Menegaskan Batas

Ines mengurung diri selama satu hari di rumah. Dia menolak semua undangan yang datang padanya. Dia memang tidak punya kewajiban untuk berangkat bekerja karena statusnya sebagai penerjemah perjanjian.

Saat hari menjelang siang sebuah ketukan mengejutkan lamunan Ines. Dia buru-buru membuka pintu. Di depan pintunya berdiri Loraine.

"Kapan kamu tiba di rumah?" Tanya Ines sedikit terkejut. Tidak biasanya Loraine ada di rumah pada siang hari begini. Dia selalu menjadi sibuk dan bahkan kadang tidak pulang ke rumah. Sering menginap di akademi atau di Arboretum.

Arboretum adalah tempat penelitian dan pusat studi khusus tanaman. Di tempat itu terdapat banyak jenis tumbuhan dan hewan. Para ilmuan botani memusatkan penelitian mereka disana. Tidak terkecuali Loraine Sevia. Profesor botani yang berbakat.

Di rumah Ines sulit menemui ke dua saudaranya ini. Yang satunya gila akan penelitian tumbuhan yang satunya lagi jiwa loyalitasnya sangat tinggi. Maka dialah yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

"Aku baru saja kembali dari Arboretum. Aku kembali karena ada yang aku ambil di rumah. Kamu tidak bekerja?" Tanya Loraine singkat.

Ines mengangguk. "Aku menjadi penerjemah perjanjian." Akunya lesu. Mungkin Loraine belum tahu karena kemarin dia tidak kembali ke rumah. Hanya ayah, ibu, dan kakak keduanya yang tahu.

Mata Loraine menyipit namun dia segara menimpali.

"Hal yang bagus. Kamu bisa mengikuti jejak ayah Ines."

"Entahlah. Aku banyak kekurangan." Sanggah Ines lemah. Bagaimana bisa dia menyerupai ayahnya. Keahliannya tidak bisa dibandingkan. Dia adalah pemula yang baru saja lulus sedangkan ayahnya adalah profesor bahasa dan ketua perkumpulan ahli bahasa di Inoa.

"Orang hidup harus banyak belajar." Loraine menepuk pundak Ines. "Ada tamu untukmu. Baru saja tiba. Aku awalnya tidak mempercayainya, namun setelah mendengar penjelasannya tadi semua jadi masuk akal. Sepertinya dia klienmu."

"Ya?"

"Kalau tidak salah namanya adalah Julius Harbert."

Bulu di tubuh Ines menegang seketika. Mendengar nama Julius, sinyal tanda bahaya menyala di kepalanya. Apa yang dilakukan orang itu di rumahnya. Bagaimana bisa dia tahu rumahnya. Tubuh Ines gemetar.

"Dia klienmu bukan?" Tanya Loraine sedikit mendesak karena Ines diam tak menjawab.

"Ya begitulah."

"Oh baiklah. Aku menyuruh pelayan mengantarnya ke rumah penerima sisi barat." Jelas Loraine. "Aku akan kembali ke Arboretum. Salam untuk ayah, ibu dan Izek." Loraine memeluk Ines kemudian segera menghilang.

Ines yang belum bisa menerima kenyataan masih berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka. Orang itu harus dia apakan. Orang itu beraninya. Ines kesal. Ines marah. Ines geram.

Setelah mengganti baju dengan yang lebih sopan Ines turun ke ruang penerima sisi barat. Rumahnya memiliki dua ruang penerima yang saling berhadapan. Terletak di lantai pertama dan langsung di depan pintu masuk. Ruang penerima sisi barat tidak seluas sisi timur. Oleh sebab itu tamu biasa akan di arahkan ke ruang tamu sisi barat. Untuk tamu dengan skala besar ruang sisi timur yang sering dipakai.

Ines menghirup udara dalam-dalam sebelum membuka pintu.

Duduk Julius dengan Owen berdiri tegak disampingnya. Tatapan mata Ines berubah tegas yang melihatnya. Dua orang yang sangat dia benci. Kenapa Ines harus berurusan dengannya lagi. Cukup saat dia menjadi Elia dan mereka mengacuhkannya. Memandangnya seperti kotoran. Hingga melontarkan kata-kata kasar padanya.

Mereka siapa hingga berani memperlakukannya sebagai wanita yang sangat hina. Bahkan untuk hidup saja tidak layak. Tangan Ines mengepal erat. Urat di lehernya mencuat karena amarah.

Tapi dia adalah seorang wanita yang bermartabat disini. Putri dari aristokrat yang memiliki kedudukan. Disayangi dan diperhatikan oleh orang tuanya. Tidak ada alasan dia harus menanggapi sikap kekanak-kanakannya. Lagi pula dia bukan Elia Haliden yang hidup dalam persembunyian.

Dia adalah Ines Margareth sekarang. Oleh karena itu Ines mengangkat dagunya. Meluruskan punggungnya kemudian sedikit merendahkannya, memberi salam pada Julius seperti layaknya wanita bangsawan.

"Salam kepada Yang Mulia Pangeran Delian." Sebuah ucapan yang basa-basi dan hambar. Ines kembali menegakkan tubuhnya. Berjalan pelan namun pasti ke arah dua pria itu.

"Hai Lady Ines." Sapa Julius dengan suara cemerlangnya.

Telinga Ines bergetar mendengar suaranya. Apakah suaranya memang seriang itu. Pertama dan terakhir orang itu berbicara dengannya adalah saat hari pertamanya menjadi pengantin. Sebagai Elia Haliden, pengantin tidak berharganya Julius Harbert.

"Saya terkejut mendengar kehadiran anda Yang Mulia. Apa yang membawa anda jauh-jauh kemari?" Ines mengambil tempat duduk yang agak jauh dari Julius. Dia sengaja. Dekat dengannya membuat tubuhnya menolak.

"Tidak bisakah saya pergi menemui penerjemah perjanjian saya Lady Ines? Secara teknis Lady Ines bekerja pada saya." Jawab Julius ringan.

Dia memperhatikan perubahan wajah Ines. Betapa menyegarkannya. Hari ini dia yang tidak bisa menahan diri untuk menemuinya, nekat datang tanpa pemberitahuan.

"Ini sungguh tiba-tiba. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kiranya Yang Mulia bisa mempertimbangkan kondisi saya." Tegur Ines dengan nada yang sopan.

"Saya datang kemari untuk meminta maaf."

"Ya?"

"Perbuatan saya kemarin mungkin membuat Lady Ines tidak nyaman. Saya menyadari kesalahan saya, merenungkannya kemudian kemari untuk meminta maaf secara langsung."

Dahi Ines berkerut mendengar pernyataan Julius. Dia tidak membayangkan jika pria terhormat itu akan meminta maaf padanya. Kejadian kemarin, Ines masih mengingatnya. Kontak fisik pertamanya dengan Julius. Meskipun itu tidak sengaja namun Ines tidak nyaman. Begitulah perasaannya.

"Saya juga terbawa emosi saat itu. Jadi saya memohon maaf kepada Yang Mulia Pangeran Delian." Ines mundur satu langkah. Dia tidak bisa terang-terangan mengiyakan permintaan maaf Julius.

Situasi mereka menjadi canggung. Setelah meminta maaf satu sama lain, ruang penerima menjadi sepi. Tidak ada yang bersuara. Owen yang merasa tercekik ditengah keduanya berdehem dan mengambil inisiatif.

"Salam kepada Lady Ines Margareth. Perkenalkan saya adalah ajudan pribadi Yang Mulia, panggil saya Owen." Owen maju selangkah kemudian merendahkan tubuhnya sedikit.

Bola mata coklat Ines bergetar. Orang itu kenapa menambahi kerumitan situasinya. Kenapa tidak diam saja seperti biasanya. Mendengar suaranya mengingatkannya pada hari itu.

'Seorang darah tercemar.' Kata-kata yang membekas dihatinya sampai sekarang.

Ines bangkit seraya merapikan gaunnya yang sedikit kusut.

"Jika tidak ada lagi yang perlu disampaikan, sampai mohon undur diri." Ucap Ines langsung pergi begitu saja.

Jika dia tetap bertahan disana, Ines tidak bisa menjamin dia masih bisa berpikir jernih. Wajah menyebalkan Julius dan Owen menyesakkan dada.

Ines tidak peduli dia telah membuat kesalahan atau tidak. Ini rumahnya tapi dia malah yang pamit mengundurkan diri. Dia tidak peduli Julius masih bertahan disana atau pergi seperti dirinya.

Penerjemah perjanjian atau apalah itu. Ines juga tidak mau peduli. Besok dia akan mengirimkan surat pengunduran diri dari pekerjaan yang tidak dia inginkan.

Ines ingin menegaskan batasnya.

Dia membuka pintu secara paksa. Mempercepat langkahnya seolah melarikan diri. Saat dia hampir sampai ke ruang tengah yang dekat dengan tangga, sosok ayahnya terlihat.

"Ines?" Tegur ayahnya.

"Ayah. Selamat datang di rumah." Ines menghentikan langkahnya yang terburu-buru.

"Lady Ines tunggu!" Sebuah suara mengejutkan sapaan ayah dan anak tersebut.

Theodore yang menoleh berserobok pandang dengan Julius.

"Yang Mulia Pangeran Delian?" Ucapnya refleks. "Salam kepada Yang Mulia Pangeran." Ucapnya cepat sontak membungkuk memberi hormat.

"Lama tidak berjumpa Lord Theodore. Bagaimana kabar anda?" Julius mengatur nafasnya kemudian menghampiri Theodore. Menjabat tangannya dan mereka berpelukan sebentar.

"Apa yang membawa Yang Mulia Pangeran jauh-jauh kemari?" Tanya Theodore, melirik sekilas Ines yang mematung tak jauh dari mereka.

"Lady Ines adalah penerjemah perjanjian saya." Jawab Julius cepat.

Theodore sedikit terkejut. Dia memang mendengar jika Ines menjadi penerjemah perjanjian, namun dia tidak mengira pangeran Delian adalah kliennya.

"Ya Tuhan. Sungguh kebetulan yang luar biasa." Theodore tertawa senang. Menjadi mitra kerja dengan pangeran Delian ini sungguh kesempatan yang langka. Dia sendiri mengakuinya.

Theodore melempar senyum pada Ines. Merasa bangga pada putrinya yang mendapat kesempatan berharga seperti dirinya.

"Benar sekali. Saya juga merasa terhormat bisa bekerja sama dengan Lady Ines."

Obrolan mereka terus berlanjut hingga lupa bahwa ada Ines yang berdiri mematung disana dengan berbagai perasaan rumit. Memandang kosong pada dua orang laki-laki yang sedang bertegur sapa. Bersenda gurau dengan sangat akrab.

"Jika tidak keberatan saya ingin mengundang Yang Mulai Pangeran untuk makan malam. Apakah urusan anda dengan putri saya sudah selesai?" Tanya Theodore.

"Tidak banyak yang kami bahas. Akan ada hari lain. Tapi kalau makan malam tentu saja tidak bisa saya lewatkan. Terima kasih atas undangannya Lord Theodore." Senyum Julius merekah indah.

Ines tercengang. Tak memahami apa yang terjadi. Dia seperti tersapu angin musim dingin yang membekukan punggungnya.

"Ines?" Panggil ayahnya yang sejenak berhenti untuk meminta Ines mengukutinya.

"Baik ayah." Ines tergagap.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Widhi_Wisesha

Widhi_Wisesha

Diksinya tepat, alur cerita menarik, penggambaran emosinya pas sehingga lebih mengena...👍💪

2024-04-23

3

Nu razizah

Nu razizah

semangat up lagi tor

2024-04-21

1

meee

meee

poor ines.. semangat mengejar cinta ines ya Julius 😁💪💪

2024-04-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!