Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KTP dan Kebeneran Yang Terbongkar
Suara deru motor sport Rangga terdengar menjauh dari halaman kost, menyisakan keheningan di kamar berukuran 3x4 meter itu.
"Gue balik dulu ya, Tan. Mandi sebentar, nanti gue bawain buah," pamit Rangga tadi dengan senyum manisnya yang menenangkan.
Begitu pintu terkunci dan langkah kaki Rangga tak lagi terdengar, atmosfer di dalam kamar berubah drastis. Sarah, yang sejak tadi bersikap ceria dan heboh di depan Rangga, kini duduk di tepi kasur dengan wajah serius. Tidak ada lagi cengiran atau gosip receh.
Intan, yang masih bersandar lemah di bantal, merasakan perubahan itu. Firasatnya tidak enak.
"Sar? Kenapa muka lo ditekuk gitu?" tanya Intan pelan.
Sarah tidak menjawab. Ia merogoh laci meja belajarnya, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil berbahan plastik. Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Intan.
Ia meletakkannya di atas selimut, tepat di depan Intan.
"Tan," panggil Sarah, suaranya rendah namun menuntut. "Kita perlu bicara. Dan kali ini, gue nggak mau denger 'dongeng' soal bokap lo yang galak."
Intan menelan ludah. Tenggorokannya yang baru sembuh terasa kering lagi. "Maksud lo?"
Sarah menghela napas panjang, matanya menerawang. "Gue tau lo bohong, Tan. Gue tau kenapa lo kabur dari rumah. Dan gue tau... siapa yang sebenarnya bikin lo sakit hati."
Sebelum Intan sempat menyangkal, Sarah mengangkat tangannya. "Jangan bantah dulu. Dengerin gue."
FLASHBACK: 5 Jam yang Lalu di Rumah Sakit
Kepanikan melanda lobi IGD. Intan baru saja dilarikan masuk ke ruang tindakan oleh perawat. Rangga, dengan wajah pucat pasi, memaksa ingin ikut masuk, tapi ditahan oleh satpam.
"Mas, tunggu di luar. Biar dokter periksa dulu," tegas satpam itu.
Sarah yang berlari di belakang mereka dengan napas ngos-ngosan, segera menuju loket administrasi. Ia tahu prosedur rumah sakit. Mereka butuh data pasien secepatnya.
"Mbak, temen saya yang baru masuk... Intan Puspita," ucap Sarah pada petugas admin.
"Baik, bisa pinjam kartu identitas pasien? KTP atau kartu asuransi?" tanya petugas itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
"Oh, sebentar."
Sarah membuka tas ransel Intan yang tadi ia bawa. Ia merogoh dompet Intan. Dengan tangan gemetar karena khawatir, Sarah menarik keluar kartu biru muda itu.
Saat ia hendak menyerahkannya pada petugas, mata Sarah tak sengaja menangkap baris-baris data di kartu itu. Awalnya ia hanya ingin memastikan alamat Intan untuk diisi di formulir. Namun, apa yang ia baca membuat matanya membelalak lebar.
Alamat: Apartemen Pavilion, Tower A, Unit 2005.
Sarah mengerutkan kening. Pavilion? Itu apartemen mewah di dekat kampus. Bukannya Intan pernah bilang dia tinggal di perumahan biasa di daerah Depok? Kenapa di KTP alamatnya apartemen elit?
Tapi kejutan sesungguhnya ada di baris bawahnya.
Status Perkawinan: KAWIN.
Sarah merasa dunia berhenti berputar sejenak. Ia mengucek matanya, memastikan ia tidak salah baca karena panik. Tapi tulisan itu tercetak jelas dengan tinta hitam.
KAWIN.
"Mbak? KTP-nya?" tegur petugas admin, membuyarkan lamunan Sarah.
"Eh? I-iya, ini," Sarah menyerahkan kartu itu dengan tangan gemetar hebat.
Otak Sarah berputar cepat. Intan menikah? Kapan? Intan baru 17 tahun. Dan kalau Intan sudah menikah, kenapa Rangga tidak tahu? Kenapa Intan tinggal di kost-kostan sempit bersamanya semalam?
Saat petugas admin sedang mengetik data, Sarah mengedarkan pandangan ke sekeliling lobi IGD yang ramai. Ia mencari Rangga.
Namun, matanya justru menangkap sosok lain.
Di sudut pintu keluar, berdiri seseorang yang sangat ia kenal. Sosok tinggi, tegap, dengan kemeja putih yang lengan bajunya digulung berantakan.
Pak Argantara Ramadhan.
Dosen idolanya itu berdiri mematung menatap ke arah pintu IGD tempat Intan dirawat. Wajah Arga terlihat kacau. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, dan matanya... Sarah belum pernah melihat tatapan sesakit itu di mata Pak Arga. Itu bukan tatapan dosen yang khawatir pada mahasiswa. Itu tatapan seorang pria yang melihat miliknya terluka.
Dan tiba-tiba, potongan puzzle di kepala Sarah menyatu.
Minggu lalu, saat Sarah menjadi perwakilan kelas mengantar tugas ke meja Pak Arga, ia sempat melihat sebuah paket tergeletak di meja dosen itu. Label pengirimannya bertuliskan: Argantara Ramadhan - Apartemen Pavilion, Tower A, Unit 2005.
Alamat yang sama persis dengan KTP Intan.
Unit yang sama.
Satu atap.
Sarah membekap mulutnya sendiri, menahan pekikan kaget. "Gila," bisiknya. "Jadi selama ini..."
KEMBALI KE MASA KINI
Kamar kost itu hening. Hanya suara kipas angin tua yang berputar pelan.
Intan menatap KTP-nya dengan pandangan nanar. Rahasianya—benteng pertahanan terakhirnya—telah runtuh di tangan sahabatnya sendiri.
"Lo... liat semuanya?" tanya Intan lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Sarah mengangguk. Ia bergeser duduk lebih dekat, lalu menggenggam tangan Intan yang dingin.
"Alamat lo sama kayak alamat Pak Arga, Tan," ucap Sarah pelan, tidak menghakimi tapi memastikan. "Dan status lo 'Kawin'. Lo istri Pak Arga, kan?"
Pertahanan Intan jebol.
Ia menundukkan wajahnya ke lutut dan menangis tergugu. Bahunya berguncang hebat. Semua beban sandiwara, semua rasa sakit melihat Arga dan Clarissa, semua ketakutan akan penilaian orang, tumpah saat itu juga.
"Maafin gue, Sar... Maafin gue..." isak Intan. "Gue nggak bermaksud bohongin lo... Gue terpaksa..."
Sarah tidak marah. Ia justru menarik Intan ke dalam pelukan erat. Ia membiarkan sahabatnya menangis di bahunya sampai puas.
"Gue nggak marah, bego," bisik Sarah, ikut berkaca-kaca. "Gue cuma kaget. Sumpah, gue syok berat. Gue kira lo polos, taunya suhu. Dapet dosen paling ganteng se-kampus."
Intan tertawa di sela tangisnya, tawa yang terdengar menyedihkan. "Ganteng apanya... Dia jahat, Sar. Dia jahat banget sama gue."
Intan melepaskan pelukan, menghapus air matanya kasar. Dengan suara serak, ia mulai bercerita. Bukan cerita lengkap, tapi inti dari semuanya: perjodohan kakeknya, sikap dingin Arga, perjanjian rahasia mereka, hingga kehadiran Clarissa yang membuat Intan memilih pergi.
Sarah mendengarkan dengan mulut ternganga. Sesekali ia mengumpat pelan saat mendengar bagian Arga membentak Intan atau meninggalkannya demi Clarissa.
"Anjir," umpat Sarah geram. "Jadi pas lo pingsan tadi, dia ada di sana? Dia liat lo jatoh tapi nggak nolongin?"
Intan mengangguk lemah. "Dia milih jaga image, Sar. Dia takut ketahuan kalau dia punya istri bocah kayak gue. Dia lebih milih jalan sama Bu Clarissa."
"Wah, sinting tuh orang," Sarah mengepalkan tangan, emosinya naik. "Gue tarik kata-kata gue soal dia suami idaman. Dia pengecut. Muka doang ganteng, nyali nol."
Sarah menatap Intan lekat-lekat. "Terus sekarang gimana? Kak Rangga nggak tau soal ini kan?"
Intan menggeleng cepat. "Jangan, Sar! Please, jangan kasih tau Kak Rangga. Gue nggak mau ngancurin hidup dia. Kalau dia tau gue istri dosennya, dia bisa kena masalah. Pak Arga bisa ngancem nilai dia."
Sarah menghela napas panjang, tampak frustrasi tapi mengerti.
"Oke. Gue janji mulut gue rapet. Gue nggak akan bocorin ini ke siapa pun, apalagi Rangga," janji Sarah. Ia meremas tangan Intan lagi. "Tapi lo harus janji satu hal sama gue."
"Apa?"
"Jangan balik ke apartemen itu kalau lo belum siap. Lo tinggal di sini sama gue. Biarin si Pak Dosen itu ngerasain gimana rasanya kehilangan istri," ucap Sarah berapi-api. "Biar dia tau rasa. Enak aja dia pikir lo bisa diinjek-injek mentang-mentang lo masih muda."
Intan tersenyum tipis. Kali ini senyum yang tulus. Beban di dadanya terangkat separuh. Setidaknya sekarang ia tidak sendirian lagi memikul rahasia ini.
"Makasih ya, Sar. Lo temen terbaik gue."
"Iyalah, gue gitu lho," Sarah menyengir, berusaha mencairkan suasana. "Tapi gila ya, Tan. Lo hebat banget bisa tahan serumah sama kulkas dua pintu itu. Gue kalau jadi lo udah gue racunin kopinya dari hari pertama."
Intan tertawa kecil. "Udah pernah kepikiran sih."
Tiba-tiba, ponsel Intan di atas kasur bergetar. Layarnya menyala.
Argantara (Suami) calling...
Senyum di wajah mereka lenyap. Sarah melirik layar ponsel itu, lalu melirik Intan.
"Jangan diangkat," hasut Sarah. "Biar dia nyariin."
Intan menatap nama itu. Hatinya berdebar antara rindu dan benci. Namun, bayangan Arga yang berjalan pergi bersama Clarissa tadi siang kembali muncul, membakar rasa rindunya menjadi abu.
Intan mengulurkan tangan, menekan tombol reject berwarna merah. Lalu dengan mantap, ia menonaktifkan ponselnya.
"Bagus," puji Sarah. "Malam ini kita pesta mie instan lagi. Tanpa pedes, khusus buat lo."
Di kamar kost sempit itu, persahabatan mereka menguat di atas rahasia yang terbongkar. Sementara di luar sana, Argantara Ramadhan sedang memandangi ponselnya dengan frustrasi, menyadari bahwa "rumah"-nya kini benar-benar tertutup untuknya.
makan tuh gengsi Segede gaban😄