NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yang Diam-Diam Mengamati

Pagi di Desa Tanjung Sari kembali cerah, Dengan sinar matahari yang hangat dan burung-burung yang berkicau riang. Desa yang sebelumnya diselimuti kabut tebal, kini terlihat jelas dengan hijaunya sawah dan pepohonan yang rindang. Warga desa mulai beraktivitas, ada yang pergi ke sawah, ada yang membuka warung, dan ada yang bersiap-siap untuk pergi ke pasar. Suasana desa yang damai dan tenang, membuat warga merasa nyaman dan tenteram.

Hujan semalam meninggalkan tanah yang lembap dan udara yang segar. Desa Tanjung Sari terbangun dengan suasana yang lebih seimbang, seperti direset oleh kesegaran alam. Tanah yang lembap memudahkan para petani untuk mulai bekerja, sementara udara yang bersih membawa napas lega bagi warga desa. Di rumah Pak Wiryo, aroma sarapan mulai mengisi udara, menandakan hari baru yang cerah.

Lia menyapu halaman sambil sesekali melirik ke arah dapur, tempat Wijaya membantu Bu Surti menyiapkan sarapan. Lelaki itu masih kaku memegang pisau, tapi kesungguhannya membuat Bu Surti tersenyum sendiri.

“Pelan saja,” kata Bu Surti. “Yang penting niatnya.”

Wijaya mengangguk. “Saya tidak mau salah.”

Kalimat itu membuat Lia berhenti menyapu sejenak. Ia tahu, Wijaya bukan hanya takut salah memotong sayur. Ada banyak hal yang tidak ingin ia lakukan dengan keliru—termasuk tinggal di hidup orang lain.

Di tepi desa, Natan berdiri di bawah pohon randu. Matanya menatap jauh ke arah sawah yang terbentang luas. Dia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat, dengan ekspresi yang serius dan sedikit kesedihan. Angin pagi yang sepoi-sepoi berhembus, menggoyangkan dedaunan pohon randu, tapi Natan tidak bergerak, tetap berdiri diam seperti patung.

Ia pura-pura membaca pesan di ponselnya, padahal matanya tertuju pada rumah Pak Wiryo. Sejak kemarin sore, wajah lelaki itu tidak hilang dari pikirannya. Cara berdiri, garis rahang, bahkan kebiasaan menyentuh pelipis saat tampak lelah—semuanya terasa terlalu familiar.

Natan menarik napas dalam-dalam, menahan diri untuk tidak bertindak impulsif. Dia tahu bahwa kesabaran adalah kunci, dan dia telah belajar dari pengalaman bahwa bertindak tergesa-gesa hanya akan membawa kesalahan. Dengan mata yang tetap fokus ke depan, Natan menunggu, membiarkan waktu menjadi penentunya.

Ia menyapa beberapa warga yang lewat, bertanya soal hasil panen, tentang cuaca, tentang harga pupuk. Tidak ada yang mencurigakan. Desa ini terbiasa dengan orang luar.

Sebelum pergi, pandangannya kembali tertarik pada seorang perempuan yang menyapu halaman.

Gadis desa dengan rambut tebal terikat sederhana itu tampak tenang. Tidak ada kesan panik atau menyembunyikan sesuatu. Tapi dari caranya menoleh ke arah rumah, Natan tahu—perempuan itu peduli. Dan kepedulian sering kali menjadi petunjuk.

Siang hari, Lia mengantar nasi ke sawah. Membawa rantang makanan yang ditutupi daun pisang. Dia berjalan menyusuri pematang sawah, menikmati hangatnya sinar matahari dan pemandangan hijau yang menyegarkan. Saat dia tiba di sawah, para petani yang sedang bekerja menyambutnya dengan senyum.

Wijaya dan Pak Wiryo menikmati istirahat di bawah pohon, melepas lelah setelah bekerja di sawah. Jono yang duduk tidak jauh dari mereka, langsung mengubah ekspresinya menjadi lebih cerah saat melihat Lia datang. Matanya mengikuti Lia, dan dia tidak bisa menyembunyikan senyum yang muncul di wajahnya. Lia yang tidak menyadari perhatian Jono, langsung membagikan nasi kepada Wijaya, Pak Wiryo, dan para petani lainnya.

“Kamu capek? Biar aku saja yang bawa,” katanya cepat sambil berdiri.

Lia menggeleng. “Tidak berat.”

Jono tersenyum, lalu melirik Wijaya sekilas. “Kalau kamu capek, bilang saja. Tidak perlu memaksakan diri.”

Wijaya menatapnya sebentar. “Terima kasih.”

Nada suaranya datar, tapi sopan.

Jono duduk kembali, kali ini lebih dekat ke Lia. “Kamu sering kelihatan khawatir akhir-akhir ini.”

Lia menuangkan air minum. “Semua orang juga begitu.”

“Tidak,” sanggah Jono pelan. “Kamu beda.”

Wijaya menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah mereka, tapi memilih diam.

Lia menatap Jono. “Aku hanya melakukan yang seharusnya.”

Jono tersenyum tipis. “Kadang, yang seharusnya tidak selalu yang terbaik.”

Kalimat itu menggantung di udara.

Pak Wiryo berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Sudah, makan dulu. Nasi keburu dingin.”

Wijaya kembali menunduk. Namun di dalam dadanya, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—bukan marah, tapi takut kehilangan.

Sore hari, Natan kembali melintas.

Kali ini ia berpura-pura mencari bengkel motor. Saat melewati sawah, ia melihat lelaki yang ia cari sedang membantu mengangkat karung. Gerakannya tidak canggung seperti kemarin. Ada kekuatan alami di sana.

Natan berhenti agak jauh.

Ia melihat perempuan itu—Lia—berlari kecil menghampiri lelaki tersebut, menyerahkan botol minum, mengelap keringat di pelipisnya dengan ujung selendang.

Gerakan sederhana.

Namun terlalu intim untuk orang yang baru saling kenal.

Natan kembali melintas, kali ini dengan langkah yang lebih tenang dan mata yang lebih fokus. Dia melirik ke arah sawah, tapi tidak berhenti. Natan terus berjalan, menghilang di balik jalan yang berbelok, meninggalkan kesan misterius di tengah suasana sore yang damai.

“Kalau benar dia…” gumamnya pelan, lalu menghentikan pikirannya sendiri.

Belum saatnya. Ia berbalik pergi, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Malam turun dengan sunyi.

Lia fokus menghitung hasil panen, jari-jarinya bergerak cepat menghitung jumlah padi yang dipanen. Wijaya duduk di seberangnya, dengan sabar memperbaiki tali sandal yang putus. Suasana di dapur hangat dan nyaman, hanya terdengar suara Lia yang menghitung pelan.

“Kamu tidak banyak bicara hari ini,” ujar Lia.

Wijaya mengangkat kepala. “Aku berpikir.”

“Tentang apa?”

“Tempatku di sini.”

Lia meletakkan hitungannya. “Kamu merasa tidak punya tempat?”

“Kadang,” jawab Wijaya jujur. “Aku takut suatu hari aku harus memilih… dan aku tidak tahu apa yang harus kupilih.”

Lia terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Tidak semua pilihan harus dibuat sekarang.”

Wijaya menatapnya. “Dan kalau nanti waktunya tiba?”

Lia tersenyum kecil. “Kita hadapi bersama.”

Kata kita membuat Wijaya terdiam lama.

Di rumah seberang, Jono duduk sendirian.

Ia menatap sawah yang mulai gelap, memikirkan wajah Lia yang semakin jarang menoleh ke arahnya. Perasaan itu tidak datang tiba-tiba, tapi tumbuh pelan—seperti iri yang tidak diakui.

“Aku dulu di sini,” gumamnya. “Aku yang lebih dulu.”

Namun kalimat itu terdengar kosong, bahkan bagi dirinya sendiri.

Di penginapan kecil di luar desa, Natan membuka buku catatan.

Ia menulis satu nama: Wijaya.

Lalu, di bawahnya, ia menulis satu kalimat pendek:

Kemungkinan besar, orang yang kucari masih hidup.

Ia menutup buku itu pelan. Tidak ada kepastian. Belum ada kebenaran.

Hanya jarak yang semakin menyempit, antara masa lalu yang mencari, dan masa kini yang ingin bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!