NovelToon NovelToon
Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Trauma masa lalu / Cintamanis / Cinta Murni / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca

Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—

“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”

Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.

Diam.

Nggak nyaut sepatah kata pun.

Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭

Malu? Jelas.

Tapi sialnya, malah keterusan.

Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.

Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.

Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...

Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!

Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aturan Baru

Permintaan itu menggantung di antara mereka, rapuh dan berat, di tengah koridor yang dingin dan steril. Koridor yang beberapa menit lalu menjadi saksi bisu kekuasaan Kevin, kini menjadi panggung bagi kerapuhannya.

Mata Kevin, yang tadi setajam elang, kini menyiratkan badai yang terperangkap. Tangannya yang terkepal di sisi tubuhnya sedikit gemetar, sebuah detail kecil yang tidak akan pernah dilihat oleh dewan direksi, tetapi terlihat begitu jelas oleh Aruntala.

Mulutnya sedikit terbuka, lalu tertutup lagi. Ada pergulatan hebat di sana, pertarungan antara keinginan dan ketidakmampuan yang menyiksa. Aru bisa melihatnya dengan jelas. Ia bisa melihat otot di rahangnya menegang, menahan jutaan kata yang tersangkut di suatu tempat antara otak dan lidahnya.

“Kamu bisa, kan?” desak Aru lagi, suaranya kini melunak menjadi bisikan yang nyaris memohon.

“Aku lihat kamu di dalam sana. Kamu bukan cuma barista, kamu bukan cuma sekedar investor. Kamu... kamu orang yang berbeda. Orang itu... pasti bisa bicara.”

Rasa sakit melintas di mata Kevin. Bukan karena tuduhan Ala, melainkan karena kebenaran dalam kata-katanya. Ia perlahan menggeleng, bukan untuk menyangkal, melainkan untuk menghentikan desakan Aruntala.

Dengan gerakan yang terasa berat seolah mengangkat beban dunia, ia akhirnya melepaskan tangan Aru dan merogoh saku jasnya. Bukan bloknot kulit yang ia keluarkan, melainkan ponselnya.

“Nggak!” tolak gadis itu cepat.

“Aku nggak mau baca. Aku mau denger.”

Kevin mengabaikannya. Ibu jarinya bergerak cepat di atas layar, mengetik dengan presisi yang sama seperti saat ia membantai proposal Sion. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengangkat layar ponsel itu ke hadapan Aru.

Aku tidak pernah bilang aku seorang barista.

Aruntala mendengus frustrasi.

“Itu bukan jawabannya! Kenapa kamu ada di sana? Kenapa kamu pura-pura jadi orang biasa? Kamu sengaja, kan? Kamu punya agenda tersembunyi, kan? Kayak kata Danu!” Ocehannya kembali, deras dan tak terbendung, didorong oleh rasa sakit karena merasa dibodohi.

Kevin menunggu sampai Aruntala kehabisan napas. Lalu, dengan ketenangan yang menyebalkan, ia mengetik lagi.

Kafe itu bukan panggung sandiwaraku. Kafe itu bentengku.

Dahi Aru berkerut.

“Benteng? Benteng dari apa?”

Kevin menatap lurus ke mata Ala, tatapannya begitu dalam seolah menarik Aru ke dalam dunianya yang sunyi. Ia mengetik satu kalimat terakhir yang membuat seluruh amarah Aruntala menguap seketika.

Dari kebisingan dunia luar. Dari orang-orang seperti di dalam ruangan itu. Dan terkadang... dari kebisingan seperti dirimu.

Kata-kata itu menampar Aru lebih keras daripada tamparan fisik. Bukan karena menghina, tetapi karena jujur. Ia adalah kebisingan. Ia selalu tahu itu. Ia memeluk kebisingan itu seperti selimut pelindung. Tapi ia tidak pernah menyangka kebisingannya bisa menjadi sesuatu yang harus dilawan oleh orang lain, terutama oleh orang yang mati-matian ia coba lindungi.

“Oh,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Aru.

Gadis berambut pink itu menatap Kevin, benar-benar menatapnya untuk pertama kali sejak keluar dari ruang rapat. Ia melihat pria yang sama yang gemetar di pasar malam. Pria yang sama yang wajahnya pucat pasi saat balon meletus.

Pria yang sama yang mencari perlindungan dalam keheningan. Dan Aru, dengan keegoisannya, telah menyeretnya keluar dari benteng itu, memaksanya masuk ke medan perang korporat, dan kini menuntutnya untuk menggunakan senjata yang paling ia takuti: suaranya.

Rasa bersalah yang dingin merayap di punggungnya.

“Jadi... kafe itu... tempat kamu sembunyi?” tanyanya pelan.

Kevin mengangguk. Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku, sebuah sinyal bahwa interogasi telah selesai.

Keheningan yang menyelimuti mereka kini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggung atau penuh aturan. Ini adalah keheningan yang penuh pemahaman. Sebuah gencatan senjata. Hubungan palsu mereka, yang dibangun di atas kebohongan dan perjanjian konyol, tiba-tiba terasa jauh lebih nyata.

“Oke,” bisik Ala akhirnya.

“Oke. Aku ngerti.” Ia menarik napas dalam-dalam.

“Tapi kamu tetap utang penjelasan yang banyak sama aku, Tuan Investor Misterius.”

Sebuah senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibir Kevin. Ia mengangguk lagi, lalu berbalik dan berjalan menuju lift, mengisyaratkan Aru untuk mengikutinya.

.

.

.

Perjalanan pulang terasa panjang. Tidak ada radio, tidak ada ocehan, hanya deru pelan mesin mobil. Aruntala bersandar di kursinya, memandangi lampu-lampu kota yang berlalu-lalang. Pikirannya berpacu. Di satu sisi, ia merasa dikhianati. Kevin telah menyembunyikan bagian terbesar dari dirinya. Tapi di sisi lain, ada gelombang kekaguman yang tak bisa ia bendung. Cara Kevin mengendalikan ruang rapat, cara ia membungkam Nadira dan Sion dengan beberapa baris tulisan... itu sangat memukau. Ia jatuh cinta pada pacar pura-pura versi barista, tapi ia terpesona pada versi CEO.

Dan sekarang, ia tidak tahu harus merasakan apa terhadap pria yang sama yang duduk diam di sampingnya.

Mobil berhenti di depan gerbang rumahnya. Aru tidak langsung turun.

“Jadi... gimana sekarang?” tanyanya, memecah keheningan.

“Perjanjian kita... masih berlaku?”

Kevin menatapnya, lalu mengangguk.

“Aturannya gimana?” lanjut Ala.

“Masih ada jeda lima detik? Masih ada denda satu juta? Atau sekarang aku harus manggil kamu ‘Tuan Abizar’ dan ngasih hormat tiap kali ketemu?” guraunya, mencoba mencairkan suasana.

Kevin meraih ponselnya.

Aturan tetap sama. Tapi tujuannya berbeda.

“Berbeda gimana?”

Dulu untuk menipu mereka. Sekarang untuk melindungimu.

Jantung Aruntala berdetak sedikit lebih kencang. Melindunginya. Kata-kata itu terasa hangat.

“Melindungi aku dari apa? Nadira dan Sion udah kalah telak hari ini,” kata Aru, meskipun ia tahu itu tidak benar. Iblis tidak pernah benar-benar kalah, mereka hanya mundur untuk menyusun rencana baru.

Seolah menjawab pikirannya, ponsel Aru bergetar di dalam tasnya. Nama ‘Nadira’ tertera di layar, berkilauan seperti tanda bahaya. Aru menelan ludah, menatap Kevin dengan cemas sebelum menggeser tombol hijau.

“Halo, Ma?” sapanya, berusaha terdengar biasa saja.

“Aruntala, sayang,” suara Nadira terdengar manis seperti madu beracun.

“Mama cuma mau telepon untuk memastikan kamu dan... temanmu itu... baik-baik saja setelah rapat yang menegangkan tadi.”

“Kita baik-baik aja,” jawab Aru singkat.

“Baguslah kalau begitu. Mama sebenarnya telepon karena ada kabar baik. Mama mau kalian berdua datang ke acara penggalangan dana tahunan Buana Jaya Grup lusa. Anggap saja ini sebagai cara kita menunjukkan pada semua orang bahwa tidak ada masalah apa pun di antara keluarga kita dan... KRA Capital.”

Perut Aru melilit. Ini jebakan. Ia tahu ini jebakan.

“Kayaknya kita sibuk, Ma.”

“Oh, ayolah ... jangan begitu, sayang. Ini acara yang sangat formal dan penting. Semua kolega bisnis Ayahmu akan ada di sana. Ini kesempatan bagus untuk pacarmu itu untuk, yah... menunjukkan dirinya. Mama yakin dia akan jadi pusat perhatian.”

Ala melirik Kevin, yang kini menatapnya dengan saksama, seolah bisa mendengar percakapan itu.

“Aku nggak yakin, Ma...”

“Ayolah, Aru. Ini permintaan Ayahmu juga. Dia ingin semua terlihat harmonis. Lusa malam, di Grand Ballroom Hotel Majestic. Pakaian formal, ya. Mama tunggu kehadiran kalian berdua.”

Nadira menutup telepon bahkan sebelum Aru sempat menolak lagi.

Aru menurunkan ponselnya perlahan, wajahnya pucat.

“Dia ngundang kita ke acara amal formal. Lusa.”

Kevin tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatap Aru, menunggu reaksi gadis itu.

“Ini pasti jebakan,” desis Ala kesal.

“Dia pasti mau mempermalukan kita di depan semua orang. Di depan seluruh kolega bisnis Ayah. Dia mau nunjukkin ke semua orang kalau pacar aku itu... cacat.”

Rasa takut yang dingin mulai menjalari Aru. Menghadapi Nadira di ruang makan adalah satu hal. Menghadapinya di depan ratusan pasang mata yang menghakimi adalah hal lain. Ia tidak siap.

Melihat kepanikan di mata Ala, Kevin melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia melepaskan satu tangannya dari kemudi, bukan untuk meraih ponsel, melainkan untuk terulur ke arah Ala. Jari-jarinya yang panjang dan hangat dengan lembut menyentuh sehelai rambut pink Aru yang jatuh di pipinya, menyelipkannya ke belakang telinga.

Sentuhan itu begitu ringan, begitu tiba-tiba, hingga napas Aru tercekat.

Untuk pertama kalinya, jantungnya berdebar kencang bukan karena marah atau takut.

Kevin menatap lurus ke matanya, tatapan yang menjanjikan perlindungan lebih dari seribu kata. Ia kemudian mengambil ponselnya, mengetik dengan cepat, lalu menunjukkannya pada Aru.

Jangan takut. Aku akan menjagamu.

Aru menatap tulisan itu, lalu kembali menatap mata Kevin. Untuk sesaat, ia percaya. Ia percaya pria ini bisa melindunginya dari apa pun. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, mungkin ucapan terima kasih, mungkin sebuah persetujuan.

Tetapi sebelum satu kata pun sempat keluar, ponselnya berdering lagi. Nama Nadira kembali muncul di layar. Dengan gemetar, Aru mengangkatnya.

“Ya, Ma?”

“Satu hal lagi, sayang,” bisik Nadira dari seberang, suaranya kini kehilangan semua kepura-puraan manisnya, menyisakan nada dingin yang menusuk.

“Pastikan kekasih bisumu itu membawa buku catatan yang paling bagus. Dia akan butuh banyak sekali untuk menulis malam itu.”

1
Vtree Bona
seru ka lanjut yah kak thor
Vtree Bona
lanjut kaka,,,,,, semangat 💪
Vtree Bona
songgong amat tuh manusia,,,,,di bikin dari apa sech
Vtree Bona
lanjut kaka
Realrf: Oke 😍
total 1 replies
Vtree Bona
lanjut kak,,,,,kek nya bakal seru banget nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!