Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 – Malah Koploan
Kabut pagi menggantung tebal di antara pepohonan pinus, melayang rendah seperti selimut perak yang menyelimuti seluruh lereng bukit. Udara begitu dingin hingga napas Embun tampak seperti asap putih setiap kali ia mengembuskannya. Suara burung hutan bersahut-sahutan dari kejauhan, bercampur dengan gemerisik daun yang tersapu angin.
Dari dalam cabin paling atas, keributan kecil sudah terjadi lima menit belakangan.
“Aduh… dinginnya nyerang sampai tulang sumsum!” keluh Lona sambil memeluk bantal, hoodie tebal menutup hampir separuh wajahnya. Hidungnya merah, tapi ia tetap berdiri di ambang pintu teras, menatap kabut seolah sedang menghakiminya. “Bia, lo yakin kita nggak salah pilih bulan buat staycation?”
Bia, duduk santai di kursi kayu dengan segelas teh hangat, hanya menatapnya datar. “Lona, ini Puncak. Memang dingin. Kalau mau panas, minggu depan kita staycation di Bekasi aja.”
Embun yang sedari tadi menyandarkan bahu di sisi pintu, hanya tersenyum kecil mendengar perang mulut pagi-pagi itu. Sweater putih lembut melingkari tubuhnya, syal rajut biru muda tergantung manis di leher, dan rambut panjangnya masih lembap karena embun yang menempel ketika ia membuka jendela tadi.
“Aku jalan sebentar ya,” katanya pelan. “Mau lihat arah bukit.”
“Jangan jauh-jauh,” sahut Bia tanpa mengalihkan pandangan dari tehnya. “Kabutnya tebel. Lo hilang sedikit aja, kita harus manggil Basarnas.”
Embun terkekeh, mengangkat tangan sebagai tanda patuh, lalu melangkah keluar.
Sepatu ketsnya menginjak jalan setapak berbatu yang licin oleh embun, menghasilkan suara kres-kres lembut setiap ia melangkah. Udara menusuk kulitnya seperti gigitan kecil, tapi anehnya… terasa menenangkan.
Di depan sana, samar—cahaya oranye matahari pagi mulai menyusup menembus tirai kabut. Embun berhenti di antara dua pohon pinus dan menatap ke arah lembah. Langit mulai berubah keemasan, dan kabut tampak berkilau seperti kapas tipis yang diterangi lampu temaram.
Ia menarik napas panjang, membiarkan aroma tanah basah dan kayu pinus mengisi dadanya. Angin lembut lewat dan menyibakkan rambutnya ke belakang, membuat syalnya berkibar seolah ikut menyapa pagi.
Siluetnya tampak syahdu di balik cahaya mentari—lembut, tenang, indah tanpa usaha.
*
Di sisi lain bukit, hanya beberapa meter di bawah tempat Embun berdiri, Langit Mahendra membuka pintu teras cabin bawah. Aroma kopi hitam yang baru diseduh menempel di udara. Ia mengenakan sweater hitam polos, celana jogger abu tua, rambut sedikit berantakan—paduan yang membuatnya terlihat santai tapi tetap berwibawa.
Ia berdiri di tepian teras, menghirup udara dingin dengan mata setengah terpejam. Suara embun menetes dari atap terdengar samar. Rapat daring menunggunya siang nanti, tapi pagi ini ia hanya ingin tenang beberapa menit saja.
Namun pandangannya tertarik pada sesuatu.
Di kejauhan, samar di balik kabut dan cahaya matahari yang baru bangun, Langit melihat seorang perempuan berdiri di tepi bukit atas. Rambut panjangnya tertiup angin, memantulkan kilau oranye lembut. Tubuhnya ramping, gerakannya tenang. Ia tidak melihat wajahnya—hanya siluet.
Tapi untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, pemandangan itu membuatnya terpaku. Cangkir kopi berhenti di tengah udara.
Cantik.
Itu pikiran pertamanya. Tapi setelahnya… timbul sesuatu yang lebih aneh. Rasa familiar. Bukan pada rupa—karena ia bahkan belum tahu siapa perempuan itu. Tapi pada… perasaan yang muncul tiba-tiba di dadanya. Entah dari mana.
Langit menarik napas, mencoba menertawai dirinya sendiri. “Konyol,” gumamnya pelan, meski sudut bibirnya sempat terangkat.
Ia menatap lagi ke arah bukit atas— tapi kabut kembali jatuh perlahan, menutupi siluet itu hingga hilang tanpa jejak. Dan Langit berdiri di sana lebih lama dari seharusnya, seakan menunggu kabut mundur kembali.
**
Cabin atas perlahan mulai dipenuhi aroma roti panggang, telur orak-arik, dan suara wajan yang beradu lembut. Cahaya pagi masuk lewat jendela besar, membentuk garis-garis emas yang memantul di dinding kayu—kontras sekali dengan suasana jiwa yang sama sekali tidak tenang.
Karena lima menit setelah masuk… Lona sudah memulai kebiasaannya.
“Aduhh sumpah ya,” keluhnya sambil duduk di meja makan dengan selimut masih menggantung di bahu. “Kenapa Puncak dingiiiiiin banget?! Ini sarapan atau acara survival?!”
Bia mengaduk teh hangatnya tanpa ekspresi. “Lona, ini baru jam delapan. Drama lo masih bisa nunggu.”
Embun tertawa kecil di belakang mereka, merapikan rambutnya yang agak berantakan. Ia duduk pelan, membuka ponsel hanya untuk mengecek waktu— Dan tiba-tiba layar ponselnya menyala.
Ping! Satu notifikasi masuk. Dari Mr. Don’t Know.
Embun hampir menjatuhkan roti.
Lona, seperti radar pencari gosip hidup, langsung menoleh. “MUKA LO—KENAPA MERAH?? SIAPA TUH??”
Embun buru-buru memeluk ponsel. “Nggak-nggak-nggak! Biasa aja!”
Bia menatap Embun dari atas mug. “Kalo biasa, kenapa tangan lo tremor?”
Embun membuka pesan itu dengan tangan sedikit gemeter.
Mr. Don’t Know: Pagi. Kamu biasanya ribut banget jam segini. Hari ini adem?
Embun langsung memukul meja kecil. DEG. “Astaga, dia inget pola chat gue…”
Lona langsung menghambur ke arah Embun, memaksa melihat layar. “WOOOOOOI INI COWOK UDAH OBSERVE LO! AAAA INI NAMA NYA PROGRESS!!!”
Bia mengangkat alis. “Apa lo mau bales sekarang atau pingsan dulu?”
Embun menarik napas panjang, mencoba terlihat santai padahal jari-jarinya getaran halus. “Ya udah, gue bales,” gumamnya sambil mengetik pelan.
Embun: Pagi… jangan kaget. Gue cuma belum normal sepenuhnya setelah bangun.
Balasan datang bahkan sebelum Embun sempat mundur dari layar.
Mr. Don’t Know: Normal atau nggak, suara pagi lo tetap kedengeran.
Embun langsung terbatuk-batuk nggak jelas. Bia menatap.
Lona teriak, “SALTING ALERT!! SALTING ALERT!!”
Embun melempar wajah ke bantal. “YA AMPUN KENAPAAAA dia begini??!”
Lona sudah berguling-guling di sofa. “KOK DIA SMOOTH BANGET YAAAAA 😭🔥🔥🔥”
Bia hanya meneguk teh lagi. “Fix, cowok ini bukan rakyat biasa.”
“Gue puter lagu ya biar vibes lo makin jatuh cinta!” ucap Lona tiba tiba
Embun langsung panik. “JANGAN! LONAAA—”
Tapi terlambat. Playlist dangdut koplo langsung meledak di speaker cabin dengan volume 89/100— ya Allah, kenapa nggak sekalian 100 sekalian? Lalu musik menggelegar.
Lagu PEDHEKATE – Nella Kharisma mulai mengisi udara pagi yang dingin. Dan Lona… yang disaksikan pepohonan pinus… Lona yang tadi hanya menggoyang-goyangkan kaki, tiba-tiba bangkit dan mulai bergerak mengikuti irama. Bukan goyangan halus atau sekadar anggukan kepala — ia benar-benar joget. Di tengah cabin yang masih berantakan, dengan hoodie kebesaran dan selimut menggantung seperti jubah super hero yang salah kostum. Gerakannya penuh semangat, seolah dingin Puncak tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Dalam hitungan detik, cabin atas berubah seakan-akan menjadi panggung konser pribadi. Suara Lona menggema lantang, melengking dan lepas kendali, memenuhi seluruh ruangan dengan energi dangdut yang sulit diabaikan — bahkan untuk seisi bukit.
“Tolong dong sayang bantuin aku— JO MOK ANGEL ANGEL DALANKUU— Beriii akuuu kesempatan— KENALII HATIMUUU—!!”
Embun tak berkutik.
Bia, yang biasanya paling kalem di antara mereka bertiga, tiba-tiba meletakkan cangkir tehnya. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dari kursi dan meraih selendang Embun yang tergeletak di sofa. Dengan ekspresi datar khasnya — wajah tanpa emosi yang sering membuat orang salah paham — ia kemudian ikut bergerak mengikuti irama dangdut yang sedang meledak dari speaker.
Gerakannya bukan asal goyang; ada ritme, ada kekompakan, bahkan nyaris seperti penari tradisi yang tiba-tiba terjebak di panggung dangdut koplo. Pemandangan itu begitu tidak terduga hingga rasanya seluruh cabin bergetar oleh perpaduan lagu, lantai kayu, dan absurditas murni dari Bia yang mendadak ikut bergabung dalam “ritual ngereog pagi” Lona.
“AKU TRESNO KOWEEE PENGEN PDKT— BUKA’EN JEMBAR LAWANG ATIMUUU— GIGIHKU BERJUANG MEREBUT SIMPATIIII— OJO MOK ANGEL ANGEL NEMEN DALAN CRITOKUUU—!!” Suara Bia ikut menggelegar di ruangan cabin itu
Embun hanya bisa berdiri di tengah ruangan, memeluk mug tehnya erat seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Matanya membesar ketika melihat dua sahabatnya — satu dengan hoodie dan selimut, satu lagi dengan selendang melambai-lambai — kompak menggempur ruangan dengan gerakan dangdut level konser besar.
Untuk sesaat, Embun merasa seolah ia bukan sedang staycation di cabin pegunungan, melainkan tersesat di belakang panggung festival dangdut keliling.
“Ya Tuhan…” gumamnya, menatap keduanya dengan tatapan antara pasrah dan ngeri. “Ini pagi atau upacara pemanggilan arwah koplo?”
Lona berputar sekali lagi, hampir menabrak meja sarapan. Bia tetap dengan wajah datar tapi pinggangnya bergerak sempurna mengikuti beat, seolah ia memang sudah berlatih bertahun-tahun.
Embun menutup wajah dengan tangan. “Hidup gue… kenapa begini banget, ya.” Namun suara tawanya pecah di sela-sela kalimat itu — pasrah, tapi penuh sayang.
Karena sechaotic apa pun tingkah mereka, Embun tahu satu hal pasti, tidak ada tempat lain yang lebih ramai, lebih gila, atau lebih nyaman daripada berada bersama dua perempuan yang sudah seperti rumah kedua baginya.
Dan tanpa ia sadari, dari cabin bawah… ada tiga pria yang sedang ikut tertawa mendengarkan konser dadakan pagi itu.
**
Langit duduk di tepi teras cabin bawah, menggenggam cangkir kopi hitam yang masih mengepul pelan. Udara dingin pagi menggigit kulit, tetapi ia menikmatinya—ketenangan seperti ini sulit ia dapatkan di kota. Di sisi kirinya, Samudra baru saja membuka bungkus rokok, mengetuk-ketuk batangnya di ujung jari sebelum menyalakannya dengan gerakan malas. Sementara Angkasa, seperti biasa, sudah kembali fokus pada ponselnya, membaca deretan email yang masuk sejak subuh.
Semua tampak berjalan tenang. Sampai tiba-tiba, ketenangan itu pecah dalam hitungan detik.
Dari arah bukit atas—dari salah satu cabin yang berdiri sedikit lebih tinggi—suara musik dangdut koplo meledak begitu keras, seolah ada konser amal yang digelar tanpa pemberitahuan. Dentuman beat koplo yang cepat dan lincah merambat menuruni lereng, menabrak sunyi pagi yang seharusnya damai. Melodi dan bass-nya bahkan menggema di balik pepohonan pinus.
Samudra reflek berhenti di tengah gerakan mengisap rokok, wajahnya penuh keterkejutan yang sulit dijelaskan. Angkasa perlahan menurunkan ponselnya, menatap ke atas bukit dengan napas yang tertahan. Sementara Langit… hanya bisa mematung selama dua detik sebelum sudut bibirnya terangkat, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Suara itu—suara musik yang begitu hidup—mengubah seluruh suasana pagi pegunungan. Dan tanpa bisa menahan diri, ketiganya saling berpandangan, seolah sama-sama bertanya dalam hati, Siapa yang bernyawa banget di atas sana sejak pagi?
Udara dingin tetap membekukan kulit, tapi tawa samar mulai menggantung di teras cabin bawah.
Karena tidak ada yang menyangka… bahwa sunyi hening di pegunungan bisa pecah hanya karena satu playlist dangdut koplo dari cabin para perempuan yang mereka bahkan belum kenal.
Dentuman koplo yang memecah hening itu tidak berhenti di lagu pertama. Justru semakin lama, semakin keras dan semakin liar. Suaranya turun menyusuri lereng seperti gelombang energi yang tak bisa dihentikan.
Tidak lama kemudian, dari arah cabin atas terdengar teriakan perempuan, “LONAAA!!! JANGAN DI ATAS KASUR JUGAAA! LO BENER-BENER MAU GUE BANTAI!” Suara itu jelas—penuh frustrasi, tapi tetap ada tawa di ujungnya.
Samudra membeku di kursinya. Pelan-pelan, tanpa sadar, kepalanya menoleh ke arah Langit.
“Bro… gue salah denger, atau itu ancaman pembunuhan pake nada ceria?”
Langit menunduk, memijit pangkal hidung, tapi bahunya sudah naik-turun menahan tawa.
Sementara Angkasa… akhirnya menyerah. Pria yang paling kalem itu menunduk, tertawa pendek, seperti orang yang baru saja diserang kejadian paling absurd di hidupnya.
Kemudian terjadi lagi. Lagu berikutnya meledak,
“Tolong dooong sayang bantuin akuuu— JO MOK ANGEL ANGEL DALANKUUUU—!!” Suaranya tak hanya keras, tapi juga dinyanyikan ulang oleh seseorang di atas sana dengan vokal penuh emosi.
“……..Ya Tuhan,” Samudra akhirnya terbahak memegang perutnya. “Ini bener-bener konser dangdut jam delapan pagi??!”
Angkasa ikut terbahak, matanya bahkan sampai berkaca-kaca karena tak mampu menahan efek komedinya. Sedangkan Langit? Dia tertawa paling pelan—tapi paling tulus. Ada sesuatu dalam kekacauan itu yang terasa… hidup. Tidak terencana, tidak formal, tidak seperti rutinitas rapat dan angka-angka yang memenuhi hidupnya.
Seolah suara itu—suara tawa dan teriakan cewek-cewek anteng tapi meledak-ledak— membawa warna yang tiba-tiba ia rindukan tanpa pernah menyadarinya.
Sampai terdengar satu suara lagi dari atas sana— suara paling lembut dari trio ribut itu, tapi penuh kepanikan, “BIAAA! LONA GILA! TOLONGIN GUE!!!”
Langit merasakan jantungnya berhenti sedetik. Ia mengenali ritme dan tonenya… Entah dari mana. Entah kenapa.
Sam mencondongkan tubuh, setengah berteriak. “APA YANG TERJADI DI ATAS SANA?!”
Angkasa tertawa lagi. “Gue nggak tahu. Tapi gue yakin… liburan kita nggak bakal sepi.”
**
tbc