The Evil Granduke

The Evil Granduke

Bab 1

Gelap

.

.

.

Dingin

.

.

.

Sunyi

“Apa aku sudah mati? Tidak mungkin... Jika aku mati, mengapa aku masih merasakan sakit? Tubuhku... seperti dicabik-cabik oleh binatang buas...” pikirnya lirih.

Perlahan, ia mencoba membuka matanya. Kelopak yang berat itu mengintip dunia yang samar, sementara tangannya bergerak lemah, meraba sekitar.

“Tempat ini... rasanya seperti hutan,” bisiknya hampir tak terdengar.

Kesadarannya yang sempat kabur perlahan mulai kembali. Seorang remaja pria, kira-kira berusia delapan belas tahun, tergeletak di tengah hutan. Tubuhnya penuh luka, darah mengering di sana-sini, seolah ia baru saja lepas dari keganasan alam liar.

Dengan sisa tenaga, ia meraba tanah di sekelilingnya, mencoba memahami di mana ia berada. Namun sebelum pikirannya bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi—kesadarannya kembali lenyap, menjerumuskannya ke dalam gelap yang sama.

---

Di sisi lain hutan, di tengah padang rumput yang hijau dan tenang, seorang gadis muda duduk menyendiri. Pandangannya kosong, menatap seekor rusa yang sedang melahap rumput dari kejauhan. Di wajahnya terpancar keresahan yang dalam, seakan hatinya terbebani oleh sesuatu.

“Nona!” terdengar teriakan dari kejauhan,

membuyarkan lamunannya.

“Nona Grace!” teriak seorang kesatria yang lain, suaranya menggema di antara pepohonan.

“Anda di mana? Tolong bersuara jika mendengar kami!” lanjutnya panik.

Tak jauh dari sana, dua kesatria itu akhirnya bertemu saat tengah mencari sang nona.

“Sudah kau temukan nona?” tanya yang satu.

“Belum. Kemana dia pergi, sih?”

“Ayo cepat. Jika matahari tenggelam dan kita belum menemukannya... Tuan Count bisa saja memenggal kita tanpa ampun.”

Tanpa banyak bicara, mereka kembali melanjutkan pencarian dengan langkah tergesa.

---

Mendengar suara para kesatria yang mencari, gadis berusia lima belas tahun itu mendadak panik. Ia bangkit dan mulai berlari, tak ingin mereka menemukannya. Langkahnya cepat, tapi tanpa sengaja ia tersandung sesuatu dan jatuh tersungkur ke tanah.

“Aduh!” desisnya sambil meringis. “Siapa sih yang berani menghalangi jalanku?!”

Ia duduk sambil membersihkan gaun putihnya yang kini kotor oleh tanah.

Namun matanya segera membelalak saat menyadari apa—orang—yang membuatnya terjatuh.

Seorang pria tergeletak di sana. Wajahnya tertutup sebagian oleh topeng. Pakaian yang dikenakannya robek-robek, seolah tercabik sesuatu yang liar dan ganas.

Dengan hati-hati, gadis itu mendekat dan memeriksa.

“Ini... bukan luka dari cakaran binatang. Ini luka akibat tebasan pedang,” gumamnya pelan. “Apakah dia seorang kesatria?”

Matanya menangkap kain yang menutupi sebagian tubuh pria itu—kain mahal, berkualitas tinggi.

“Tidak mungkin seorang kesatria biasa

mengenakan kain semewah ini. Dan... kenapa dia memakai topeng?” pikirnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Karena tak tahan oleh rasa penasaran, gadis itu perlahan melepas topeng pria itu. Matanya membesar saat melihat wajah di baliknya.

“Wah... dia... sangat tampan,” desisnya tanpa sadar. Pipinya memerah.

Namun keterpukauan itu tak berlangsung lama. Pandangannya kembali tertuju pada luka di punggung pria tersebut. Luka dalam dan mengerikan.

“Ugh...” pria itu mengerang lirih, napasnya tersengal-sengal.

“Tidak! Dia sekarat!” jerit gadis itu dalam

hati. “Aku harus mencari bantuan!”

“Nona Grace!!” suara berat terdengar dari balik pepohonan.

“Itu... suara Sir Leon!” Gadis itu berdiri dan berteriak, “Sir Leon! Aku di sini!”

Tak lama kemudian, seorang kesatria muncul dari balik semak-semak, wajahnya penuh kelegaan.

“Nona! Jangan membuat saya panik seperti ini! Kalau Tuan Count tahu—”

“Sir Leon, diam sebentar,” potong Grace, matanya tetap tertuju pada tubuh pria di sampingnya.

Sir Leon menghentikan omelannya, lalu memalingkan pandangan dan...

“D-Dia siapa? Apa... apa itu mayat?!”

BRAK!

Grace menendang kaki kesatrianya tanpa ragu.

“Dia masih hidup, tahu! Jangan asal bicara!” hardiknya marah.

“Aduh! Nona... itu sakit,” rintih Leon, tapi ia lalu memeriksa pria itu. “Ya ampun, luka-lukanya... ini gawat.”

“Tolong bantu aku membawanya ke kastel paman,” pinta Grace, masih dengan nada serius.

“Heh?! Apa Nona serius? Kita bahkan tidak tahu siapa dia!”

Grace menatap tajam, begitu tajam hingga Sir Leon bergidik.

“Kau meragukan ucapanku?”

“Ah, tidak... tidak, tentu saja tidak, Nona!” balas Leon gugup. “Saya akan membawanya ke kereta sekarang juga.”

“Bagus. Bantu aku, sekarang.”

“Tidak usah, biar saya yang angkat. Dia pasti berat, dan... Nona masih kecil.”

Grace menghela napas kesal, lalu membuang muka sambil menatap tajam. Leon merasa hawa dingin menyelusup ke tengkuknya.

“Hah... sepertinya aku salah ngomong lagi,”

gumamnya pelan.

Sesampainya di kereta kuda, mereka tak bisa langsung kembali ke kastel. Masih ada satu kesatria lagi yang belum kembali.

“Sir Leon, ke mana Sir Rocco?” tanya Grace, matanya masih tajam seperti ingin menembus dinding hati.

“Tentu saja dia masih mencari Nona yang kabur dari tadi,” jawab Leon sambil tertawa gugup. “Omong-omong, Nona... bisakah Anda tidak menatap saya seperti itu?”

“Memangnya kenapa?” balas Grace dengan nada datar.

“Ah, tidak apa-apa, Nona...” Leon mencoba tetap tersenyum meski keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. “Kalau salah

ngomong sedikit lagi, mungkin kepalaku akan ditebas bukan oleh Tuan Count, tapi oleh nona sendiri,” batinnya sambil menarik napas panjang.

“Sir Leon, bisakah kau memanggil Sir Rocco sekarang? Kita tidak bisa menunggu terlalu lama,” ucap Grace, nada suaranya tegas.

“Saya? Tentu saja bisa,” jawab Leon.

“Kalau begitu, cepat panggil.”

Leon mengangguk. “Tapi sebelum itu, tolong tutup telinga Nona dulu.”

Tanpa bertanya, Grace langsung menutup telinganya.

“PRITT!!”

Suara peluit itu melengking tajam, cukup untuk membuat burung-burung terbang dari sarangnya. Bahkan dengan telinga tertutup pun, suara itu masih terasa menusuk.

“Apa itu alat komunikasi kalian? Kenapa suaranya seperti... kesakitan?” tanya Grace sambil membuka satu telinganya.

“Iya, Nona. Ini alat komunikasi terbaru. Masih dalam tahap penyempurnaan,” jawab Leon.

“Yah... tidak buruk, meski suaranya sangat buruk,” ucap Grace.

“Jadi... itu pujian atau kritik, Nona?”

Grace mengangkat bahu. “Tidak tahu.”

Leon hanya bisa pasrah.

“Aku akan menunggu di dalam kereta. Tolong baringkan dia di dalam juga, Sir Leon.”

“Baik. Saya akan membawanya sekarang,” ucap Leon lalu mengangkat tubuh pria yang tak sadarkan diri itu dengan hati-hati, membaringkannya di dalam kereta.

Tak lama setelah peluit ditiup, Sir Rocco akhirnya muncul dari dalam hutan.

---

“Hey, siapa itu yang ada di dalam kereta bersama Nona?” tanya Sir Rocco sambil menunjuk ke arah pria yang terbaring.

“Hah...” Leon menghela napas panjang. “Nanti kujelaskan saat sampai. Sekarang, ayo kita pulang. Hari sudah mulai gelap.”

“Baiklah,” jawab Rocco singkat.

Kereta kuda pun mulai berjalan, diiringi oleh kedua kesatria yang mengawalnya dari luar.

Di dalam kereta, hanya ada dua sosok—Nona Grace dan pria asing itu. Hening. Hanya suara roda kereta dan hembusan angin sore yang menemani perjalanan mereka.

Perlahan, Grace berpindah duduk. Ia memindahkan kepala pria itu ke pangkuannya. Jemarinya yang halus menyapu rambut pria itu dengan lembut,

seolah ingin menghapus luka-lukanya dengan sentuhan

“Bagaimana kamu bisa terluka seperti ini? Apa kamu orang penting dari Kekaisaran?” bisiknya lirih. “Rambutmu... sangat lembut.”

Ia tersenyum samar.

“Padahal wajahmu sangat tampan, kenapa kau menutupinya dengan topeng? Sayang sekali...” gumamnya, masih terus menatap wajah pria yang tak sadarkan diri itu.

# terima kasih untuk pembaca yang sudah menikmati cerita ini\, kali ini saya sedang memperbaiki alur cerita \, tata penulisan dan bahasa\, agar menjadi lebih baik dan bisa kalian nikmati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!