bisa ngasih mama uang apa?" Tanya mama.
"Anak muda sepantaran Pina ini nggak bakal bisa ngebeli rumah sendiri." Ucap om.
Ya.
Panasnya hati ini masih membekas.
Segala emosi tak terkendali itu menciptakan kekuatan yang baru.
Benar.
Dendam kesumat, amarah, penderitaan, rasa sakit, dan kekecewaan itulah yang berhasil ku ubah jadi semangat saat aku mulai terpuruk.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments