Bab 3

"Ethan, hati-hati!!" teriak orang-orang di sekitarnya, namun semuanya terlambat. Bus yang melaju kencang itu menabraknya dengan brutal. "Dinnnn!!!" Klakson bus itu berbunyi keras, menggema di udara. "Duaakh!" suara benturan keras antara tubuh manusia dan logam yang tidak bisa dihindari. Kejadian itu terjadi begitu cepat, seakan dunia berhenti sejenak.

Orang-orang yang menyaksikan segera menghubungi ambulans, berusaha

menyelamatkan nyawanya. Namun, sudah terlambat. Kecelakaan itu membuatnya terluka parah dan ia meninggal di tempat.

Di rumah duka, kedua orang tua serta sahabat-sahabatnya menangis, terisak kehilangan sosok yang sangat berarti bagi mereka. Kenangan itu menghantui pria yang kini tengah terbaring, membuat hatinya terasa hancur.

Apa aku sudah mati? pikirnya, hatinya dipenuhi kesedihan. Apa hidupku harus berakhir begini saja? Padahal baru saja aku melihat wajah kebahagiaan ayah dan ibu saat aku diterima di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Kenapa semuanya harus berakhir secepat ini? Kenapa Tuhan tidak mengizinkanku bahagia bersama mereka? Ingatan-ingatan itu datang begitu nyata, seolah-olah semuanya baru saja

terjadi.

"Ngung—" suara deru yang mengganggu telinganya semakin nyaring.

"Hosh… hosh… srrak..." Suara langkah berat dan nafas terengah-engah memenuhi telinganya. "Yang Mulia, cepat lari! Kami akan menangani yang ada di sini!" teriak salah seorang kesatria, mencoba menghalangi musuh yang terus mendekat.

"Bodoh! Bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian!" teriaknya, napasnya tersengal-sengal.

"Tenang saja, kami akan kembali dengan selamat. Jadi, tolong selamatkan diri Anda," jawab kesatria tadi dengan tegas.

"Jika kalian sampai tidak kembali ke kastel,

aku tidak akan memaafkan kalian!" pria itu membentak, lalu berlari menjauh, menghindari musuh yang mengejarnya. Mereka melakukannya demi melindungiku. Bodoh sekali! Seharusnya akulah yang melindungi mereka. Kenapa harus ada pembunuh bayaran dalam misi ini? Jangan-jangan, putra mahkota yang brengsek itu yang mengirim mereka. pikirnya dengan penuh kebencian.

Tiba-tiba, dua pembunuh bayaran menghadangnya dari depan.

"Tamat riwayatmu," kata salah satu dari mereka sambil menodongkan pedang.

"Hah, jangan kira aku akan kalah! Kalian hanya alat, pasti putra mahkota yang brengsek itu yang memerintahkan kalian!" jawabnya penuh amarah, mengangkat

pedangnya.

Pertarungan sengit pun terjadi. "Tang, tang!" suara pedang yang beradu bergema. "Zrash—!" darah terciprat akibat tebasan pedang yang tidak terhindarkan. Dengan kekuatan terakhir, pria itu berhasil menumbangkan salah satu pembunuh bayaran. Namun, ia lengah.

"Zrash—!" Suara tebasan pedang yang mengenai punggungnya, membuatnya terjatuh dengan rasa sakit yang luar biasa.

"Ukh!" erangnya, merasakan luka yang menganga di tubuhnya. Sialan, aku lengah! pikirnya dengan amarah.

"Hahaha, darah Dawson memang lemah," kata pembunuh itu dengan sinis.

"Berisik! Tidak peduli siapa kau, putra mahkota atau anggota kekaisaran, aku akan membunuhmu!" jawabnya dengan penuh kebencian, lalu dengan brutal menusukkan pedangnya ke perut lawannya. Meski terluka, ia masih bisa bergerak dan membalas serangan itu, mengarahkan pedang ke leher pembunuh bayaran itu dengan tatapan penuh dendam.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu karena telah menyebut nama keluargaku dengan mulut kotormu dan membahayakan nyawa bawahanku! Ini adalah hukuman untukmu!" teriaknya, menebas tubuh musuhnya sampai tewas.

"Ukh, sialan, luka ini benar-benar mengganggu," gumamnya dengan napas tersengal. "Aku sudah tidak sanggup lagi berjalan," ia jatuh tergeletak di tanah,

napasnya semakin berat.

---

Sementara itu, di ruang kerja Count Etienne, suasana tegang menyelimuti. "Apa kabar dari kastel Dawson, Zach?" tanyanya pada kesatria yang setia melindunginya.

"Ada, tuan. Duchess baru memberi kabar saat saya sampai di sana. Ia mengatakan bahwa lima hari setelah pelantikan putra Grand Duke Dawson di Kekaisaran, Kaisar langsung mengutusnya untuk melakukan pembasmian monster di wilayah selatan. Setelah itu, kesatria mereka kembali, namun satu hari setelah Grand Duke yang baru dilantik pergi, mereka melapor kepada Duchess bahwa mereka dikepung oleh pembunuh bayaran dalam jumlah

banyak, dan Grand Duke muda tidak kembali bersama mereka," jelas Zach dengan cermat.

"Zach, kalau tidak salah, putra Giotto selalu menutupi setengah wajahnya dengan topeng?" tanya Count Etienne, berusaha menghubungkan kejadian ini.

"Benar, tuan. Dia selalu menutupi setengah wajahnya karena tuan muda Dawson sangat membenci jika orang lain melihat wajahnya."

"Giotto Clark Dawson... Dia meninggal dua bulan lalu. Ethan juga sudah cukup umur untuk mewarisi gelar ayahnya. Tapi, siapa yang mengirim pembunuh bayaran untuknya?" tanya Count Etienne, sambil memandang topeng yang ada di meja. "Ini jelas milik Ethan, ada ukiran lambang

keluarga mereka," tambahnya, semakin curiga.

"Bagaimana kalau kita cek kondisinya dulu?" usul Zach.

"Baik, ayo kita ke kamarnya."

Mereka berjalan beriringan menuju kamar Ethan. Count Etienne memandang pria yang terbaring dengan mata tertutup. "Ternyata ini memang benar Ethan. Aku pernah melihat wajahnya, tapi itu delapan tahun lalu. Wajahnya sekarang sangat mirip dengan Giotto saat masih muda," pikirnya.

Tiba-tiba, pria itu membuka matanya dengan napas terengah-engah, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Count dan Zach terkejut melihatnya bangun begitu

mendadak.

"Hah..." pria itu menghela napas, meraba kepalanya yang terasa pusing.

"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Count Etienne, mendekat dengan cemas.

Dengan tatapan tajam, pria itu bertanya, "Siapa Anda?" sambil menjauh.

"Aku Eryk, Paman dari gadis yang menolongmu," jawab Count, mencoba menenangkan.

"Di mana aku?" tanya pria itu kebingungan.

"Kamu ada di kastelku," jawab Count Etienne dengan tenang.

"Lalu, apakah Anda tahu siapa saya?"

tanyanya lagi, kebingungan.

Count terdiam sejenak. "Apa kamu benar-benar tidak ingat apapun?" tanyanya dengan lembut.

"Iya, aku tidak ingat apapun," jawab pria itu dengan suara pelan.

Count Etienne menghela napas panjang. "Baiklah. Namamu Ethan. Untuk saat ini, itu yang bisa kuberitahukan. Ini barang milikmu," katanya sambil meletakkan topeng di meja. "Aku akan menyuruh pelayan membawa makanan untukmu. Jadi, makanlah. Kita akan melanjutkan percakapan kita besok," tambahnya, mengusap pundak Ethan sebelum meninggalkan kamar, diikuti oleh Zach.

---

Ethan… Ya, itu namaku di kehidupan sebelumnya. Tapi sebenarnya, aku berada di mana sekarang? Kamar yang luas dengan dekorasi klasik Eropa, seperti yang biasa kulihat di internet—dekorasi bangsawan Eropa yang elegan dan mewah. Nama Paman yang tadi… sepertinya tidak asing bagiku.

Dia beranjak dari tempat tidur dengan perlahan, merasakan nyeri setiap kali tubuhnya bergerak. Langkahnya berat, namun ia memaksakan diri menuju cermin besar di sudut kamar. Di hadapan cermin, ia terdiam cukup lama, menatap wajah yang tak dikenalnya.

Siapa dia? pikirnya. Kenapa aku bisa ada di tubuhnya?

Rambut hitam legam, mata merah yang tajam, dan wajah tampan. Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa aku ada di tubuhnya?

Ia menghela napas panjang. "Hah..." Ia tertawa terpaksa, merasa bingung dan putus asa. "Semua yang terjadi ini begitu tidak masuk akal."

Tatapannya jatuh pada topeng yang diletakkan Count Etienne di meja. "Tunggu… topeng ini... dia bilang ini milikku," pikirnya, melangkah mendekat.

Ia mencoba memakainya. Topeng ini, kenapa rasanya tidak asing? Tiba-tiba, ada perasaan yang mengalir begitu alami saat mengenakan topeng itu. Wajah ini, topeng ini, semuanya terasa seperti bagian dariku.

---

Keesokan harinya, Ethan terkejut ketika seorang gadis muda tiba-tiba masuk ke kamarnya. Saat itu, dia sedang duduk dekat jendela, memandang pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin pagi.

"Ehh, kamu sudah sadar?" kata gadis itu, terkejut melihatnya.

Dia hanya membalas singkat, "Ah, iya."

"Syukurlah. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya gadis itu dengan khawatir.

"Lebih baik, ah… tidak, aku merasa lebih baik," jawab Ethan, sedikit bingung.

"Tidak usah gugup," ujar gadis itu, "Namaku Grace Ilona Xavier."

"Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu. Aku akan keluar untuk memanggil dokter."

"Tunggu dulu!" seru Ethan, membuat gadis itu berhenti.

"Ada apa?" tanyanya, menoleh.

"Terima kasih... sudah menolongku," ucap Ethan dengan tulus.

"Tentu saja," jawab Grace sambil tersenyum, kemudian keluar untuk memanggil dokter.

Setelah dokter selesai mengobatinya, ia keluar dan bertemu Grace di depan pintu.

"Astaga, Nona!" terkejut dokter melihatnya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Grace.

"Far lebih baik, meski lukanya masih perlu waktu untuk benar-benar sembuh," jawab dokter dengan senyum puas.

"Syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya."

"Baiklah, Nona, saya pergi dulu untuk melaporkan keadaan ini pada tuan," kata dokter sebelum melangkah pergi.

"Terima kasih banyak atas pengobatannya," ucap Grace dengan tulus.

Tidak lama setelah itu, Grace kembali ke kamar Ethan dengan membawa camilan, teh, dan dessert. Ia meletakkannya di atas

meja dekat pria itu yang tengah duduk memandangi luar jendela.

"Heh, ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Grace, duduk di depannya.

Ethan menoleh padanya, matanya yang tajam beralih dari pemandangan luar jendela ke wajah gadis itu. "Ah, tidak ada," jawabnya.

"Omong-omong, siapa namamu?" tanya Grace, tersenyum.

"Ethan, itu namaku," jawabnya.

"Wah, nama yang bagus," kata Grace dengan senyum lembut. "Warna matamu juga sangat bagus," sambungnya sambil memandang mata Ethan yang berkilau merah.

"Sungguh?"

"Iya, seperti permata merah delima," jawab Grace, matanya bersinar.

"Warna matamu juga indah, seperti biru laut yang mempesona."

"Sungguh? Terima kasih," ucap Ethan, tersenyum.

"Jadi, Ethan… maukah kamu jadi temanku?" tanya Grace dengan senyum polos.

Ethan terdiam beberapa saat, merasa asing dengan dunia barunya ini, dengan tubuh yang bukan miliknya. Namun, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya merasa nyaman, meski dia merasa bingung dan takut.

Walau aku sulit mempercayai siapapun, kurasa gadis ini tidak masalah. Ada sesuatu yang aneh ketika aku melihatnya. Rambutnya yang putih kebiruan, matanya yang berwarna biru laut, seperti permata yang begitu indah. Setiap kali menatap matanya, aku merasa tenang.

"Baiklah," jawab Ethan akhirnya, tersenyum. "Ayo kita berteman."

Grace tersenyum lebar, sangat senang mendengarnya. "Terima kasih," katanya sambil saling berjabat tangan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!