Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Bayangan yang Diam-Diam Tumbuh"
Perut Luna kini tak lagi bisa disembunyikan oleh baju longgar. Lengkungnya jelas, bulat, dan nyata—tanda bahwa kehidupan di dalamnya terus bertumbuh dengan ritme yang pasti. Setiap pagi, ia berdiri di depan cermin lebih lama dari biasanya, mengusap perutnya dengan gerakan refleks, seolah ingin memastikan semuanya baik-baik saja.
“Aku mulai berat,” gumamnya suatu pagi.
Nathan yang sedang mengancingkan kemeja tersenyum. “Berat karena cinta,” katanya ringan.
Luna tertawa kecil. “Jawaban aman.”
Namun di balik canda-canda kecil itu, ada sesuatu yang perlahan berubah—bukan pada Luna, melainkan pada Nathan.
Awalnya nyaris tak terasa.
Nathan mulai lebih sering mengeluh lelah. Bukan lelah biasa setelah bekerja, tetapi kelelahan yang menetap bahkan setelah tidur cukup. Ia masih berfungsi seperti biasa—mengantar Amara, membantu Luna, bekerja—namun ada jeda-jeda kecil di antara aktivitasnya. Duduk lebih lama. Diam lebih sering.
“Papa sering capek?” tanya Amara suatu sore ketika Nathan memilih duduk di sofa alih-alih bermain.
“Sedikit,” jawab Nathan sambil tersenyum. “Tidak apa-apa.”
Luna memperhatikan dari kejauhan. Nalurinya—yang kini terasa lebih tajam sejak hamil—menangkap sesuatu yang ganjil. Nathan memang selalu menutupi kelelahan dengan senyum, tapi kali ini berbeda. Ada pucat samar di wajahnya. Ada cara ia menahan napas saat berdiri terlalu cepat.
“Kamu sakit?” tanya Luna suatu malam saat mereka bersiap tidur.
Nathan menggeleng cepat. “Enggak. Mungkin kurang olahraga.”
Luna mengernyit. “Kamu jarang ngeluh.”
Nathan berbaring, menatap langit-langit. “Aku cuma tidak mau kamu khawatir.”
Itu justru membuat Luna semakin khawatir.
Hari-hari berikutnya membawa gejala-gejala kecil yang berdiri sendiri, seolah tidak saling berkaitan—namun terasa salah jika disatukan. Nathan beberapa kali kehilangan nafsu makan. Kopi favoritnya dibiarkan dingin. Ia berkeringat lebih mudah, bahkan saat udara tidak panas. Sesekali ia memijat leher atau punggungnya, seolah ada pegal yang tidak pergi.
“Kamu mau periksa?” tanya Luna pelan suatu sore.
Nathan tersenyum, sedikit dipaksakan. “Nanti saja. Mungkin cuma masuk angin berkepanjangan.”
Luna tidak membantah. Ia tahu Nathan—jika ditekan, ia justru akan menutup diri. Tapi kegelisahan itu tinggal, mengendap di dadanya.
Sementara itu, tubuh Luna sendiri membawa tantangan baru. Ia mulai sulit tidur telentang, mudah sesak jika terlalu lama berdiri, dan emosinya masih naik turun meski tidak sekuat beberapa minggu lalu. Namun ia merasa kuat—lebih kuat dari yang ia kira.
Yang membuatnya gelisah justru Nathan.
Suatu malam, Luna terbangun dan mendapati sisi ranjang kosong. Ia bangkit perlahan dan menemukan Nathan duduk di dapur, lampu redup menyala, segelas air di tangannya.
“Kamu kenapa?” tanyanya cemas.
Nathan menoleh, terkejut kecil. “Aku bangunin kamu?”
Luna menggeleng, mendekat. “Kamu sakit?”
Nathan menghela napas panjang. “Aku cuma… pusing sedikit. Tadi bangun, rasanya tidak enak badan.”
“Sudah berapa lama?” suara Luna melembut, tapi matanya tajam.
Nathan ragu sejenak. “Beberapa minggu.”
Beberapa minggu.
Kata itu menggantung di udara.
“Kita ke dokter,” kata Luna tegas, bukan sebagai permintaan.
Nathan tersenyum tipis. “Setelah kamu kontrol berikutnya. Aku tidak mau jadwal kamu terganggu.”
Luna menatapnya lama. “Nathan, kamu juga penting.”
Ia tidak menjawab. Hanya meraih tangan Luna dan menggenggamnya, seperti biasa—namun kali ini genggamannya terasa sedikit lebih lemah.
Hari itu, Nathan tetap berangkat kerja. Luna mencoba menenangkan diri, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa mungkin ini hanya kelelahan, stres, atau daya tahan tubuh yang menurun. Namun bayangan-bayangan kecil terus muncul: cara Nathan menutup mata lebih lama dari biasanya, cara ia menarik napas dalam-dalam sebelum naik tangga.
Amara pun mulai bertanya.
“Papa kenapa sering duduk?” tanyanya polos.
Luna tersenyum. “Papa lagi capek.”
Amara mengangguk, lalu mengambil selimut kecil dan menutupkannya ke bahu Nathan sore itu. “Biar Papa hangat.”
Nathan tertawa kecil. “Terima kasih, Kakak.”
Luna menahan napas. Kata *Kakak* kini terasa lebih berat—dan lebih bermakna.
Malam itu, saat mereka berbaring, Luna memecah keheningan.
“Aku takut,” katanya jujur.
Nathan menoleh. “Tentang apa?”
“Kamu,” jawab Luna tanpa ragu. “Aku hamil, iya. Tapi kamu juga pasanganku. Aku tidak bisa tenang kalau kamu mengabaikan tubuhmu sendiri.”
Nathan menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku janji… aku akan periksa. Segera.”
Itu bukan jawaban pasti, tapi cukup untuk membuat Luna bernapas sedikit lebih lega.
Di dalam dirinya, Luna merasakan dua kehidupan yang sama-sama perlu dijaga: satu yang tumbuh di rahimnya, dan satu yang berdiri di sampingnya—lelaki yang selama ini menjadi penopang, kini menunjukkan tanda-tanda rapuh yang tak biasa.
Ia belum tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada diagnosis. Tidak ada kata besar yang terucap. Hanya gejala-gejala samar yang berbisik pelan, meminta untuk diperhatikan.
Dan Luna—dengan perut yang semakin membesar dan hati yang semakin waspada—tahu bahwa perjalanan ini akan memasuki babak baru. Bukan hanya tentang menanti kelahiran, tetapi tentang menghadapi ketidakpastian dengan keberanian yang sama.
Ia menggenggam tangan Nathan lebih erat malam itu.
Apa pun yang datang, pikirnya, mereka akan menghadapinya bersama.