Bab 5

Tang! Tang! Tang!

Suara dentingan pedang bertalu-talu menembus kesunyian malam. Kastel Count Etienne berubah menjadi medan perang kecil. Hiruk-pikuk dan jeritan prajurit memenuhi udara, seolah tempat itu tengah diserbu oleh pasukan pemberontak. Para pembunuh bayaran datang dalam jumlah banyak, bukan hanya untuk membunuh Ethan, tapi juga menyerang habis-habisan seluruh kediaman bangsawan itu.

Count Etienne yang semula berada di ruang kerjanya, turun langsung ke lapangan, wajahnya pucat dan bingung—bagaimana bisa para penjahat itu menembus sistem keamanan kastelnya?

Sementara itu, para kesatria dalam kastel

segera bersiaga, melarang siapa pun keluar dari kamar. Di sudut lain kastel, Grace terbangun karena kegaduhan yang tak biasa. Ia duduk di tepi ranjang dengan dahi mengernyit, mencoba memahami suara benturan senjata yang bergema dari luar.

"Apa yang terjadi? Kenapa suara pedang? Siapa yang berlatih tengah malam begini?" gumamnya, sambil mengintip lewat jendela.

Ia segera membuka pintu dan melihat para pelayan berlarian panik di lorong.

"Lena! Ada apa sebenarnya?" tanya Grace cepat pada seorang pelayan.

"Kastel diserang, Nona! Sekelompok orang tak dikenal menerobos masuk!" jawab Lena

dengan wajah ketakutan.

"Apa? Bagaimana bisa?!"

"Saya pun tidak tahu pasti, Nona. Tapi sebaiknya Anda kembali ke kamar—itu perintah!"

Sebelum Grace sempat membalas, Sir Rocco, kesatria yang biasa menjaganya, muncul tergesa-gesa.

"Nona Grace!" serunya. "Kembali ke kamar Anda! Ini terlalu berbahaya!"

"Apa yang sebenarnya terjadi, Sir Rocco?"

"Ada kelompok pembunuh bayaran yang menyerang. Kami belum tahu tujuan pastinya, tapi—"

"Ethan!" potong Grace panik. "Bagaimana dengan Ethan? Apa dia masih di kamarnya?"

Sir Rocco menggeleng. "Saya tidak tahu, Nona."

Tanpa berpikir panjang, Grace langsung berlari menuju kamar Ethan. "Bagaimana kalau mereka datang untuk menangkap Ethan? Dia masih belum pulih!" pikirnya cemas.

"Nona, tunggu!" Rocco mencoba mengejarnya.

Brak!

Grace menerobos pintu kamar Ethan, napasnya memburu. "Ethan!" panggilnya. Tapi ruangan itu kosong. Tak ada siapa pun.

Panik, Grace kembali berlari, menuruni tangga, menolak diam saat pikiran buruk memenuhi benaknya. "Tolong jangan sampai dia terluka lagi…"

Di tangga utama, dua kesatria menghalangi jalannya.

"Maaf, Nona. Atas perintah Tuan Etienne, Anda tidak diperbolehkan keluar."

"Minggir!" teriaknya.

"Maaf, kami tidak bisa membiarkan Anda—"

Dengan gerakan cepat, Grace menendang kaki mereka hingga salah satu tersungkur, lalu melesat keluar.

"Kalau sudah seperti ini… dia pasti di tempat latihan para kesatria!" tebaknya

dalam hati. Tapi tubuhnya mulai kelelahan, langkahnya melambat.

"Nona! Ini berbahaya!" ujar Sir Rocco yang terus membuntutinya.

"Kau berisik sekali!" bentaknya, meski dalam hatinya bersyukur ada yang menjaganya.

"Temani aku ke sana," pintanya lirih. "Aku yakin dia ada di sana."

"Hah…" Rocco menghela napas berat. "Baiklah. Tapi tetap di belakang saya dan jangan lengah."

Mereka tiba di tempat latihan. Langkah Grace terhenti, tubuhnya membeku.

Pemandangan yang terpampang di depan

matanya membuat jantungnya nyaris berhenti.

Ethan berdiri di tengah-tengah tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedangnya berlumur merah. Aura mengerikan menyelubungi tubuhnya. Cahaya kemerahan kebiruan berdenyut pelan dari balik kulitnya, seolah ia bukan lagi manusia.

"Ethan…?" gumam Grace, suaranya tertahan.

Ia ragu melangkah, tapi melihat pemuda itu hampir kehilangan kendali, ia memberanikan diri.

"Ethan!! Berhenti! Kumohon!" teriaknya dari kejauhan.

Tangan Ethan yang menggenggam pedang tiba-tiba terhenti. Namun saat lengah, pedang lawan menebas lengannya.

Bats!

Darah mengucur dari luka di tangannya.

"Masih bisa menggenggam pedang meski sudah kutebas dengan sekuat tenaga? Menarik juga," ejek pria bertopeng yang tampaknya pemimpin para pembunuh bayaran.

"Diam. Aku tidak tertarik pada omong kosongmu," balas Ethan dingin.

"ETHAN!!" Grace kembali berlari ke arahnya.

"BERHENTI!" seru Ethan keras. "Kau bisa terluka!"

Tawa pria bertopeng meledak. "Ah… jadi dia kelemahanmu rupanya?"

Dalam sekejap, pria itu menghilang—dan muncul di belakang Grace, menodongkan pedang ke lehernya.

"Grace!!" seru Count Etienne yang baru tiba, wajahnya pucat.

Melihat itu, tubuh Ethan menegang. Matanya menyala.

"Singkirkan tangan kotormu darinya!" geramnya.

"Jangan coba mendekat!" ancam pria bertopeng. "Satu langkah saja, dan kepala gadis ini akan—"

Tiba-tiba, Ethan menghilang.

"Heh." Suara dingin terdengar di belakang telinga pria itu. "Jangan kira aku selemah itu."

Dalam sekejap, pedang Ethan sudah menempel di lehernya.

"Aku bilang singkirkan tangan kotormu. Aku bisa memisahkan kepalamu dari tubuhmu kapan saja."

Melihat cahaya menyala dari tubuh Ethan dan aura membunuh yang begitu kuat, si penjahat gemetar. Perlahan, ia menurunkan pedangnya dan melepaskan Grace.

Tanpa berkata, Ethan menarik Grace ke dalam pelukannya, menutupinya dari

pandangan si pembunuh.

"Tetaplah di sisiku. Tutup matamu," bisiknya lembut.

Grace memejamkan mata dan memeluknya erat.

Ethan menatap dingin ke arah pria itu. "Karena kau berani menyentuhnya… aku tidak akan mengampunimu."

Bats!

Pedangnya menebas tangan pria itu.

"Arghhh!" jerit kesakitan menggema.

"Itu baru permulaan," ujar Ethan datar.

Semua yang hadir terdiam. Bahkan Count Etienne tak mengucapkan sepatah kata

pun.

Klontang!

Ethan melemparkan pedangnya ke tanah. Cahaya di tubuhnya perlahan meredup.

"Ethan…" panggil Count pelan, mencoba mendekat.

"Tuan… maaf atas keributan ini." Ethan menunduk hormat.

"Tidak apa-apa."

"Tolong bawa Grace kembali ke kamarnya." Ethan melepas pelukannya dan menyerahkan Grace pada pamannya.

"Tapi Ethan—kau mau ke mana?"

"Aku akan kembali ke kamarku."

Saat hendak pergi, tangan Grace menahan lengan bajunya.

"Jangan pergi… kumohon… setidaknya obati lukamu dulu."

Ethan menoleh. Wajahnya tanpa ekspresi.

"Ini bukan apa-apa."

Ia melepaskan tangan Grace dengan lembut. "Jangan sentuh aku. Tubuhku bau darah. Kembalilah ke kamar, ganti pakaianmu."

Ia melangkah menjauh.

"Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan air," ujar Count.

"Tidak perlu. Air di kamarku cukup. Aku ingin sendiri malam ini, Tuan. Kumohon… jangan biarkan siapa pun masuk."

Count hanya mengangguk, menatap punggung Ethan yang perlahan menghilang dari pandangan mereka.

Grace menggenggam dadanya. Ada rasa perih yang tak bisa dijelaskan. Melihat punggung Ethan yang menjauh seperti itu, seolah membawa serta luka dan beban yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.

Count Etienne segera memberi perintah untuk menyingkirkan mayat, menangkap sisa pembunuh bayaran, dan memerintahkan pemimpin mereka dikurung di penjara bawah tanah. Ia harus diinterogasi—bagaimana mereka tahu keberadaan Ethan, yang seharusnya masih

menjadi rahasia.

Dan malam itu, langit di atas kastel Etienne terasa lebih gelap dari biasanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!