Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. MENGAMBIL KENDALI
..."Cara paling berani untuk bertahan adalah mengambil kembali kendali atas kisah yang pernah direbut darimu."...
...---•---...
"Naira."
Doni berlutut di hadapannya. Jarak aman tapi cukup dekat. Jantungnya berdebar, pisau itu masih tergenggam di tangan Naira, tapi suaranya tetap tenang. Tangannya tidak terulur. Sentuhan mendadak bisa memperburuk. Napasnya ia atur pelan, dalam, supaya Naira bisa dengar ritme yang stabil.
"Hei, dia sudah pergi. Kamu aman sekarang."
Mata Naira menatap kosong ke depan. Napasnya tersengal, pendek, tidak teratur. Tubuhnya bergoyang kecil, terus-menerus, seperti tubuh yang kehilangan keseimbangan.
"Dia tahu aku di sini. Dia akan kembali. Dia akan..."
Suaranya gemetar. Pisau masih tergenggam erat, buku-buku jarinya memutih.
"Dengar suaraku. Fokus ke sini."
Doni tidak mengulurkan tangan, hanya suaranya yang menjangkau. Hangat.
"Tarik napas pelan lewat hidung, hitung empat. Tahan sebentar. Keluarkan lewat mulut, hitung enam. Ayo, bareng aku. Satu... dua... tiga... empat..."
Nada tenang. Napasnya sendiri dia atur sebagai panduan, cukup keras untuk Naira dengar. Dada naik turun dengan ritme perlahan.
Menit demi menit berlalu.
Napas terpandu, kata-kata lembut, kehadiran yang tidak goyah.
Perlahan badai mereda. Getaran di jemari Naira berhenti. Bahunya turun. Matanya mulai menemukan fokus, menatap Doni yang masih berlutut di depannya, lututnya terasa dingin di ubin tapi ia tidak bergerak.
Pisau itu jatuh dengan bunyi logam yang tajam di lantai. Gema kecil yang terdengar terlalu keras di keheningan.
"Maaf," bisiknya parau, nyaris tidak terdengar. Tenggorokannya terasa kering, terbakar. "Aku pikir aku sudah lebih kuat. Tapi begitu dengar suaranya..."
Air mata mulai jatuh, panas di pipi yang dingin.
"Aku kembali jadi orang yang dulu. Lemah. Takut."
"Kamu tidak lemah."
Doni perlahan mengulurkan tangan, telapak terbuka, memberi pilihan. Naira meraihnya, genggamannya masih gemetar tapi jemarinya mencari kehangatan.
"Tubuhmu cuma bereaksi. Cara dia melindungi kamu dari bahaya."
Doni membantu Naira berdiri, menuntunnya ke kursi dengan hati-hati. Kakinya masih tidak stabil, seperti berjalan di atas kapas.
"Duduk. Aku buatkan teh chamomile pakai madu. Kamu perlu sesuatu yang hangat."
Sementara air mendidih, bunyi gelembung kecil yang teratur mulai mengisi keheningan. Doni mengambil cangkir keramik favorit Naira, yang berwarna krem dengan pegangan besar, nyaman digenggam. Kantong teh chamomile dimasukkan, aroma bunga yang lembut mulai tercium saat air panas dituang. Madu organik ditambahkan, larut perlahan membentuk pusaran emas.
Ratna masuk membawa laptop. Wajahnya serius, langkahnya cepat tapi terkendali. Heelsnya tidak berisik kali ini, seperti ia sengaja melangkah lebih lembut.
"Mas Doni, Nona Naira, kita harus bahas langkah selanjutnya."
Ratna menaruh laptop di meja, tapi belum membukanya. Matanya menatap Naira dengan kekhawatiran, mengukur kondisinya sebelum melanjutkan.
"Rekaman dari tadi pagi... media pasti akan tayangkan sebentar lagi. Kita perlu putuskan: kita diamkan atau klarifikasi?"
Naira menatap cangkir teh yang baru Doni taruh di depannya. Uap hangat naik perlahan, mengaburkan pandangannya sebentar. Tangannya gemetar saat mengangkatnya, keramik terasa hangat di telapak tangannya.
"Kalau aku diam, orang cuma dengar versinya dia."
"Tapi kalau kita bikin pernyataan publik, pengawasan publik juga ikut datang," kata Ratna hati-hati. "Nona harus siap dengan itu."
"Aku tahu."
Naira menyesap tehnya perlahan. Kehangatan cairan itu seperti mengembalikan sesuatu yang hilang, merayap dari tenggorokan ke dada. Napasnya mulai teratur. Rasa madu manis dengan sentuhan bunga chamomile yang menenangkan.
"Tapi aku capek terus bersembunyi. Capek membiarkan dia kuasai cerita. Aku mau bicara untuk diri sendiri, dengan caraku."
Doni duduk di sebelahnya, cukup dekat untuk memberikan dukungan tapi tidak menekan. Bahunya hampir menyentuh bahu Naira, hadir tapi tidak menuntut.
"Apa yang mau kamu katakan?"
Naira menatap tangannya sendiri. Jemari yang tadi mencengkeram pisau kini melingkari cangkir hangat. Kukunya masih sedikit pucat.
"Bahwa aku telah cerai karena alasan pribadi, dan aku tidak wajib menjelaskan itu ke siapa pun. Aku cuma butuh waktu untuk pulih, dan itu sah."
Suaranya mulai lebih kuat, tidak lagi gemetar.
"Kunjungan tadi pagi dengan media itu tidak pantas. Aku mau minta privasi."
Ratna mengangguk, jemarinya sudah bergerak di keyboard. Suara ketukan lembut, ritme cepat dari seseorang yang terbiasa.
"Sederhana, jujur, tegas. Bagus. Saya susun dulu, nanti kita tinjau bareng. Perlu disebut soal Mas Doni atau tidak?"
"Tidak," potong Doni cepat. "Semakin sedikit orang tahu tentang aku, semakin baik. Fokus saja ke Naira."
"Setuju," tambah Naira, menatap Doni sebentar dengan tatapan yang berbicara lebih dari kata-kata. Mata yang bilang terima kasih, aku percaya kamu, tetap di sini. "Ini bukan soal siapa di sekeliling aku, tapi soal aku sendiri yang ambil kendali."
Mereka bertiga menghabiskan satu jam menulis. Ratna memastikan sisi hukum aman, tidak ada kalimat yang bisa jadi celah untuk digugat. Naira menyesuaikan nada agar tetap berwibawa tapi tidak dingin, tetap manusiawi. Dan Doni memastikan kalimatnya tetap terasa tulus, bukan dingin atau kaku, masih terasa seperti Naira yang bicara.
Inilah hasil akhirnya.
...---•---...
Pernyataan Resmi dari Naira Adani
Saya menghargai perhatian dan kekhawatiran yang ditunjukkan publik terhadap kondisi saya.
Perceraian adalah proses sulit untuk siapa pun, dan saya memilih mengambil waktu untuk diri sendiri demi pemulihan dan refleksi.
Kunjungan mendadak pagi ini dari mantan suami saya bersama media adalah tindakan yang tidak pantas dan tidak diinginkan. Saya memohon privasi dan rasa hormat terhadap batasan yang saya tetapkan selama masa pemulihan ini.
Saya berada dalam perawatan profesional dan dikelilingi oleh tim pendukung yang memastikan kesehatan dan kesejahteraan saya. Saya baik-baik saja, dan akan kembali ke publik saat saya sudah benar-benar siap.
Terima kasih atas pengertiannya.
Naira Adani
...---•---...
Ratna membaca ulang dengan saksama, bibirnya bergerak tanpa suara. Matanya menyapu setiap kalimat, mencari celah, mencari kelemahan.
"Sempurna. Saya kirim lewat saluran resmi dalam satu jam. Media pasti rilis video Rendra dulu, lalu ini jadi respons elegan dari pihak kita."
Begitu Ratna keluar untuk menyiapkan publikasi, Doni dan Naira tinggal berdua. Dapur perlahan kembali hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Tik. Tok. Tik. Tok.
"Terima kasih," kata Naira pelan. Suaranya masih sedikit serak, seperti habis menangis lama. "Untuk semuanya. Untuk menghadapi dia. Untuk melindungi aku. Untuk... tidak panik waktu kamu lihat aku dengan pisau itu."
Tangannya mencari tangan Naira dan menggenggamnya lembut. Kulit Naira masih dingin, tapi perlahan mulai menghangat.
"Kamu tidak perlu terima kasih. Aku cuma melakukan hal yang benar."
"Tetap saja, kamu ambil risiko besar. Dia mengancam kamu. Dia punya koneksi yang bisa membuat hidupmu rumit."
"Biarkan dia coba."
Senyum tipis di bibir Doni, tapi rahangnya masih sedikit tegang dari adrenalin yang belum sepenuhnya reda.
"Aku sudah lewati hal yang lebih buruk dari ancamannya. Api dapur lebih jujur daripada orang seperti dia."
Naira tersenyum kecil, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran yang belum hilang.
"Pisau itu..."
"Aku tahu."
Doni mengusap punggung tangannya dengan ibu jari, gerakan kecil dan berulang yang menenangkan.
"Kamu tidak bermaksud menyakiti diri sendiri. Itu refleks. Perlindungan terakhir."
"Aku bahkan tidak sadar aku mengambilnya."
Air matanya jatuh lagi, panas di pipi yang sudah basah.
"Aku cuma ingat suaranya di depan pintu, dan tiba-tiba aku di pojok, dan ada pisau di tangan. Seperti tubuhku bergerak sendiri."
"Trauma bekerja seperti itu. Tubuh bereaksi sebelum pikiran sempat mengejar."
Doni tidak melepaskan tatapannya, mata cokelat gelapnya penuh dengan sesuatu yang Naira tidak bisa beri nama tapi membuatnya merasa aman.
"Yang penting, kamu aman sekarang. Dan kamu tadi berhasil melewati kejadian itu. Itu bukan hal kecil."
Naira menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Aku tidak mau terus begini. Tidak mau terus jadi orang yang ketakutan, yang bersembunyi di pojok dengan pisau."
"Kalau begitu mari kita ubah itu. Perlahan."
Doni menarik kursinya lebih dekat, kakinya hampir menyentuh kaki Naira.
"Pernyataan tadi itu langkah pertama. Kamu ambil kembali suaramu. Kamu ceritakan versimu."
"Tapi cuma pernyataan. Kata-kata."
Naira menatap laptop yang sudah ditutup Ratna, layar hitam yang memantulkan wajahnya sendiri, pucat dan lelah.
"Aku mau lebih dari itu. Aku mau... aku mau dia tidak bisa lakukan ini lagi. Ke aku, atau ke orang lain."
"Kamu mau laporkan dia?"
Naira terdiam.
Pertanyaan itu menggantung berat di antara mereka. Udara terasa semakin padat.
"Aku tidak tahu. Aku takut. Takut proses hukumnya. Takut semua orang tahu detail lukaku. Takut dia balik menyerang."
"Semua ketakutan itu valid."
Doni tidak mencoba meyakinkan atau mendorong. Suaranya tetap netral, tidak menghakimi.
"Tapi kamu tidak harus putuskan sekarang. Napas dulu. Makan. Istirahat. Keputusan besar tidak harus diambil di hari yang sama kamu baru saja mengalami trauma."
Naira mengangguk perlahan.
"Kamu benar. Aku cuma... aku capek merasa tidak berdaya."
"Kamu menang hari ini."
Kata Doni tegas, dengan keyakinan yang tidak bisa dibantah.
"Mungkin tidak terasa begitu, tapi kamu menang. Kamu tidak keluar dan memberi dia apa yang dia mau. Kamu tetap di dalam, tetap aman, dan kamu buat pernyataan dengan syarat kamu sendiri. Itu kemenangan."
"Kemenangan kecil."
"Semua kemenangan dimulai dari yang kecil."
Doni berdiri, berjalan ke kompor. Tangannya bergerak otomatis, familiar di antara alat-alat dapur.
"Sekarang, aku mau kamu makan. Aku buat sesuatu yang ringan tapi mengenyangkan. Bubur ayam Hainan, yang lembut dan hangat. Comfort food."
"Aku tidak yakin bisa makan."
"Coba saja. Beberapa suap. Tubuhmu butuh energi setelah trauma tadi."
Tangannya sudah bergerak dengan familiar di dapur. Pisau- pisau dapur yang berbeda, yang aman memotong jahe tipis-tipis. Aroma tajam dan segar mulai memenuhi ruangan, mengusir sisa-sisa ketegangan.
"Dan sambil aku masak, kamu boleh diam, boleh cerita, boleh nangis. Apa pun yang kamu butuh."
Naira memperhatikan Doni bergerak.
Ada ritme yang menenangkan dari cara tangannya memotong jahe dan bawang putih dengan presisi. Suara tuk-tuk-tuk pisau di talenan kayu, stabil dan teratur. Cara dia mengaduk kaldu dengan sabar, sesekali mencicipi dengan sendok kayu, menambahkan sedikit garam.
Bawang putih ditumis hingga harum, bunyi desis lembut di wajan. Jahe dimasukkan, aromanya menghangatkan udara, pedas tapi menenangkan. Kaldu ayam dituang, uap naik membawa kehangatan ke seluruh ruangan. Doni menambahkan nasi yang sudah disiapkan, mengaduknya perlahan hingga teksturnya lembut, nyaris menyatu dengan kaldu. Sesekali ia tambahkan sedikit garam, sedikit merica putih, mencicipi lagi, menyesuaikan.
"Doni," panggilnya pelan.
"Ya?"
"Aku senang kamu di sini."
Doni menoleh, tersenyum lembut. Senyum yang sampai ke mata, yang membuat sudut matanya berkerut sedikit.
"Aku juga senang aku di sini. Dan aku tidak akan ke mana-mana."
Mereka menghabiskan sisa pagi dalam keheningan yang nyaman. Doni memasak, Naira duduk dan perlahan merasakan dunianya kembali stabil. Aroma jahe, bawang putih, dan kaldu ayam memenuhi dapur, hangat, familiar, seperti pelukan yang tidak terlihat. Uap dari panci membawa kehangatan ke seluruh ruangan, mengusir dingin yang tersisa dari pagi yang mengerikan itu.
Saat bubur sudah siap, Doni menyajikannya dengan cakwe renyah yang baru digoreng, masih hangat dan garing di luar. Irisan daun bawang segar yang hijau cerah ditabur di atas, warna yang hidup dan menenangkan. Sedikit kecap asin di sisi, dan sesendok minyak wijen yang harum. Sederhana, tapi dibuat dengan perhatian penuh.
Naira makan perlahan.
Setiap suap terasa seperti mengembalikan bagian dirinya yang hilang tadi pagi. Hangat. Lembut. Aman. Tekstur bubur yang creamy di lidah, rasa jahe yang menghangatkan tenggorokan tanpa terlalu pedas, cakwe yang renyah memberikan kontras sempurna. Daun bawang segar memberi warna rasa yang ringan.
"Ini enak," bisiknya setelah beberapa suap. "Terima kasih."
"Terima kasih juga karena mau mencoba."
Doni duduk di seberangnya dengan mangkuk sendiri, makan dengan tenang.
"Kamu tadi bilang capek merasa tidak berdaya. Aku mengerti itu. Tapi Naira, kamu tidak tidak berdaya. Kamu ambil keputusan hari ini. Kamu buat pernyataan. Kamu memilih untuk tidak diam. Itu kekuatan."
"Terasa kecil."
"Tapi nyata."
Doni menatapnya, sendok berhenti di tengah jalan ke mulut.
"Dan aku percaya kamu. Aku percaya kalau kamu bisa lewati ini. Bahkan di saat kamu belum percaya diri sendiri."
Naira menatapnya lama. Air mata kembali berkumpul tapi kali ini bukan dari ketakutan. Sesuatu yang lebih hangat, lebih lembut.
"Bagaimana kamu selalu tahu harus bilang apa?"
"Aku tidak selalu tahu. Aku cuma... peduli. Dan kadang itu cukup."
Mereka menghabiskan bubur dalam keheningan yang hangat. Sendok menyentuh mangkuk keramik dengan bunyi lembut. Sesekali Naira menyeruput air putih. Sesekali Doni menambahkan daun bawang ke mangkuknya. Dunia di luar mungkin siap menilai, media mungkin akan berspekulasi, dan Rendra mungkin akan mencoba lagi.
Tapi di ruang kecil itu, di dapur yang dipenuhi aroma jahe dan kehangatan, hanya ada dua orang yang mencoba bertahan.
Dan untuk pagi itu, rasa aman yang sederhana sudah lebih dari cukup.
Tapi untuk pertama kalinya sejak Rendra datang pagi itu, Naira merasa mungkin dia bisa melewati ini.
Tidak sendiri.
Bersama Doni.
...---•---...
...Bersambung...