Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Jalan-Jalan
Langit pun mengembuskan napas kasar. Ia menatap kedua sahabatnya yang balik menatapnya.
“Ada kaca?” tanya Langit.
“Buat apaan? Kayak anak cewek aja lo ngaca-ngaca,” sahut Neo.
“Iya,” sambung Rance.
“Ck, ada atau enggak?” decak Langit.
“Gak ada, gue bukan cewek,” balas Neo malas.
“Iya,” sambung Rance lagi.
Langit dan Neo menoleh, mereka menatap Rance dengan wajah malas.
“Lo apa iya-iya?” gerutu Neo kesal.
“Gue bale—”
“Diem!” sela Neo kesal. “Sekarang pergi ke kantin, gak usah pake acara ngaca. Lo mau Senja makin ngamuk kalo lo telat dateng ke sana? Gue gak mau, ya, ntar ikut-ikutan kena imbas amukan Senja.”
Baru saja dibilang, ponsel Langit berdering. Tulisan ‘Sayangku Galak’ terukir jelas di layar ponsel Langit sebagai si pemanggil, tentu itu adalah Senja.
Langit menatap kedua sahabatnya. Neo dan Rance pun mengalihkan wajah, kemudian pergi dari sana.
“Kita gak ikut-ikut, ya. Lo urus aja sendiri,” ucap Neo.
“Iya,” sahut Rance.
“Woi, setidaknya bantu gue nutupin lebam sama luka ini, kek!” teriak Langit sembari mengikuti Neo dan Rance.
“Gak, ogah! Lo atur aja ndiri!” balas Neo.
“Iya,” sahut Rance lagi.
***
“Malah di sini lo! Cowok muslim harusnya pergi jum’atan kalo hari Jum’at gini. Gue aja yang Kristen jalan-jalan nemenin Ace ke masjid,” ejek Neo kepada Langit yang tengah duduk-duduk manja di teras rumah Senja.
Langit berdecih remeh. “Yang bilang gue kagak pergi jum’atan siapa? Lo kagak liat sendal gue udah baru?”
Neo dan Rance serentak menunduk menatap sendal di kaki Langit. Kaki itu bergoyang-goyang seakan begitu senang menggunakan sendal baru.
“Si anyiiing, ke masjid bukannya jemput pahala, malah jemput dosa, lo,” tutur Neo menggeleng tak habis pikir. “Tapi itu keren, sih, pinjem, dong.”
Langit menatap Neo malas. “Tadi aja ngatain lo, gak ada pinjem-pinjem.”
“Pelit lo, sendal hasil nyolong juga,” decih Neo.
“Gue gak nyolong, cuma ganti mode aja. Gue barter sama yang punya sendal, soalnya sendal gue ya gue tinggal,” balas Langit tanpa beban.
“Sama aja, anjir. Yang punya sendal kagak tau sendalnya lo ambil,” dengkus Neo malas.
“Sendal ke berapa?” cetus Rance bertanya.
“Gak tau, gak ngitung,” jawab Langit.
“Udah segunung mungkin sendal hasil curiannya,” pungkas Neo.
“Siapa yang nyuri?”
Tiga pria itu menoleh mendengar suara seseorang. Mereka melihat kedatangan Senja sudah rapi dengan setelan bergaya casual, lengkap dengan sepatu dan tas di bahunya.
“Balik jum’atan Langit nyuri sendal di masjid lagi,” jawab Rance membuat Langit dan Neo menepuk kening lelah.
Senja melotot menatap tunangannya yang tengah cengengesan. Merasa gemas dan kesal, Senja langsung menarik kuping Langit yang kebetulan sedang duduk.
“Aaa aa, aduh aduh, sakit, Yang.” Langit merintih sembari berdiri mengikuti pergerakan tangan Senja menarik daun telinganya.
“Mampuus! Mamam tuh sendal baruu!” teriak Neo tertawa ngakak bersama Rance.
“Udah aku bilang, kalo jum’atan itu ya sholat aja. Malah nyuri, itu dosa, Langiiit!” Merasa tak puas hanya menarik kuping, Senja menimpuk Langit dengan tas miliknya.
Langit menahan pukulan dari Senja dengan kedua tangannya, tetapi kupingnya juga tak kalah nyeri. “Aku gak nyuri, aku tinggalin sendal aku, kok. Jadi aku cuma barter, aja, Sayang.”
“Barter barter! Barter itu kalo orang yang punya sendalnya tau! Orangnya tau, gak?” gerutu Senja.
“Enggak.”
“Jadi itu sama aja nyuri! Bandel amat, bandel bandel!” Senja semaki kencang menimpuk Langit dengan tasnya.
“Iya iya, maaf. Besok enggak lagi, deh!”
“Gitu aja terus! Emang besok enggak lagi, karna besok Sabtu, tapi Jum’at depan kamu ulang lagi. Gitu ‘kan?” gerutu Senja membuat Langit cengengesan.
“Aku khilap, Yang.”
“Ck, dah lah, aku pergi sendiri aja!” Senja kesal, ia masuk kembali ke dalam rumah. “Mamaa! Pinjem kunci mobil, doong!”
“Eh eh! Gak boleh sendiri, kita ‘kan udah janji mau jalan-jalan!” Langit berlari menyusul Senja masuk rumah. “Yang, ayo kita pergi sekarang. Gak boleh sendiri.”
Senja berdecak, ia menatap Langit yang tengah tersenyum manis kepadanya. “Ganti sendal curian itu! Kita ke mall, aku mau belanja!”
Seketika senyum Langit pudar. “K-ke mall, belanja?”
“Iya, kenapa?”
“O-oh, enggak, kok,” balas Langit ngeri. “Tanggal sudah lutut gue jalan keliling mall. Padahal ‘kan tadi katanya mau jalan-jalan di taman kota. Senja pasti sengaja buat kasih hukuman sama gue, haduuh.”
“Selamat menikmati jalan-jalannya, ya, Bro!” Neo menepuk bahu Langit sembari tertawa bersama Rance. “Ayo, Ce, kita pulang. Mereka mau jalan-jalan romantis soalnya.”
Langit berdecak kesal menatap Neo dan Rance mengejeknya. Dua pria itu tentu sangat tahu betul bagaimana rasanya menemani Senja belanja di mall. Pasalnya Neo dan Rance pun terbilang cukup sering ikut menjadi korban, kelelahan kerena berjalan keliling mall berjam-jam, tetapi yang dibeli hanya satu baju kaos.
“Selamat jalan-jalan, bestie-bestiee kiuu!” sambung Neo melambaikan tangan kepada Langit dan Senja.
Neo dan Rance pergi dari sana hanya dengan berjalan kaki. Pasalnya rumah mereka pun juga masih berada di komplek yang sama, hanya berjarak beberapa rumah dari sana.
Rance sendiri berjalan masih lengkap dengan peci di kepala, bahkan sarung di kakinya, vibes anak pesantren. Tampaknya Neo langsung mengajak Rance ke rumah Langit dan Senja, tempat ketika Rance keluar masjid saat sholat jum’at tadi.
“Kenapa masih bengong, cepet ganti sendal itu!”
Langit terlonjak mendengar suara galak sang tunangan. “Iya, Sayaang, iya. Sabar, nanti cantiknya ilang, loh, kalo marah-marah mulu.”
Senja menggulir bola matanya. “Yang bikin gue marah mulu siapa?”
“Aku.” Langit menyahut sambil cengengesan, kemudian melangkah ke arah rumahnya untuk mengganti sendal.
Hal yang ditakutkan oleh Langit nyatanya benar-benar terjadi. Pria itu sudah berjalan dengan kaki bergetar karena hampir dua jam mereka berkeliling mall. Namun, sampai detik itu Senja tak kunjung berhenti, justru semakin cepat berjalan.
“Dari dulu gue heran dan pengen tau banget, kenapa cewek kalo jalan-jalan di mall itu gak pernah tau capek?” gumam Langit berjalan lesu.
“Sayang, ini bagus, gak?”
“Iya, bagus, kok,” jawab Langit tanpa mengangkat kepalanya.
Senja mendelik melihat itu. “Bagus bagus, kamu aja belum liat!”
Langit langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum sembari mengelap kening, seakan ia berkeringat, padahal di sana dingin oleh AC. “Bagus, kamu cantik pake apa aja, Sayang.”
“Dari tadi jawabannya gitu mulu. Ini malesnya kau jalan-jalan ke mall sama kamu,” gerutu Senja mengembalikan hanger baju tadi ke tempatnya.
Langit menghembuskan napas panjang. “Kita cari tempat makan dulu, yuk. Cacing aku demo, nih.”
“Aku belum selesai belanja, masih harus cari celana.”
Mata Langit seketika melotot sempurna. “Demi apa, Ja! Cari celana, jadi selama dua jam ini kita baru dapet baju?”
Senja mengangguk tanpa beban. Hal itu membuat Langit ternganga, kemudian ia meluruh ke lantai.
“Mati aja ‘lah gue.”
Bruk ...
“Eh, Langit Langiit! Jangan pingsan di sinii, di mobil aja pingsannya, Langiit! Gue tampol, niih!”
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh