Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Keputusan Yang Tepat
Sikap Selina yang tiba-tiba berubah bukan tanpa sebab. Sehari sebelumnya, ia tak sengaja mendengar percakapan Reykha dengan seseorang di telepon.
Kata-kata Reykha bagaikan belati yang menusuk jantungnya. Ia akhirnya tau bahwa selama ini Reykha hanya memanfaatkan ketulusan dan kepolosannya. Reykha selalu memutar balikan fakta di depan Tristan, mengatakan bahwa dirinyalah yang melakukan semua pekerjaan rumah, sementara ia hanya bermalas-malasan.
Itulah sebabnya Tristan selalu bersikap acuh tak acuh padanya, tak pernah melihat sedikit pun usahanya. Sekarang, ia ingin bebas. Ia ingin melakukan apa yang ia inginkan, tanpa harus terikat oleh harapan palsu dan kebohongan.
Saat Selina hendak pergi, Tristan tiba-tiba muncul. Menghadangnya dengan tatapan penuh amarah. ''Kau tidak membuatkan Reykha sarapan? Kau mau seenaknya di rumah ini, hah!''
''Semua Reykha yang kerjakan pekerjaan rumah. Kau ... hanya buat sarapan pagi aja gak mau. Reykha masih harus kerja, bukan kau yang malas-malasan setiap hari di rumah,'' cecar Tristan dengan nada tinggi.
Selina menatap Tristan dengan tatapan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Tatapan yang penuh dengan kekecewaan, kemarahan, dan tekad untuk mengubah hidupnya.
Ia mendidih mendengar tuduhan yang tak pernah dilakukannya. Kesabarannya mencapai titik nadir.
''Oh, aku cuma bermalas-malasan.''
Matanya menyipit tajam ke arah Reykha, kedua tangannya terlipat di dada. ''Oke, baiklah. Jadi selama ini kerja kerasku tidak pernah terlihat di matamu, Mas. Aku yang cuma bermalas-malasan, ya?"
Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan. "Kalau gitu, akan kulakukan terus. Aku tidak akan melakukan apa pun seperti apa yang kalian tuduhkan. Lagi pula ... selama ini Mbak kan yang melakukan semua pekerjaan rumah? Bahkan menyiapkan makan malam walaupun Mbak capek sepulang kerja.''
Sindiran Selina seperti tepat sasaran. Beberapa kali Reykha bahkan menghindari kontak mata dengannya.
Tristan, yang murka, membanting tasnya dengan kasar. '' Kau semakin berani, Selina. Sekarang tidak ada lagi uang belanja untukmu. Lagi pula, kau hanya benalu di rumah ini.''
Dengan langkah tenang, Selina meraih tas yang tergeletak di kursi. Berhenti sejenak, ia berbalik, tatapannya sedingin es.
''Gak masalah! Toh, selama ini kau juga tidak pernah memberiku nafkah yang cukup. Aku tidak butuh uangmu itu, Mas!'' serunya sebelum berbalik dan melenggang pergi.
Selina tak peduli lagi dengan ancaman Tristan. Akhir-akhir ini bahkan ia sudah tak menerima jatah bulanan darinya.
Terakhir kali yang ia tahu, uang itu diberikan kepada Reykha untuk kemudian diserahkan kepadanya, tapi ternyata uang itu digunakan oleh Reykha sendiri.
Karena tak ingin terlalu berharap pada uang bulanan, Selina, yang sudah lama mengikuti kelas masak, diam-diam menerima pesanan dari para tetangganya.
Tak jarang ia dipanggil ke rumah mereka untuk memasak. Bahkan, temannya yang ia kenal di kelas memasak juga selalu membantu.
Uang hasil kerja kerasnya itulah yang ia kirim untuk biaya kuliah sang adik dan kebutuhan berobat ibunya.
Reykha menggelayut manja di lengan Tristan. ''Kita sarapan di luar aja, yuk, sayang. lagi pula, kalau pagi aku gak sempat buatin kamu sarapan.''
Padahal itu hanya sebuah alasan karena tak ingin repot memasak. Tristan yang terbiasa dengan masakan rumah, terlihat kecewa.
Untuk sarapan Tristan lebih memilih masakan rumahan yang sehat, karena ia sangat memperhatikan kesehatan tubuhnya.
Semenjak menikah ia terbiasa sarapan dengan Reykha di rumah, namun tetap akan mengkritik tanpa henti masakan yang di masak Selina bahkan jika makanan itu sangat enak sekalipun. Namun, saat Reykha mengatakan itu masakannya, Tristan akan terus memujinya terus menerus.
Reykha merengek, menyandarkan kepalanya di bahu Tristan, ''Apa mungkin dia marah sama aku ya, Mas? Apa aku sudah jahat sama dia, kok Selina bersikap kasar akhir-akhir ini.''
Tristan mengusap lembut puncak kepala Reykha, mencoba menenangkan istrinya. ''Sudahlah, jangan hiraukan dia. Dia memang orang yang gak tau terima kasih.''
Reykha mendongak, menatap Tristan dengan mata berkaca-kaca. ''Terus aku harus gimana, Mas?''
''Gimana apanya? Udah kamu cuekin dia, dia pikir dia siapa di rumah ini. Kamu jangan terlalu baik padanya,'' ujarnya mencoba menasehati. ''Ayo kita makan di luar aja, ya? Biar kamu gak kepikiran terus.''
Reykha mengangguk lemah, menerima ajakan Tristan.
*****
Di dalam taksi, air mata Selina terus mengalir, membentuk sungai kecil di pipinya. Sang sopir, yang iba melihat kesedihannya, menyodorkan sekotak tisu. Selina meraihnya dengan tangan gemetar, mengucapkan terima kasih dengan suara tercekat.
Pagi itu kota Makassar tak begitu macet hingga tak butuh waktu lama bagi Sellina sampai di tempat tujuannya.Taksi berhenti di sebuah gedung pencakar langit yang megah. gedung itu menjulang tinggi, seolah menyentuh awan.
Ia menatap gedung itu dengan tatapan penuh harap, bercampur dengan sedikit keraguan.
''Bismillah ... semoga aku diterima kerja di sini,'' bisiknya lirih, tangannya memeluk erat surat berisi lamaran lamaran kerja.
Dengan langkah yang berusaha diteguhkan, Selina memasuki lobi gedung. Ia mencoba menyembunyikan kegugupan di balik senyum yang dipaksakan. Namun, baru saja ia mendekati meja resepsionis, seorang wanita berparas dingin menyambutnya dengan tatapan yang merendahkan.
''Maaf, Kak, kami sedang tidak menerima lamaran pekerjaan. Lowongan sudah di tutup,'' ucap resepsionis itu dengan nada tanpa ekspresi.
Selina tertegun, bahkan sebelum ia sempat menjelaskan tujuannya. Pintu harapan itu sudah ditutup rapat di hadapannya.
''Baiklah, terima kasih,'' jawab Selina lirih, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Dengan langkah gontai, Selina meninggalkan gedung itu. Map yang semula digenggamnya erat kini terjuntai lemas di tangannya.
''Ternyata cari kerja susah banget,'' gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Tak lama ponselnya bergetar, memecah kesunyian batinya. Sebuah pesan masuk, mengingatkannya akan kelas memasak siang ini.
Hari ini adalah jadwal membuat hidangan penutup Italia. Selina segera bergegas mencari taksi. Tujuan kelas memasaknya cukup jauh, melintasi jantung kota. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajahi situs-situs lowongan pekerjaan .
Mobil melaju perlahan, terjebak kemacetan siang hari yang tak terhindarkan. Untuk mengusir rasa bosan dan kegundahan, Selina menyetel lantunan murotal dari ponselnya mencoba menenangkan hatinya.
Setelah perjalanan hampir satu jam, akhirnya ia tiba. Bangunan yang di tujunya terletak di pinggiran kota yang ramai, namun tatap mempertahankan keasrian lingkungannya.
Pepohonan rindang berjejer di sepanjang jalan, menciptakan nuansa hijau yang kontras dengan hiruk pikuk perkotaan.
Gedung itu sendiri hanya memiliki dua lantai, namun tampak megah dengan gaya klasik khas Italia. Lantai dasar di fungsikan sebagai kafe yang menyajikan hidangan autentik Italia, sementara lantai dua menjadi studio memasak tempat Selina mendalami seni kuliner Italia.
Saat Selina berdiri di depan gedung yang didominasi warna putih itu, seseorang menepuk pundaknya pelan.
''Kok ngelamun, Selina? Ayo ,masuk.''
Mata Selina berbinar saat melihat seseorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya. Wanita itu mengenakan pakaian yang modis namun tetap sopan. Rambutnya disanggul rapi, menambah kesan elegan pada penampilannya. Senyum hangatnya seolah menyambut Selina dengan penuh keramahan.
Dania, meski usianya telah berkepala empat, tetap memancarkan aura muda dan sederhana.
Selina menyambutnya dengan hangat, meraih dan mengusap lembut tangan Dania. ''Bu, Dania datang? Kupikir ibu gak bisa hadir hari ini.''
''Tentu datang, Sayang. Sekalian ibu ingin ketemu sama kamu,'' jawab Dania, membalas pelukan Selina.
Dania adalah sosok yang sangat dekat dengan Selina, sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Dania.
Kebaikan dan keceriaan Selina membuatnya nyaman berada di dekatnya. Mereka pertama kali bertemu di kelas memasak, dan hubungan mereka semakin erat seiring waktu , terutama setelah Dania mengetahui pahitnya kisah Selina.
''Loh ... kenapa kamu bawa- bawa map? Apa kamu sedang mencari pekerjaan, Selina? tanya Dania, matanya menyipit karena penasaran.
Selna hanya tersenyum, lalu mengangguk. ''Iya. Tapi sampai sekarang aku belum juga dapat kerjaan, Bu.''
Mereka melanjutkan percakapan sambil memasuki lift.
''Memangnya kamu lulusan apa, Selina? Siapa tau ibu bisa mencarikan pekerjaan yang cocok untukmu.''
Jari lentik Selina menekan angka tombol angka dua. ''Aku lulusan Manajemen Administrasi Bisnis, Bu. Padahal IPK-ku tinggi dan lulusan terbaik, tapi mencari pekerjaan di kota ini memang sulit ya?''
'Wah, kebetulan sekali. Sepertinya dia cocok bekerja di sana,' batin Dania.
ditunggu kelanjutannya❤❤