NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: MAUDY MUNDUR

Dua hari setelah Laura bangun, kondisinya udah jauh lebih baik. Dia dipindah dari ICU ke ruang rawat VIP—ruangan yang lebih nyaman dengan sofa untuk Julian yang masih gak mau pulang, jendela besar dengan pemandangan kota, dan lebih penting lagi, gak ada bunyi mesin-mesin yang bikin paranoid.

Laura udah bisa duduk dengan bantuan bantal, udah bisa ngomong dengan jelas walau masih gampang capek, dan udah bisa makan makanan lembut walau gak banyak. Setiap hari ada kemajuan kecil yang bikin Julian dan semua orang lega.

Sore itu, Laura lagi duduk di tempat tidur, nonton TV dengan volume pelan sementara Julian tidur di sofa—akhirnya tidur beneran setelah Felix ngancam mau sedate dia kalau gak istirahat.

Ketukan pelan di pintu bikin Laura menoleh. "Masuk."

Pintu terbuka, dan sosok yang masuk bikin Laura sedikit terkejut.

Maudy Angelica.

Wanita itu terlihat berbeda dari terakhir kali Laura lihat di acara launching—gak ada makeup tebal, gak ada dress mewah. Cuma jeans dan sweater simpel, rambut diikat ponytail, wajah bare yang terlihat lebih muda tapi juga lebih lelah.

"Hei," ujar Maudy pelan, berdiri canggung di pintu. "Aku—aku gangguin?"

Laura melirik Julian yang masih tidur pulas di sofa, lalu kembali ke Maudy. "Gak. Masuk aja."

Maudy masuk dengan hati-hati, menutup pintu dengan pelan. Dia duduk di kursi tamu agak jauh dari tempat tidur—menjaga jarak yang sopan.

Hening beberapa saat. Canggung. Gak tau harus mulai dari mana.

"Aku—" mereka berdua bicara bersamaan, lalu berhenti, tersenyum kecil yang sama-sama awkward.

"Lo duluan," ujar Laura.

Maudy menarik napas dalam. "Aku mau minta maaf. Untuk semua—semua drama yang aku bikin. Untuk datang kembali ke hidup Julian dengan ekspektasi yang gak realistis. Untuk bikin lo—bikin kalian berdua susah."

Laura gak ngomong, cuma dengerin.

"Aku pikir," lanjut Maudy, suaranya mulai bergetar, "aku pikir kalau aku balik, semua bisa kembali seperti dulu. Kalau aku minta maaf, Julian akan maafin aku dan kita bisa mulai lagi. Aku—aku gak nyadar kalau Julian udah berubah. Kalau dia udah move on."

Dia menatap Julian yang tidur di sofa, senyum sedih di bibirnya. "Atau lebih tepatnya, aku gak mau nyadar."

"Kenapa lo pergi?" tanya Laura tiba-tiba. Pertanyaan yang dia penasaran tapi gak pernah tau jawabannya.

Maudy terdiam, tatapannya jadi jauh—mengingat masa lalu yang menyakitkan. "Karena aku pengecut," jawabnya jujur. "Pas Julian terluka parah di insiden itu, pas dia di rumah sakit dengan mimpi buruk dan trauma, aku—aku gak bisa handle. Aku masih muda, masih egois, masih mikirin karir aku sendiri. Dan ngeliat Julian dalam kondisi kayak gitu, ngeliat dia hancur tapi gak bisa aku bantu—itu terlalu berat buat aku."

Air mata mulai turun di pipinya. "Jadi aku lari. Aku ambil tawaran kerja di New York dan pergi tanpa bilang apa-apa. Aku tinggalin dia pas dia paling butuh seseorang. Dan itu—itu kesalahan terbesar dalam hidupku."

Laura merasakan dadanya sesak mendengar cerita itu. Dia gak setuju sama yang Maudy lakuin—meninggalin orang yang kamu cintai pas dia paling butuh itu kejam banget. Tapi di sisi lain, dia bisa ngerti ketakutan itu. Ketakutan gak bisa membantu, gak bisa menyelamatkan.

"Tapi lo," Maudy menatap Laura sekarang, mata masih berkaca-kaca, "lo berbeda. Lo gak lari. Lo tetap ada bahkan pas Julian masih bingung dengan perasaannya. Lo rela terluka, rela disakiti, bahkan rela nyaris mati—demi dia."

"Aku gak lakuin itu demi dia," ujar Laura pelan. "Aku lakuin karena aku mencintai dia. Ada bedanya."

Maudy tersenyum—senyum yang tulus walau sedih. "Aku tau. Dan itu kenapa aku tau aku udah kalah sejak awal. Gak ada yang bisa bersaing sama cinta yang sebesar itu."

Dia berdiri, mengusap air matanya. "Aku datang buat bilang ini: aku mundur. Aku gak akan ganggu kalian lagi. Aku gak akan coba rebut Julian atau bikin drama lagi. Kalian—kalian berdua pantas bahagia. Dan aku—aku harus belajar ikhlas."

Laura menatapnya dengan tatapan yang lembut. "Lo gak harus ikhlas sekarang. Boleh kok butuh waktu untuk move on."

"Aku tau," Maudy tersenyum tipis. "Tapi aku harus mulai dari suatu tempat kan?"

Dia berjalan ke pintu, tapi sebelum keluar, dia berhenti dan menoleh. "Jaga dia, Laura. Julian kelihatan kuat tapi dia rapuh di dalem. Dan sekarang—sekarang lo adalah orang yang dia percaya untuk jaga hatinya. Jangan sia-siain itu."

"Aku gak akan," janji Laura. "Dan Maudy?"

"Ya?"

"Terima kasih. Untuk kesempatan ngomong kayak gini. Dan untuk—untuk jujur."

Maudy mengangguk sekali, lalu pergi—menutup pintu dengan pelan supaya gak bangunin Julian.

Laura duduk sendirian di tempat tidurnya, menatap Julian yang masih tidur pulas. Wajahnya terlihat damai—gak ada lagi kerutan khawatir di dahi, gak ada lagi bayangan gelap di bawah mata.

Percakapan dengan Maudy tadi membuat Laura berpikir. Tentang cinta, tentang pengorbanan, tentang gimana kadang melepaskan seseorang adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Dan Laura bersyukur—bersyukur banget—bahwa di akhir semua drama, semua sakit, semua air mata, dia yang Julian pilih. Dia yang Julian cintai.

Julian bergerak sedikit di sofa, mengerang pelan. Matanya perlahan terbuka, masih separuh sadar. "Laura?"

"Aku di sini," jawab Laura dengan lembut.

Julian duduk dengan cepat, langsung waspada. "Lo okay? Butuh sesuatu? Sakit dimana?"

Laura tertawa pelan—tertawa yang masih terdengar lemah tapi tulus. "Aku baik-baik aja. Lo yang tidur kayak orang gak tidur seminggu."

Julian mengucek matanya, tersenyum malu. "Aku capek banget ternyata."

"Aku tau," ujar Laura, mengulurkan tangannya. Julian langsung mendekat, duduk di tepi tempat tidur, memegang tangan Laura. "Makanya lo harus istirahat lebih banyak."

"Nanti aku istirahat kalau lo udah bener-bener pulih," jawab Julian, mengecup punggung tangan Laura. "Sekarang prioritas adalah lo."

"Julian," Laura memanggil namanya dengan nada serius. Dia menatap mata Julian dengan tatapan yang dalam. "Maudy baru datang."

Julian menegang. "Maudy? Dia—dia bilang apa? Dia ganggu lo? Kalau dia—"

"Dia minta maaf," potong Laura dengan lembut. "Dan dia bilang dia mundur. Dia gak akan ganggu kita lagi."

Julian terdiam, mencerna informasi itu. Lalu dia mengangguk perlahan. "Lo okay dengan itu?"

"Aku?" Laura tersenyum. "Aku lebih dari okay. Aku—aku cuma pengen kamu tau bahwa aku menghargai kejujurannya. Dan aku harap dia bisa nemuin kebahagiannya sendiri."

Julian menatap Laura dengan tatapan yang penuh kekaguman. "Lo tau gak kenapa aku jatuh cinta sama lo?"

Laura merona sedikit. "Kenapa?"

"Karena lo punya hati yang paling besar yang pernah aku temuin," jawab Julian dengan tulus. "Lo bisa ngasih maaf bahkan sama orang yang nyakitin lo. Lo bisa berdamai bahkan sama masa lalu yang menyakitkan. Lo—lo ngajarin aku gimana caranya mencintai dengan cara yang bener."

Laura merasakan matanya mulai berkaca-kaca—lagi. Kayaknya sejak bangun dari koma, dia jadi gampang nangis.

"Aku mencintaimu," bisik Julian, dahi nya menyentuh dahi Laura. "Aku mencintaimu dengan cara yang gak pernah aku pikir aku bisa rasain. Dan aku janji—aku janji akan buktiin setiap hari kalau lo gak salah pilih aku."

"Aku tau aku gak salah pilih," bisik Laura balik. "Aku udah tau itu sejak sepuluh tahun lalu."

Mereka duduk seperti itu—dahi bertemu, napas bercampur, tangan saling menggenggam—dalam keheningan yang hangat dan nyaman.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Laura merasakan peace yang beneran. Gak ada lagi ragu, gak ada lagi sakit hati, gak ada lagi pertanyaan tanpa jawaban.

Cuma cinta—cinta yang akhirnya dibalas dengan cara yang paling indah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!