NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Manuver Protokol

Kata-kata itu mendarat di keheningan ruangan seperti batu yang dilempar ke danau beku. Retakannya menyebar dengan cepat, tak terlihat, tetapi merusak fondasi di bawahnya. Kemenangan beracun di wajah Yi Seon memudar sepersekian detik setelah kata-kata itu keluar, digantikan oleh kilatan penyesalan yang tajam. Ia telah mengatakan terlalu banyak. Amarahnya, harga dirinya yang terluka, telah membuatnya membuka mulut lebih lebar dari yang seharusnya.

Hwa-young tidak bergerak. Ia membiarkan informasi itu meresap, mengalir ke setiap sudut pikirannya yang kosong. Bukan Sayap Barat. Tentu saja bukan. Itu terlalu jelas, terlalu mudah. Matriarch Kang tidak akan pernah sebodoh itu. Jurnal-jurnal ibunya, peninggalan paling berbahaya dari seorang ratu yang mereka hancurkan, berada di jantung sarang ular itu sendiri. Di bawah pengawasan langsung orang kepercayaan Matriarch.

Ia menundukkan kepalanya, membiarkan rambutnya menutupi ekspresinya. Ia tidak boleh membiarkan Yi Seon melihat kilat kemenangan di matanya. Ia harus terlihat hancur, kalah.

“Jadi ... semuanya hanya permainan,” bisiknya,  sengaja dibuat rapuh. “Nenek Anda mempermainkan saya. Dan Anda ... Anda menikmatinya.”

Yi Seon berdeham, posturnya kembali kaku dan defensif. “Aku hanya memberitahumu kebenaran. Berhentilah mengejar hantu. Itu tidak akan membawamu ke mana-mana selain ke kuburan yang lebih awal.”

“Mungkin Anda benar,” kata Hwa-young pelan. Ia berjalan menjauh, kembali ke sisi ruangannya, menciptakan jarak fisik di antara mereka. Ia duduk di depan meja riasnya, menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin perunggu. Ia tampak seperti wanita yang kalah. Sempurna.

Di belakangnya, Yi Seon tidak mengatakan apa-apa lagi. Keheningan yang canggung kembali menyelimuti mereka. Ia mungkin mengira telah memenangkan pertarungan malam ini, telah memadamkan api pemberontakan kecil istrinya dengan air dingin kenyataan.

Ia salah besar.

Ia tidak memadamkan apinya. Ia baru saja menuangkan minyak ke dalamnya.

Dua hari berlalu dalam ketegangan yang hampir tak tertahankan. Hwa-young dan Yi Seon hidup di ruangan yang sama seperti dua negara yang sedang berperang dingin. Mereka bergerak di sekitar satu sama lain dengan presisi yang diperhitungkan, tidak pernah berbicara kecuali untuk hal-hal yang paling sepele. Hwa-young memainkan perannya dengan sempurna. Ia tampak murung, pasrah, menghabiskan waktunya dengan menyulam atau membaca teks-teks kuno yang membosankan.

Yi Seon mengamatinya. Hwa-young bisa merasakan tatapannya saat ia membaca, saat ia makan, bahkan saat ia mencoba tidur di balik partisi tipis. Pria itu seperti elang yang bertengger, menunggu gerakan yang salah.

Pada pagi hari ketiga, Hwa-young meletakkan buku yang sedang dibacanya. Ia berdiri dengan gerakan yang anggun dan disengaja.

“Aku akan keluar,” katanya,  datar.

Yi Seon, yang sedang memeriksa gulungan peta di mejanya, mengangkat kepala. “Ke mana?”

“Ke Paviliun Administrasi Pusat,” jawab Hwa-young tenang. “Ada urusan yang harus kuselesaikan.”

Alis Yi Seon terangkat. “Urusan apa?”

“Urusan Putri Mahkota,” balas Hwa-young, nadanya tidak mengizinkan perdebatan lebih lanjut. Ia berjalan ke pintu. “Jenderal Kim bisa mengawalku. Sesuai perintah Anda.”

Yi Seon menatapnya sejenak, matanya menyipit, mencoba membaca niat di balik wajahnya yang tanpa ekspresi. Akhirnya, ia mengangguk singkat. “Lakukan sesukamu. Tapi ingat, Jenderal Kim tidak akan lepas dari sisimu.”

“Aku mengandalkannya,” jawab Hwa-young sebelum melangkah keluar.

Jenderal Kim sudah berdiri di koridor, tegap seperti biasa. Ia membungkuk saat Hwa-young muncul.

“Ke Paviliun Administrasi, Jenderal,” kata Hwa-young.

Tanpa bertanya, Jenderal Kim berbalik dan memimpin jalan. Hwa-young mengikutinya, langkahnya mantap. Ini adalah pertaruhan terbesarnya sejauh ini. Menyelinap adalah taktik seorang pencuri. Ia bukan pencuri. Ia adalah Putri Mahkota. Sudah waktunya ia bertindak seperti itu.

Kantor Kepala Sekretaris Kang terletak di jantung Paviliun Administrasi. Tempat itu sibuk, dipenuhi para pejabat dan juru tulis yang berlalu-lalang dengan wajah serius. Namun, saat Hwa-young masuk diiringi Jenderal Kim, semua aktivitas seolah berhenti. Bisikan-bisikan senyap menyebar seperti api di rumput kering.

Hwa-young mengabaikan mereka. Ia berjalan lurus ke meja seorang juru tulis senior.

“Saya ingin bertemu dengan Kepala Sekretaris Kang,” katanya dengan suara yang jelas dan berwibawa.

Juru tulis itu, seorang pria paruh baya dengan wajah pias, tampak tergagap. “Yang Mulia Putri Mahkota ... Kepala Sekretaris sedang ... sibuk.”

“Sekarang ia tidak lagi sibuk,” potong Hwa-young dingin. “Katakan padanya Putri Mahkota menunggunya. Ini menyangkut aset mendiang Ratu.”

Penyebutan Ratu sebelumnya membuat wajah juru tulis itu semakin pucat. Ia bergegas masuk ke dalam kantor pribadi di belakangnya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan seorang pria berusia akhir empat puluhan dengan jubah sutra abu-abu yang mahal melangkah keluar. Wajahnya kurus, dengan mata kecil yang tajam dan senyum tipis yang tidak mencapai matanya. Ini adalah Kang Jin-woo, sepupu jauh Matriarch Kang dan salah satu pionnya yang paling kuat di birokrasi istana.

“Yang Mulia Putri Mahkota,” sapanya dengan nada yang mengandung sedikit cemoohan, seolah terkejut melihat Hwa-young di wilayahnya. “Sebuah kehormatan yang tak terduga. Apa yang membawa Anda ke sudut istana yang berdebu ini?”

“Saya di sini untuk urusan resmi, Sekretaris Kang,” jawab Hwa-young, menatap lurus ke matanya. “Saya datang untuk mengajukan permintaan formal.”

“Permintaan?” Kang Jin-woo tertawa kecil. “Silakan, Yang Mulia. Saya siap mendengarkan.”

“Sesuai dengan Hukum Waris Kekaisaran, Pasal Dua Belas, Ayat Tiga,” Hwa-young memulai,  bergema di aula yang kini senyap total. “Barang-barang itu sekarang menjadi properti mahkota, bukan properti pribadi.”

“Penyelidikan yang tidak pernah menghasilkan dakwaan apa pun dan ditutup secara diam-diam?” tantang Hwa-young. “Sebuah penyelidikan yang bertujuan untuk menghancurkan reputasi seorang wanita yang sudah meninggal? Saya tahu persis apa status barang-barang itu, Sekretaris. Dan statusnya adalah ‘disimpan tanpa batas waktu’ di bawah yurisdiksi Anda untuk memastikan tidak ada yang pernah melihatnya lagi.”

Kang Jin-woo tampak terkejut dengan keberanian Hwa-young. “Anda menuduh kantor saya melakukan pelanggaran?”

“Saya tidak menuduh. Saya menyatakan fakta,” kata Hwa-young. “Sekarang, saya ulangi permintaan saya. Saya ingin akses segera ke brankas penyimpanan tempat Anda menyimpan barang-barang ibu saya. Saya ingin memulai proses inventarisasi hari ini.”

“Tidak mungkin,” desis Kang Jin-woo, topeng keramahannya benar-benar lenyap. “Akses ke arsip tersebut memerlukan otorisasi dari tingkat tertinggi. Atas perintah langsung dari Ibu Suri, tidak ada seorang pun yang diizinkan mendekati catatan-catatan itu.”

“Ibu Suri tidak berkuasa atas hukum waris kekaisaran,” balas Hwa-young,  semakin keras. “Posisi beliau tidak memberinya hak untuk menahan properti pribadi milik saya.”

“Posisi beliau memberinya hak untuk melakukan apa pun yang beliau anggap perlu demi stabilitas istana!” bentak Kang Jin-woo. Ia jelas merasa di atas angin. Siapa Hwa-young dibandingkan Matriarch Kang? “Permintaan Anda ditolak, Yang Mulia. Sekarang, jika Anda tidak keberatan, saya punya pekerjaan yang harus dilakukan.”

Ia hendak berbalik, menganggap percakapan itu selesai.

“Kalau begitu, Anda tidak memberi saya pilihan lain,” kata Hwa-young,  kini tenang dengan cara yang mengerikan.

Kang Jin-woo berhenti, menoleh sedikit. “Pilihan apa?”

“Pilihan untuk membawa masalah ini langsung ke hadapan satu-satunya orang yang otoritasnya melampaui Ibu Suri,” kata Hwa-young pelan, tetapi setiap kata terdengar jelas di keheningan itu. “Saya akan meminta audiensi pribadi dengan Yang Mulia Kaisar.”

Napas semua orang di ruangan itu tertahan. Menyebut nama Kaisar dalam konteks ini sama saja dengan meledakkan bom. Kaisar mungkin lemah dan berada di bawah kendali Kang, tetapi ia tetaplah Kaisar. Memaksanya untuk membuat keputusan antara menantunya dan Keluarga Kang akan memicu krisis politik yang luar biasa.

Wajah Kang Jin-woo memucat, lalu memerah karena marah. “Anda ... Anda mengancam saya?”

“Saya tidak mengancam Anda, Sekretaris Kang,” jawab Hwa-young. “Saya hanya memberitahu Anda langkah saya selanjutnya. Saya yakin Yang Mulia Kaisar akan sangat tertarik untuk mengetahui mengapa hukum kekaisaran dilanggar secara terang-terangan di dalam istananya sendiri. Saya juga yakin dewan menteri akan sangat ingin menyelidiki mengapa aset mendiang Ratu ditahan secara ilegal oleh seorang sekretaris yang kesetiaannya tampaknya bukan pada takhta, melainkan pada keluarganya sendiri.”

Ini adalah gertakan pamungkas. Sebuah langkah yang bisa menghancurkannya atau memberinya kemenangan mutlak.

Kang Jin-woo kehilangan kata-kata. Ia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan yang terdampar. Ia tidak pernah menyangka Putri Mahkota yang penurut ini memiliki taring setajam ini. Ia melirik ke arah Jenderal Kim, seolah mencari dukungan, tetapi wajah sang jenderal tetap tanpa ekspresi.

“Ini ... ini konyol,” gagapnya. “Anda tidak akan berani.”

“Coba saja saya,” balas Hwa-young dingin.

Keheningan yang tegang mencekik ruangan itu. Kang Jin-woo berkeringat. Ia tahu jika Hwa-young benar-benar menghadap Kaisar, apa pun hasilnya, posisinya akan terguncang. Matriarch Kang akan murka karena ia membiarkan situasi ini lepas kendali.

Tepat saat ia akan meneriakkan perintah pada para penjaga untuk mengusir Hwa-young, sebuah suara tenang dan dingin memecah kebuntuan dari arah pintu masuk.

“Apa yang terjadi di sini?”

Semua orang berbalik. Yi Seon berdiri di ambang pintu, tangannya tergenggam di belakang punggung. Wajahnya adalah topeng ketenangan yang dingin, tetapi matanya mengamati pemandangan di depannya dengan intensitas yang tajam. Ia pasti mengikuti Hwa-young. Atau mungkin, ia tidak pernah benar-benar membiarkannya pergi tanpa pengawasannya sendiri.

Kang Jin-woo tampak lega sesaat. “Yang Mulia Pangeran Mahkota! Syukurlah Anda di sini. Putri Mahkota ... beliau membuat permintaan yang tidak masuk akal dan mengancam akan mengganggu ketenangan Yang Mulia Kaisar.”

Yi Seon berjalan perlahan ke tengah ruangan, matanya tidak pernah meninggalkan Hwa-young. “Permintaan apa yang begitu mengerikan?”

“Beliau menuntut akses ke arsip Ratu sebelumnya yang telah disegel!” lapor Kang Jin-woo, seolah mengadukan seorang anak nakal. “Saya sudah menjelaskan bahwa itu tidak mungkin, atas perintah Ibu Suri.”

Yi Seon berhenti di samping Hwa-young. Ia menatapnya lekat-lekat. “Benarkah itu?” tanyanya pelan.

“Saya hanya meminta apa yang menjadi hak saya menurut hukum, Yang Mulia,” jawab Hwa-young,  tetap mantap meskipun jantungnya berdebar seperti genderang perang. Ini adalah momen penentuan. Akankah suaminya memihak Keluarga Kang, seperti yang selalu ia lakukan?

Yi Seon terdiam untuk waktu yang terasa seperti selamanya. Ia menatap Hwa-young, lalu ke Kang Jin-woo yang tampak cemas, lalu kembali ke Hwa-young. Hwa-young bisa melihat roda gigi berputar di kepalanya. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam jurnal-jurnal itu. Tapi ia tahu Matriarch Kang sangat ingin menyembunyikannya. Dan ia tahu Hwa-young rela mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkannya. Rasa ingin tahunya, kebenciannya yang terpendam karena selalu dikecualikan dari lingkaran dalam kekuasaan Kang, kini berperang dengan kewajibannya sebagai cucu yang patuh.

Akhirnya, ia mengalihkan pandangannya dari Hwa-young dan menatap lurus ke arah Kang Jin-woo.

“Sekretaris Kang,” katanya,  sedingin es di musim dingin. “Apakah permintaan istri saya sesuai dengan Hukum Waris Kekaisaran?”

Kang Jin-woo tergagap. “Secara teknis ... ya, tapi situasinya rumit, Yang Mulia. Ada perintah dari…”

“Aku tidak bertanya tentang perintah,” potong Yi Seon, nadanya setajam pisau. “Aku bertanya tentang hukum. Apakah permintaannya sah?”

“…Ya, Yang Mulia,” aku Kang Jin-woo dengan enggan.

“Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu didiskusikan,” kata Yi Seon. Ia berbalik sedikit, menempatkan dirinya secara subtil di antara Hwa-young dan sang sekretaris, sebuah isyarat perlindungan yang tidak disengaja tapi kuat.

“Putri Mahkota adalah istriku. Serangan terhadap hak-hak hukumnya adalah serangan terhadap martabat Pangeran Mahkota.”

Ia menatap Kang Jin-woo dengan tatapan yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.

“Laksanakan perintahnya.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!