NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pria yang Aku Yakini Adalah Karma Berjalan (Bagian 2)

“Kita bisa periksa CCTV, dan gue yakin itu fitnah. Gue bahkan rela bikin rapat investigasi! Gue akan cari data. Gue akan…bikin laporan! Gue…gue—”

Aku langsung berdiri. Dada menegak. Ini waktunya aku tunjukan bahwa diriku bukan wanita cabul yang suka menyentuh bokong orang di ruang publik.

“Felix,” kataku dengan nada penuh kehormatan dan dendam martabat.

“Gue memaafkan semua yang membuat gue trauma dalam dunia perjodohan. Tapi ini…ini soal harga diri. Ini soal… kebenaran hidup. Gue gak mau image gue yang murni dan polos ini tercemar hanya karena kesalahpahaman.”

Dia menaikkan alis. “Lo ngomong kayak lagi debat Capres.”

Aku tak gentar. Ku ambil nafas panjang, lalu melirik ke belakang. Dan semesta memang punya kebasurdan sendiri, karena di dalam café itu, tepat di pojok ruang semi-private, ada papan tulis putih ukuran sedang dengan spidol warna-warni.

GAME ON.

Aku menyeret papan tulis ke depan mejanya, seperti guru honorer penuh tekad dan dendam masa lalu. “Baik, Pak Felix. Mari kita telaah bersama,” kataku, membuka tutup spidol merah dengan gerakan dramatis.

“Aku menyebutnya: Operasi Pembebasan Nama Baik Meisya.”

Dia duduk tegap sekarang, keningnya berkerut tapi ada wajah penasaran yang terlintas. Atau mungkin takut.

Kutarik garis besar, gambar stickman, lokasi perempatan, arah datangnya motor dan posisiku sebagai wanita innocent yang kebetulan terjebak dalam kekacauan teknologi bluetooth.

“Posisi gue di belakang lo. Iya. Tapi ini bukan niat! Ini cuma kebetulan yang di buat oleh semesta. Dan Rahma— teman gue yang absurd dan tidak tahu batas—ngirimin gue video iklan kolor dengan nada ‘KEVIN KLEIINN’. Suara itu nyambung ke headset wireless gue. Gue panik. Gue reflek, dan videonya ke zoom in. lo ngeliat…”

Aku menirukan adegan itu. Persis. Termasuk ekspresi beku saat ditatap dingin olehnya dijalan. Bahkan aku menunjukan pesan video kolor yang di kirim Rahma itu kepadanya.

Felix mencoba menahan senyum. Tapi matanya…matanya tak setegas bibirnya. Ada yang goyah.

Aku lanjut dengan spidol biru. “Kemudian, kronologi toko buku. Gue lagi niat beli buku filsafat untuk…pencitraan intelektual di Instagram. Tanpa sengaja gue mungut buku ‘The Art of Pleasure’ yang—YES! berjudul ambigu, tapi gue gak tahu!”

“Bisa jadi dua insiden ini terlihat seperti satu pola,” aku melanjutkan menunjuk ke diagram korelasi di papan, “tapi itu adalah kebetulan kosmik! Dunia lagi ngerjain gue!”

Felix kini duduk condong ke depan, menyandarkan dagunya di tangan. Wajahnya tetap datar, tapi ada kelenturan. Kayak es batu yang mulai lembab.

“Meisya…” katanya pelan.

“Ya?”

“Kamu serius bikin presentasi biar gue gak salah paham?”

Aku mendongak penuh martabat. “Dengan seluruh sel tubuh gue.”

Dia menggangguk pelan. “Lo…aneh.”

“Bukan aneh. Gue…berusaha membela kehormatan terakhir gue.”

Felix tertawa. Satu detik. Lalu kembali ke ekspresi es krim yang baru keluar freezer. Tapi aku menangkap itu. Ada retakan di dinginnya.

Felix berdiri. Mengulurkan tangannya. “Boleh gue lihat ponsel lo?”

Aku reflex narik ke belakang. “Kenapa? Lo mau lihat history Youtube-gue?”

Dia mengangkat alis. “Mau masukin nomor WA-gue.”

Aku…jujur… kaget. “Buat—?”

“Kalau lo butuh bantuan hukum. Atau kalau someday lo cabul beneran, biar gue yang urus,” jawabnya datar.

“HAH?!”

Aku mau lempar spidol ke mukanya tapi…terlalu tampan untuk itu.

“Gue serius. Sebagai bentuk permintaan maaf gue.”

“Lo—gak lagi ngubah kencan buta absurd ini jadi kencan buta beneran kan? Udah telat soalnya.”

Aku menyipitkan mataku dan berpose seolah-olah aku adalah jaksa penuntut umum dalam persidangan tabrak lari kucing.

“Menurut lo?” jawabnya datar tapi tangannya masih di udara.

Aku letakkan ponselku ke atas tangannya. Dia mengetik di layar. Lalu mengambil ponselnya dari celana.

“Lo juga dosen kayak Pedro?”

Dia mengangkat kepala.

“Gue kerja di perusahaan pengembangan game online.”

Dia mengembalikan ponselnya kepadaku. Dan memperlihatkan layar ponselnya yang bertulisan ‘Meisya (Si absurd)’.

“Jangan!!” aku merebut ponselnya. Ku ganti nama di ponsel itu jadi “Meisya (wanita polos yang tidak cabul)”. Kuberi emoji bintang berkilau sebagai bentuk simbolisasi perdamaian.

Felix menerima ponselnya, membaca nama itu, dan…lagi-lagi, aku menangkap senyum setengah detik di bibirnya.

“Baiklah, Nona Meisya yang tidak cabul,” katanya, berdiri sambil merapikan jas, “gue akan menyampaikan ke Pedro kalau lo…setidaknya cukup berdedikasi untuk membela diri.”

Aku menatap papan tulis yang penuh dengan diagram, panah dan stickman telanjang. “Kalau dia butuh bukti visual, gue bisa bikin ulang rekaman CCTV.”

Felix tertawa kecil. “Lo punya banyak waktu kosong, ya?”

“Gue cuma punya prinsip.”

Lalu dia melangkah pergi. Tapi aku hentikan.

“Ngomong-ngomong gue bukan pasangan kencan lo originally, gue juga gantiin Mbak gue. Jadi tolong sampaikan juga, ya.”

Diam terdiam sebentar. Lalu mengangguk. Kemudian kembali melangkah.

Dan aku…berdiri sendiri di tengah café, di depan papan tulis yang jadi saksi bahwa kadang… kehormatan wanita 30 tahun harus di perjuangkan lewat spidol dan gaya debat seperti presentasi tugas akhir.

Aku sampai dirumah dengan seluruh energi ekstrovertku yang sudah terkuras. Setelah mengganti pakaian dengan piyama alpaca, rambut diikat acak, tangan masih pegang boba ukuran family pack yang aku beli pas jalan pulang.

Aku menelpon Rahma via video call, wajah masih geram tapi juga capek. Di belakangku papan tulis mini terbentang—masih ada gambar stickman dan tulisan ‘BUKAN CABUL’.

Papan itu aku bawa pulang karena Mas barista di café menyuruhku untuk membawa papan yang sudah aku coret-coret itu. Katanya itu adalah barang yang gak ada pemilik.

Telpon tersambung dan Rahma di layar, sambil makan keripik singkong.

Rahma: “HALO wanita penuh harga diri dan penuh keterkejutan. Lo kenapa? Muka lo kayak habis debat sama Menteri Pertahanan.”

Aku menarik nafas panjang.

Aku: “Ma, lo nggak ngerti. Hari ini… gue… presentasi!”

Rahma: “Lo nyari kerja lagi?”

Aku: “Enggak! Gue habis presentasi buat nyelametin reputasi bokong orang!”

Rahma berhenti mengunyah.

Rahma: “…. Excuse me what?”

Aku: “Lo ingat cowok dingin yang manggil gue cabul di perempatan?”

Rahma: “Oh, si ‘Ice Prince’ yang liat lo nonton iklan kolor itu?”

Aku: “YESS dia! Lo tau nggak, ternyata…DIA JADI PASANGAN KENCAN BUTA GUE HARI INI!”

Rahma langsung jungkir di kasur sambil ketawa guling-guling.

Rahma: “HAH? KITA NGGAK LAGI DI DRAMA KOREA KAN? SIAPA SIH YANG NULIS SKRIP HIDUP LO? SHONEN JUMP?!”

Aku: “GUE JUGA PENGEN NANYA ITU! Nih, lo liat.”

Aku mengarahkan kamera ke papan tulis.

Aku: “Gue… pake papan tulis café. Buat reka ulang adegan. DARI POSISI GUE DI BELAKANG DIA. Sampai ke Gerakan refleks ngangkat HP. Zoom in. Dan posisi iklan kolor muncul.”

Rahma melotot.

Rahma: “LO BIKIN TIMELINE REKA ADEGAN DI DEPAN DIA?! MEISYA??!”

Aku teriak setengah bangga, setengah desperate.

Aku: “IYA!!! Pake SPIDOL MERAH dan SPIDOL BIRU!! Gue bahkan kasih nama projectnya: Operasi Pembebasan Nama Baik Meisya!”

Dia nyekik panas di seberang.

Rahma: “Meisya… Ya Tuhan… lo… lo tuh anugerah dunia absurd. Lo nggak bisa diem dikit aja ya kayak cewek normal? Orang gila mana yang reka adegan pelecehan seksual dengan cowok dingin nan cakep di tengah café?”

Aku: “Ini soal HARGA DIRI, RAHMA. Lo bayangin, gue di fitnah! Nyentuh bokong?! Diumur gue yang 30 ini?! Mana gue masih POLOS, masih SUCI, masih… masih—”

Rahma memotongku, sambil ngakak keras.

Rahma: “—Masih sering nonton iklan kolor dari gue, tuh?”

Aku: “ITU KARENA LO!! GUE KAYAK BERADA DI NERAKA GARA-GARA VIDEO SIALAN ITU! Lo tuh toxic dalam pertemanan ini, tau nggak?!”

Rahma: “Bilang dong dari dulu kalo lo mau gue kirimin iklan celana formal pria aja. Yang gak ada slomo ketek sama bisep mantulnya.”

Aku: “RAHMA!!” (dengan muka yang udah memerah).

Rahma: “Tapi sumpah ya, gue bangga sama lo. Lo… nggak cuma bertahan di dunia kencan yang absurd. Lo bahkan bikin kurikulumnya.

Aku melengos sambil sedot boba dengan semangat tertekan.

Aku: “Apa yang bisa di banggakan dari kehidupan yang melelahkan ini. Gue tuh cuma pengen hidup damai, Ma. Di rumah. Sama taneman hias. Sama buku-buku palsu buat pencitraan. Sama kucing meskipun gak gue pelihara. Tapi hidup tuh… NGGAK BERHENTI NGELAWAK.”

Rahma: “Gue saranin lo mulai nulis buku sih. Judulnya ‘Menyelamatkan Harga Diri Lewat Whiteboard dan air mata.”

Aku: “Atau ‘Dari Kencan Buta ke Tuduhan Cabul: Sebuah Memoar Wanita Lemah Tapi Keras Kepala.”

Rahma tertawa sambil angkat gelas keripik.

Rahma: “To Meisya. Wanita absurd, sensitive, dramatis tapi setia pada prinsip. Bahkan prinsip untuk mempertahankan harga diri dari tuduhan cabul.”

Dia mengangkat gelas minumnya.

Aku: “Gue… wanita baik-baik, Ma…”

Rahma: “Iya, sayang. Dan lo satu-satunya orang yang pernah pakai papan tulis buat bilang, ‘GUE NGGAK NYENTUH BOKONG LO’ secara akademis.”

Aku menjawab sambil tersedu pelan layaknya seorang victim.

Aku: “Gue cuma pengen dianggap normal.”

Rahma: “Udah telat, Meisya. Tapi ngak apa-apa. Gue tetap sayang lo kok.”

Aku: (Dengan senyum pahit), “Thanks ya, Ma. Lo satu-satunya yang suka ngeledekin gue tapi tetap setia denger keluh kesah gue. Dan yang pasti lo nggak nuduh gue cabul.”

Rahma: “Belum aja sih. Tapi gue simpen video cerita rekontruksi lo buat konten gue ya. Barangkali bisa viral. Judulnya: ‘Cewek 30 Tahun Berjuang Membersihkan Nama Baik di Hadapan Cowok Dingin—pakai spidol warna’.”

Aku: “Rahma… gue unfriend lo sekarang.”

Rahma: “LO GAK BISA. GUE UDAH IKAT JIWA LO DI KONTRAK KITA PAKAI SLEMOT.”

Aku menggelengkan kepala tapi ikut tertawa bersamanya. Kami kayak bocah 12 tahun yang nyasar ke dunia dewasa tapi masih bertahan dengan gaya sendiri.

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!