Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10
Angin sejuk menerpa wajahku, membuat beberapa helai rambutku beterbangan. Kurasakan udara segar ini seraya memejamkan mata.
"Boleh aku duduk disini?" Suara itu menyadarkanku, sontak saja aku menoleh.
Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Aku sedikit bergeser untuk berbagi tempat duduk dengan Evelyn. Saat ini aku berada di taman belakang, aku duduk di ayunan yang menghadap langsung ke kolam.
Baru saja kami makan siang bersama, setelahnya Mommy dan Daddy ingin membicarakan sesuatu dengan Elbarra. Aku rasa itu urusan pribadi mereka, aku pun tidak ingin ikut campur.
"Apa kau bahagia tinggal disini?" Evelyn memaksakan untuk tersenyum kepadaku. Aku tidak mengerti maksudnya.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Evelyn menggeleng pelan, "Aku hanya merasa bahwa kau terpaksa tinggal disini. Aku melihat bahwa kau tidak bahagia."
Darimana dia tahu? Apakah tampang menyedihkanku tercetak jelas di wajah?
"Jika memang begitu, jangan memaksakan diri, Sisi. Beritahu aku, maka aku akan membantumu untuk lepas dari Elbarra," sambungnya.
Aku menatapnya tidak percaya, dia sungguh ingin membantuku?
"Kau ingin melawan saudaramu sendiri?"
Ada kebimbangan diwajahnya. Apakah dia serius dengan ucapannya?
Cukup lama Evelyn bergeming, sedetik kemudian ia tersenyum simpul. "Kau tahu? Aku dan Elbarra tidak terlalu dekat. Dia acuh dan cuek, tidak pernah perduli tentangku. Aku jadi merasa bahwa kami bukanlah saudara, hanya orang asing yang terjebak dalam satu rumah."
"Tapi, walaupun dia acuh terhadapku, aku masih memikirkannya. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya saudara yang kumiliki. Mengetahui bahwa Elbarra seorang impoten, hatiku dan orangtuaku hancur. Kami membantunya dengan cara mencari dokter terkenal, sayangnya semua hal yang kami lakukan gagal. Hingga, terdengar kabar bahwa dia membawa seorang gadis, oleh sebab itu Mommy bersemangat ingin menemuimu."
Hatiku tersentuh mendengarnya. Ternyata Elbarra seorang impoten dan aku baru mengetahuinya. Jika dia memang impoten, kenapa dia tertarik kepadaku? Apakah saat bersamaku maka jiwa kejantanannya muncul?
"Semuanya kuserahkan kepadamu, Sisi. Aku tidak ingin mengorbankan perasaan orang lain demi saudaraku. Jika kau memang tidak betah dan ingin pergi, katakan saja yaa. Jangan sungkan! Anggap aku sebagai temanmu."
Evelyn tersenyum, ia lalu bangun dan memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Di dalam kesendirianku ini, aku kembali mengingat awal-awal kedatanganku kerumah ini hingga pertemuanku dengan Elbarra.
Mendadak aku teringat dengan Victoria. Dimana dia? Dan apa yang telah terjadi dengannya? Semenjak hari itu, aku tidak pernah melihatnya lagi dan tidak mendengar kabar tentangnya.
"Sisi..." panggilan itu membuyarkan pikiranku.
Mommy Valentina menghampiriku sambil tersenyum sumringah. "Sayangku, sedang apa disini sendirian?"
"Hanya menikmati udara segar, Moms."
"Ayo kita masuk. Cuaca makin panas dan matahari makin terik."
Aku mengangguk iyakan, Mommy kemudian menggandeng tanganku dan membawaku untuk masuk kedalam rumah.
"Nak, kami akan pulang. Apakah kau ingin ikut?" tawar Daddy Sebastian, aku spontan menggeleng.
"Mungkin lain kali, Dad."
"Oh, baiklah kalau begitu."
"Jaga dirimu baik-baik ya, Sayang. Jika butuh apapun, hubungi Mommy." Mommy Valentina sepertinya benar-benar menyukaiku.
"Untung apa Sisi menghubungi Mommy yang jauh, jelas-jelas ada aku yang dekat disini."
Plakk!
Mommy memukul lengan Elbarra cukup kencang, ia bahkan mendelik tidak suka.
"Sudahlah, ayo kita pulang." Untung ada Daddy yang menengahi.
Mommy dan Daddy memelukku bergantian, setelah itu mereka memasuki mobil. Sama halnya dengan kedua orangtuanya tadi, Evelyn memelukku namun dalam durasi yang cukup lama.
"Eve, cepatlah!" Mommy memanggil, buru-buru Evelyn melepaskan pelukan kami dan segera menuju ke mobil yang sama dengan orangtuanya.
Aku melambaikan tangan sambil tersenyum. Ketika aku melirik Elbarra, ia bersikap acuh bahkan melipat kedua lengannya di dada. Seolah ia memberitahuku bahwa dirinya memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya.
"Ayo masuk!" Ia menggenggam tanganku lalu menarikku untuk masuk kedalam. Padahal mobil keluarganya belum keluar dari pekarangan.
"Aku lelah. Temani aku tidur!" Nada bicara Elbarra berubah dingin. Entah apa yang merasukinya.
Aku tak banyak membantah, kuikuti apa yang ia inginkan. Kami masuk kedalam kamar, kemudian membaringkan diri di kasur dengan posisi Elbarra yang memelukku.
Matanya sudah terpejam. Kutatap mata itu, mata yang selalu menatapku tajam kini tengah terlelap. Tangan ini terasa gatal rasanya bila menganggur begitu saja. Aku menyentuh wajah Elbarra, lalu mengusapnya pelan.
Dari pipi hingga ke rahang, aku masih mengusapnya sambil berdecak kagum. Rahangnya begitu tegas dan kokoh, benar-benar tercetak sempurna. Tidak heran jika Addie menyukainya bukan?
"Sudah selesai mengagumiku?"
Aku tersentak kaget. Sebelum tanganku turun dari wajahnya, Elbarra lebih dulu menahannya. Sepasang mata almond itu perlahan terbuka, menatapku dalam-dalam.
"Rasanya menyenangkan saat mendapati jarimu yang menyentuh wajahku," bisiknya seraya tersenyum kecil.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Elbarra kembali menutup matanya. Aku ingin menarik tanganku, tapi genggamannya semakin kuat hingga membuatku menyerah.
"Kau benar-benar ingin tidur?" tanyaku dengan suara pelan.
"Tidak. Aku hanya ingin memejamkan mata."
Aku mengangguk lirih. Ingin rasanya membiarkan Elbarra tertidur dan beristirahat, tapi mulutku terasa gatal jika tidak mengeluarkan kegundahan di hatiku.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku hati-hati.
"Tidak ada yang melarangmu, Sayang."
"Apa benar bahwa kau seorang.. Impoten?"
Kedua matanya langsung terbuka lebar. Bahkan aku bisa melihat bahwa rasa kantuk Elbarra telah lenyap begitu saja.
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu?" Tatapannya menusuk, suaranya bahkan terdengar menakutkan.
"Jawab saja pertanyaanku tadi," cicitku tanpa berani menatapnya.
Kurasakan hembusan nafasnya diatas kepalaku. Tangan besarnya lalu terangkat untuk mengusap rambut panjangku, sesekali ia menciuminya.
"Aku malu mengatakannya."
Aku mendongak, kutatap matanya yang sayu. "Kenapa harus malu? Katakan saja. Aku ingin mendengarnya."
Perubahannya begitu cepat. Ia sudah kembali terkekeh sambil menatapku geli. "Kau ini kepo sekali."
"Tentu saja. Ayo cepat katakan, El."
"Tapi ada syaratnya,"
Aku mendengus sebal, Elbarra selalu mencari kesempatan. Tanpa mendengarkan apa syaratnya, buru-buru aku mengecup bibirnya sekilas. Dapat kusaksikan bahwa pria itu terkejut atas tindakanku.
"Sudah. Jadi, katakan."
"Em, Sweety. Bukan itu syaratnya."
Mataku melotot kearahnya, "Jika bukan dicium, lalu kau ingin apa?"
"Panggil aku dengan sebutan sayang," Elbarra tersenyum lebar hingga menampakkan giginya yang rata.
Ingin rasanya aku menghilang. Wajahku pasti sudah memerah karena malu. Dengan percaya dirinya aku mencium Elbarra tanpa ia minta lebih dulu.
"Cepatlah. Aku ingin mendengarnya dari mulutmu," desaknya sembari mengguncang bahuku.
Aku menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Dia ini bener-benar menguji kesabaranku.
"Elbarra Sayang, bisa ceritakan kepadaku tentang masa lalumu? Kumohon!" Kupaksakan untuk tersenyum, walaupun sebenarnya aku enggan.
"Hahaha... Wajahmu lucu sekali, Sayang."
"Elbarra, sakitt!" Aku memukul tangan pria itu yang mencubit pipiku. Bibirku mengerucut kesal, dan kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi? Si Elbarra mencium bibirku berulang kali.
Tanganku dengan cepat membungkam mulutnya, sebelum bibirnya itu menyentuh bibirku.
"Kenapa kau suka sekali menciumku?" pekikku heran.
"Lembut dan manis, aku suka!" jawabnya setelah menurunkan tanganku.
Aku benar-benar kesal. Aku duduk dan hendak bangun, Elbarra secepat kilat menarikku hingga aku terjatuh kepelukannya.
"Lepasss," Usahaku yang memberontak percuma, karena bukannya berhasil melepaskan diri, pelukannya justru semakin erat.
"Aku mencintaimu, Istriku."
Tiga kata itu berhasil menghentikan aksi berontakku. Aku terdiam membeku, hingga tanpa kusadari Elbarra sudah berpindah posisi diatas tubuhku. Ia menatapku lekat, kemudian mulai mencium bibirku dengan lembut.