Di bawah cahaya rembulan buatan Mata Samara, terletak Negeri Samarasewu, kota sihir yang diatur oleh hukum yang kaku dan Dewan Lima Bintang yang elitis. Di sinilah Yusuf, seorang pemuda yang bukan penyihir, menjalani hidupnya sebagai Skriptor Bayangan—seorang ahli yang diam-diam menyalin, menerjemahkan, dan memalsukan mantera-mantera kuno untuk para penyihir malas dan pasar gelap. Keahliannya bukan merapal sihir, melainkan memahami arsitekturnya.
Kehidupan Yusuf yang berbahaya hancur ketika ia tertangkap basah oleh Penjaga Hukum Sihir saat sedang menyalin mantera pertahanan tingkat master yang sangat terlarang: Mantera Pagar Duri Nirwana. Dalam pelariannya, Yusuf terpaksa merapal mantera kabut murahan, sebuah tindakan yang langsung menjadikannya buronan.
Terjebak di Distrik Benang Kusut, Yusuf bertemu dengan Rumi, seorang makelar licik yang menawarkan jalan keluar. Namun, kebebasan datang dengan harga yang mengerikan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusup Nurhamid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pena, Perkasmen, dan Pemberat
Setelah berhasil memaksa Penjaga Dera keluar dari guanya dan kembali ke laut, Yusuf menyegel pintu masuk dengan mantera pertahanan barunya. Bukan perisai yang memantul, melainkan mantera yang ia namai Mantera Kebosanan Struktural. Itu adalah sebuah desain halus yang membuat dinding batu itu terasa sangat tidak menarik bagi siapa pun yang mencoba menyentuhnya, memicu rasa enggan dan kelelahan pada siapa pun yang berada di dekatnya. Mantera ini adalah buah pertama dari pengetahuannya yang baru.
Ia duduk di depan dua artefak yang kini menjadi fokus mutlak hidupnya: Mantera Asal (perkamen kosong yang berisi kode dasar sihir) dan Pena Kuningan (alat penulis yang diaktifkan oleh energi).
Yusuf menghabiskan hari-hari berikutnya dalam kondisi nyaris trance. Ia tidak hanya membaca perkamen itu; ia mengonsumsinya. Perkamen itu tidak berisi aksara, tetapi pola energi murni. Ketika Yusuf menyentuhnya, ia merasakan seolah-olah ia sedang menenggelamkan dirinya ke dalam fondasi dunia. Mantera Samarasewu, yang kaku dan terikat hukum, kini terlihat seperti dialek lokal dari bahasa yang jauh lebih besar. Yusuf menyadari mengapa para pendiri Samarasewu membuangnya: pengetahuan ini terlalu luas, terlalu bebas. Menguasainya berarti mengancam sistem yang telah mereka ciptakan.
Mantera Asal ini adalah Peta Realitas. Itu menunjukkan bagaimana angin di Veridia adalah Mantera Pergerakan Atmosfer yang merangkak, bagaimana air laut adalah Mantera Kepadatan Fluktuatif yang terus berubah. Yusuf, dengan mata Skriptornya, kini bisa melihat cetak biru kehidupan itu sendiri.
Peringatan dari Nenek Tula
Yusuf sedang tenggelam dalam Mantera Asal, jari-jarinya bergerak di udara menjiplak pola Kode Kestabilan Aether yang ia rasakan di dinding gua, ketika ia mendengar suara yang mengganggu fokusnya.
"Kau belum bisa menggunakannya," suara serak Nenek Tula bergema dari belakangnya.
Yusuf tersentak. Segel Kebosanan Strukturalnya masih utuh. "Bagaimana Anda—"
"Aku tidak masuk, Skriptor. Aku hanya mendengarkan fondasi pulau," jawabnya, suaranya kini terdengar tepat di belakang bahu Yusuf. Nenek Tula menyelinap masuk melalui celah sempit yang hanya ia ketahui, sebuah jalur tikus yang menembus jaringan sihir Yusuf. "Kau terlalu fokus pada Mata mantera, kau lupa pada Telinga-nya."
Nenek Tula mendekati meja batu tempat Pena Kuningan tergeletak. Pena itu berdenyut samar, memancarkan cahaya kristal kecil di ujungnya.
"Kotak Kenangan itu adalah harta karun," desis Nenek Tula, menyentuh Pena itu dengan ujung jarinya yang keriput, "tapi Pena dan perkamennya datang dengan biaya yang besar, Yusuf. Pena itu adalah alat yang serakah. Setiap huruf yang kau tulis menarik energi dari sekitarnya. Dan energi di sini adalah kekacauan yang seimbang."
Yusuf, yang kini lebih menghormati kebijaksanaan Tula, menunduk. "Aku merasakannya. Setiap kali aku menggunakannya, bahkan hanya untuk memperbaiki jaringan di gua ini, aku merasakan energi pulau sedikit terdistorsi."
"Tentu saja. Pena itu dirancang untuk lingkungan yang berlimpah dan teratur seperti Samarasewu, di mana energi dipompa ke mana-mana. Di sini, energi dihidupkan oleh kekacauan itu sendiri. Jika kau terlalu banyak menulis, kau akan membuat seluruh Veridia oleng. Mantera Gantung pulau ini—yang menahannya agar tidak jatuh—akan lepas. Atau lebih buruk, kau akan menarik perhatian yang jauh lebih besar dari Penjaga mana pun. Yang tertua dari Peti Mati Benua."
Nenek Tula merujuk pada legenda kuno tentang makhluk sihir yang tidur di bawah kabut, yang menjaga keseimbangan liar Peti Mati Benua.
Nenek Tula mengeluarkan tiga benda dari kantong kulitnya yang sudah usang: tiga batu hitam kusam seukuran ibu jari. Batu-batu itu terasa sangat dingin, menyerap panas dan cahaya dari udara di sekitarnya. Mereka memancarkan aura anti-sihir yang halus, seperti titik kosong dalam jaringan energi.
"Ini adalah Pemberat Kekacauan," jelasnya. "Mineral yang terbentuk di dasar Dinding Laut Kabut, di mana sihir yang mati dan yang liar saling bertabrakan. Mineral ini dapat menyerap dan menetralisir energi yang berlebihan."
Ia melanjutkan, "Kau harus menyatukan Pena itu dengan Pemberat ini. Biarkan Pena itu menarik energi dari batu, bukan dari fondasi pulau. Batu-batu ini akan bertindak sebagai reservoir penyangga antara Pena dan Inti Veridia."
Yusuf merasakan adrenalin dan ketegangan. Ia tidak hanya merancang mantera, ia merancang ekologi sihir. Kesalahan dalam ritual ini bisa membuat Pena Kuningan menjadi terlalu kuat, atau justru menghancurkan Batu Pemberat dan Pena itu sendiri.
Yusuf mengambil Pena Kuningan itu. Berbeda dari saat ia menggunakannya untuk melawan Dera, kini ia bekerja dengan kehati-hatian tertinggi. Ia duduk bersila, meletakkan pena itu di tengah tumpukan pasir kristal.
Ia kemudian menggunakan Pena Kuningan, bukan untuk menulis mantera yang dapat dilihat, tetapi untuk mengukir alur tipis, nyaris tak terlihat, pada tubuh Pena itu sendiri. Ia harus menulis Mantera Integrasi Struktural langsung di badan Pena. Proses ini memakan waktu berjam-jam. Ia harus memastikan alur itu cocok dengan Pola Pengaliran Energi yang ia pelajari dari Mantera Asal, sehingga Pemberat dapat menyatu tanpa menyebabkan ledakan energi.
Ketika alur itu selesai, ia dengan hati-hati menyematkan ketiga Pemberat Kekacauan di alur tersebut.
Seketika, terjadi reaksi hebat.
Pena Kuningan berdenyut, mengeluarkan cahaya putih yang sangat terang. Batu-batu Pemberat Kekacauan langsung bereaksi, menyerap cahaya itu dan meredupkannya menjadi cahaya keperakan yang tenang. Aura sihir Pena yang awalnya serakah dan liar kini terasa lebih stabil, lebih terkontrol dan terukur. Pena itu kini terasa lebih dingin, namun lebih berat di tangannya.
"Selesai," bisik Nenek Tula, lega. "Kau telah menciptakan Pena Pemberat. Sekarang, setiap mantera baru yang kau tulis akan memiliki pemberat sihir, meminimalkan dampakmu pada keseimbangan Veridia."
Yusuf mengangkat Pena Pemberat itu, merasakan kekuatannya yang terkendali. Ini bukan lagi alat pemalsuan; ini adalah Alat Penciptaan.
Kanvas yang Lebih Besar
"Sekarang," kata Nenek Tula, matanya menatap tajam ke langit-langit gua. "Kau punya kuas. Sekarang, kita harus mencarikanmu kanvas yang lebih besar."
"Maksud Anda Rumi?" tanya Yusuf. "Saya yakin dia sudah mencoba menggunakan mantera kunci itu lagi."
"Lebih dari itu," Nenek Tula mengangguk. "Rumi hanyalah masalah pribadi. Kanvasmu adalah Pulau Gantung Veridia itu sendiri. Keahlianmu dalam menulis ulang mantera telah menarik perhatian. Para penyihir buangan di sini mulai menyadari bahwa seseorang telah menstabilkan pulau ini."
Nenek Tula menjelaskan bahwa Veridia selama ini diatur oleh Dewan Tetua Reruntuhan, sekelompok penyihir kuat namun tua yang hanya fokus pada status quo—bertahan hidup. Mereka hidup dalam ketakutan akan Sihir Primordial yang datang dari gunung-gunung di daratan utama Peti Mati Benua.
"Mereka tidak akan menyukai arsitektur barumu. Mereka melihat keteraturan sebagai kelemahan," jelas Nenek Tula. "Kau harus menunjukkan bahwa Arsitektur-mu lebih kuat daripada Kekuatan mereka."
Yusuf menyadari konflik baru yang menantinya. Ia telah lolos dari hukum kaku Samarasewu, hanya untuk terjebak dalam politik sihir yang anarkis di Veridia.
"Bagaimana aku bisa meyakinkan mereka?" tanya Yusuf, menimbang Pena Pemberat di tangannya.
"Kau harus memperbaiki sesuatu yang tidak bisa mereka perbaiki," jawab Nenek Tula. "Kau harus memenangkan kendali atas salah satu sumber daya terpenting di Veridia, yang telah lama menjadi sumber konflik yaitu Menara Kristal Cermin."
Menara Kristal Cermin adalah sebuah struktur kuno yang berfungsi sebagai Jaringan Komunikasi Terdistorsi di seluruh Peti Mati Benua. Menara itu selalu memancarkan citra dan suara yang terdistorsi karena sihir liar. Siapa pun yang dapat menstabilkannya akan menguasai informasi, kunci untuk menyatukan atau menguasai Peti Mati Benua.
"Menara itu hampir runtuh. Jika kau bisa menstabilkan Jaringan Cerminnya, kau akan mendapatkan rasa hormat. Dan kau akan punya kesempatan untuk melacak Rumi dan—yang lebih penting—armada Samarasewu yang pasti akan datang," kata Nenek Tula, menunjuk ke luar gua, ke Kabut Kuno yang tebal.
Yusuf mengangguk, Pena Pemberat kini terasa ringan dan benar di tangannya. Ia telah menulis ulang nasibnya, tetapi sekarang ia harus menulis takdir seluruh komunitas buangan.