"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Sesak yang tak berujung
...0o0__0o0...
..."Sampai kapan kakak menggenggam tangan ku seperti ini ?" keluh Jingga pelan....
..."Astaghfirullah, dek. Di genggam suami sendiri kamu masih mengeluh ?" sahut Langit....
...Tatapan Jingga tetap lurus ke depan, enggan menoleh. "Genggaman tanpa cinta tidak akan pernah terasa nyaman, Kak. Yang ada hanya hambar, kaku, dan menyesakkan dada."...
...Langit terdiam. Seketika ia melepaskan genggaman tangannya, membuat Jingga terkekeh miris....
..."Kenapa, Kak ? Apa aku salah ?" tanyanya pura-pura polos....
..."Tidak, dek. Kamu tidak salah. Ayo percepat langkahnya, di rumah Nesya dan yang lain sudah menunggu."...
...Senyum tipis Jingga muncul, getir dan penuh arti. Dari jawaban itu ia tahu, tahta tertinggi di hati suaminya masih milik Nesya, istri pertamanya....
...Langit tiba-tiba membelok ke lorong ruang rawat ayah mertuanya. Jingga mengerutkan dahi....
..."Bukankah tadi Kakak ingin cepat pulang ? Kenapa malah ke ruangan Ayah ?" tanyanya datar....
..."Kita pamit dulu, dek. Walau beliau belum sadar, seenggaknya kita menunjukkan hormat. Apa kamu tidak ingin melakukannya ?" jawab Langit tenang....
..."Astaghfirullah... aku sampai lupa," gumam Jingga menyesal....
...Langit tersenyum tipis, lalu kembali menggenggam tangan istri mudanya....
..."Bisa tidak Kakak jangan menyentuh ku ?" ucap Jingga datar....
..."Aku suami kamu. Aku berhak menggandeng tangan mu. Apa kamu keberatan ?" Langit balik bertanya....
..."Jelas keberatan. Di awal pernikahan, Kakak sendiri yang bilang tidak akan menyentuh ku tanpa cinta," tegas Jingga, mengingatkan....
..."Aku lakukan ini supaya tidak ada mata laki-laki lain yang memandang mu penuh minat. Itu akan membuat mu berdosa," jawab Langit dengan nada mantap....
...Jingga hanya terkekeh, getir. Ia memilih diam, meski hatinya sudah terlalu lelah menampung perih....
..."Terserahlah," bisiknya datar....
...Langit mengetuk pintu pelan sebelum mendorong-nya. Ruangan itu hening, hanya suara mesin monitor yang berdetak teratur menemani tubuh renta yang terbaring lemah di ranjang....
...Jingga melangkah masuk dengan hati-hati, pandangan-nya langsung jatuh pada wajah ayahnya yang pucat. Air mata menggenang di sudut matanya....
..."Assalamu’alaikum, Yah…" bisiknya lirih, suaranya bergetar. Ia mendekat, menggenggam tangan ayahnya yang dingin. "Jingga pamit dulu, Yah. Doakan Jingga bisa kuat menjalani semua ini."...
...Langit berdiri di sampingnya, menatap sosok mertuanya yang tak berdaya. Dengan suara tenang, ia pun ikut memberi salam....
..."Wa’alaikum salam, Yah. Saya, Langit… menantu yang mungkin belum bisa banyak berbakti. Mohon restu dan doanya. Saya akan jaga Jingga sebaik mungkin."...
...Mata Jingga terpejam rapat, dadanya terasa sesak mendengar ucapan itu. Kata-kata suaminya terdengar manis, namun baginya justru menambah luka—karena ia tahu, kenyataan tidak seindah janji....
...Tetes air mata akhirnya jatuh membasahi punggung tangan ayahnya. "Yah… cepatlah sadar. Jingga butuh Ayah, lebih dari siapa pun."...
...Langit menatap lirih ke arah istrinya, sempat ingin menghapus air mata itu, tapi urung. Ia hanya menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Jingga....
..."Ayo, dek. Kita pulang. Biar Ayah beristirahat."...
...Jingga mengangguk pelan, menyeka air matanya cepat-cepat. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi pada ayahnya, seolah enggan meninggalkan....
...Di luar ruangan, hening menyelimuti mereka. Hanya langkah kaki yang terdengar....
...Genggaman Langit kembali menyapa jemari Jingga, dan kali ini ia tidak menolak—bukan karena rela, melainkan karena hatinya sudah terlalu lelah untuk berdebat....
...0o0__0o0...
...Mobil melaju pelan menembus keramaian jalan malam. Lampu-lampu kota berkelebat di balik kaca jendela, namun bagi Jingga semuanya tampak buram, tertutup kabut air mata yang masih tertahan....
...Jingga bersandar pada kursi, menatap kosong ke luar jendela tanpa sepatah kata pun....
...Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya deru mesin yang menjadi pengisi ruang....
...Langit beberapa kali melirik ke arahnya, seolah ingin bicara, namun tak satu pun kata keluar. Hanya helaan napas yang terdengar berat....
..."Aku tahu kamu masih marah," ucap Langit akhirnya, pelan namun tegas....
...Jingga tersenyum miris tanpa menoleh. "Marah ? Aku sudah terlalu lelah untuk marah, Kak. Yang tersisa hanya… rasa sesak dan lelah."...
...Langit menggenggam setir lebih erat. "Aku hanya berusaha melindungi kamu, dek. Semua yang ku lakukan bukan untuk menyakiti."...
..."Melindungi ?" Jingga akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan mata berkaca. "Kalau benar ingin melindungi, jangan biarkan aku merasa sendirian dalam pernikahan ini. Genggaman tangan mu tak berarti apa-apa kalau hatimu tetap condong pada satu istri mu. Sedangkan kamu punya dua istri."...
...Langit terdiam, kata-kata itu menghantam dadanya. Ia menunduk sedikit, mengatur napas, sebelum berkata lirih:...
..."Jangan berkata begitu, Jingga. Kamu tetap istri sahku… aku punya tanggung jawab penuh atas diri mu."...
...Jingga terkekeh, getir. "Tanggung jawab saja tidak cukup, jika kau tidak bisa adil dalam mencintai, Kak."...
...Setelah itu, hening kembali merajai mobil....
...Jalanan panjang yang mereka lalui terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Jingga memilih memejamkan mata, berpura-pura tidur, padahal hatinya justru semakin sulit terpejam....
...Langit melirik sekilas, lalu menghela napas panjang. Dalam diam, ia pun sadar: menjaga Jingga tidak semudah yang ia kira....
...Mobil terus melaju di bawah cahaya lampu jalan, hingga tiba-tiba Langit membelokkan kendaraan ke sisi kiri jalan dan berhenti di depan sebuah toko kue yang masih buka....
..."Mau ke mana, Kak ?" tanya Jingga ketika mobil tiba-tiba menepi....
..."Tunggu sebentar, aku ingin beli sesuatu," jawab Langit singkat sebelum turun....
...Langit masuk ke dalam toko kue favorit istri pertama-nya. Beberapa menit kemudian ia keluar sambil menenteng satu paperbag ukuran sedang, wajahnya terlihat puas....
..."Apa yang Kakak beli ?" tanya Jingga penasaran....
..."Kue, untuk Aba, Ummi, dan Nesya di rumah," jawab Langit jujur, tanpa beban....
...Deg!...
...Hati Jingga seperti di remas. Ia hanya mengangguk pelan, menelan perihnya sendiri....
...Padahal sejak siang ia belum menyentuh makanan manis sedikit pun, namun suaminya sama sekali tidak teringat padanya....
...Melirik sekilas, Langit bertanya, "Apa kamu juga mau, Dek ?" suaranya tenang saat melihat Jingga hanya diam menatap keluar jendela....
...Bukannya senang, Jingga justru semakin sakit hati. Pertanyaan itu terasa hambar, seperti basa-basi belaka....
..."Berhenti di depan," pinta Jingga tiba-tiba, suaranya datar....
...Langit segera menginjak rem. "Kenapa ? Kamu mau beli sesuatu ? Biar aku yang belikan," tawarnya dengan nada masih tenang....
...Jingga menarik napas panjang, lalu menoleh sekilas dengan tatapan kosong. "Pulanglah lebih dulu. Aku naik taksi saja. Assalamu’alaikum."...
...Brak..!...
...Jingga langsung membuka pintu, keluar dari mobil, dan tanpa ragu melangkah masuk ke taksi yang kebetulan berhenti di depan....
...Langit hanya bisa tertegun, tangannya terangkat seolah ingin menahan, namun suara panggilan-nya tak digubris....
...Jingga memilih pergi, meninggalkan perih yang semakin menebal di antara mereka....
...Langit terdiam di balik kemudi, menatap taksi yang membawa Jingga menjauh hingga menghilang di balik keramaian jalan....
...Satu helaan napas berat lolos dari bibirnya. Tangan-nya yang masih memegang paperbag kue terasa kaku....
..."Astaghfirullah… kenapa aku sampai lalai begini ?"...
...Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Hatinya gamang—antara ingin segera menyusul Jingga atau langsung pulang membawa kue untuk Nesya....
...Bayangan wajah Jingga yang menunduk dengan senyum getir tadi terus menari-nari di kepalanya. Kata-kata terakhir istrinya—datar, dingin, dan penuh luka—terasa menusuk jantung....
..."Aku suaminya… tapi kenapa justru membuatnya memilih pergi ?" batinnya menyesal....
...Langit mengetuk setir dengan jarinya, gusar. "Ya Allah, aku hanya ingin berlaku adil… tapi kenapa aku selalu salah di matanya ?" gumamnya lirih....
...Matanya melirik kembali pada paperbag kue di kursi sebelah. Rasa bersalah makin menekan dadanya....
..."Benarkah aku tadi lupa ? Atau sebenarnya aku memang tidak pernah menempatkan dia di hati yang sama seperti Nesya ?"...
...Langit menyalakan mesin mobil kembali, namun hatinya masih bimbang. Ia ingin mengejar Jingga, tapi pikirannya berkata lain....
..."Kalau aku kejar, apakah Jingga akan menerima ? Atau malah semakin menjauh ?"...
...Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang, menunduk dalam-dalam....
..."Ya Allah… bimbing aku. Ajari aku bagaimana menjadi suami yang benar dan adil pada kedua istri ku."...
...Mobil pun melaju lagi, meninggalkan jejak hening penuh sesal yang tak terucap....
...0o0__0o0...
...Di dalam taksi, Jingga duduk bersandar pada jendela. Pandangan-nya kosong, menatap lampu jalan yang berkelebat cepat, seolah ikut menertawakan hatinya yang hancur....
...Supir taksi sempat melirik lewat kaca spion. "Mau ke mana, Dek ?" tanyanya ramah....
..."Ke rumah kos… di jalan Melati," jawab Jingga pelan. Suaranya hampir tak terdengar, seakan tercekik oleh perasaan yang ia tahan....
...Begitu supir kembali fokus ke jalan, Jingga menarik napas panjang....
...Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya. Ia segera menutup mulut dengan telapak tangan, khawatir tangisnya terdengar....
..."Selalu kak Nesya… Selalu dia yang di ingat, yang di pikirkan. Aku ini apa ? Istri atau hanya pelengkap dosa ?" batinnya meraung....
...Ia menatap tangannya yang kosong di pangkuan. Jemari itu masih bisa merasakan hangat genggaman Langit beberapa waktu lalu....
...Namun bukan kehangatan cinta—melainkan genggaman yang terasa hambar, kaku, dan penuh jarak....
..."Kak Langit…" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Kenapa begitu sulit bagimu melihat aku sebagai istrimu ? Apa aku sebegitu tak berharga di matamu ?"...
...Sopir taksi kembali melirik sekilas, seakan paham penumpangnya sedang menahan sesuatu, tapi ia memilih diam....
...Jingga menutup mata rapat, membiarkan air mata mengalir deras. Hatinya sakit, sangat sakit, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia masih berharap—berharap suatu hari Langit benar-benar melihatnya, bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan sebagai cinta....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂