Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. The Shadow of the Crown
London — satu minggu kemudian.
Langit kelabu bergelayut di atas Istana Buckingham, seperti tirai yang menutupi dosa-dosa lama kerajaan.
Hujan tipis turun, menyapu jalanan basah di depan gerbang utama ketika sebuah mobil hitam tanpa plat resmi berhenti perlahan.
Dari dalamnya, keluar sosok lelaki berjas gelap dengan wajah tenang, namun matanya menyimpan badai.
Pangeran William telah kembali.
Di sampingnya, Raras melangkah pelan — mengenakan mantel abu-abu panjang, rambutnya disembunyikan di balik tudung.
Tak ada sambutan, tak ada kehormatan.
Hanya hening, dingin, dan tatapan kecurigaan dari para penjaga kerajaan.
Namun di balik keheningan itu, permainan sudah dimulai.
---
Langkah Pertama: Keheningan yang Mengancam
Ratu Margaret duduk di ruang singgasana kecilnya, menunggu.
Ketika William memasuki ruangan, waktu seolah berhenti.
Ia menunduk sopan, tapi tidak merendah.
“Your Majesty,” ucapnya, nada suaranya tenang tapi berlapis makna.
“William,” jawab sang ratu dengan lirih. “Putraku yang hilang kembali dari kematian.”
Kalimat itu manis di permukaan, namun dingin di bawahnya.
Raras yang berdiri di belakang William merasakan hawa tegang yang nyaris menyesakkan.
Tatapan Ratu Margaret menelusuri wajahnya. “Dan ini… siapa?”
“Dia orang yang menyelamatkanku,” jawab William datar. “Namanya Raras.”
“Raras,” sang ratu mengulang pelan. “Nama yang indah… dan asing.”
Lalu dengan senyum yang tampak ramah, ia menambahkan:
“Semoga kau paham bahwa berada di istana tidak selalu berarti kau aman.”
Raras menunduk sopan. Tapi dalam hatinya, ia tahu kalimat itu bukan sekadar peringatan — melainkan ancaman terselubung.
---
Langkah Kedua: Ratu dan Cermin
Setelah pertemuan itu, William dipanggil sendirian ke ruang pribadi Ratu Margaret.
Di sana, hanya ada mereka berdua — tanpa saksi, tanpa penasihat.
Ratu duduk di kursi tinggi di depan cermin besar berbingkai emas.
Ia menatap pantulan wajahnya, lalu berkata perlahan tanpa memandang William.
“Kau datang kembali tanpa izin, membawa perempuan asing, dan mencoreng nama keluargamu. Tapi aku takkan mengusirmu… belum.”
William menatap cermin yang sama, melihat wajah ibunya di sana. “Belum? Karena Anda ingin tahu apa yang sebenarnya kuketahui.”
Tatapan Ratu Margaret naik, menembus pantulan cermin.
“Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, William? Kau menyembunyikan diri, menunggu hingga waktunya tepat. Apa kau berencana mengambil kembali takhta itu?”
William tersenyum samar. “Saya tidak datang untuk takhta, Mother. Saya datang untuk kebenaran.”
“Dan kebenaran,” sang ratu menatapnya langsung, “adalah hal paling berbahaya di istana ini.”
Hening menggantung di antara mereka.
Suara jam antik berdetak pelan — tik… tak… tik… tak — seolah menghitung jarak antara kejujuran dan pengkhianatan.
---
Langkah Ketiga: Di Balik Pintu Rahasia
Malam itu, William memanggil Raras ke kamar pribadinya yang kini dijaga dua pengawal istana.
Ia berdiri di dekat jendela, menatap hujan yang belum berhenti.
“Mereka tidak percaya aku mati,” katanya pelan. “Tapi mereka berharap aku tidak pernah hidup kembali.”
Raras mendekat. “Apa kau masih berpikir ini hanya tentang politik?”
William menatapnya. “Tidak. Ini tentang darah — dan siapa yang layak menyandangnya.”
Raras membuka map kecil yang dibawanya sejak dari Skandinavia.
Di dalamnya, ada dokumen yang selama ini disembunyikan — laporan medis rahasia, surat-surat dari dokter kerajaan, dan hasil tes DNA lama.
“Aku menemukannya di berkas ibumu,” kata Raras. “Dan ada satu hal yang akan mengguncang istana jika ini terbuka.”
William membalik lembar pertama.
Matanya membeku membaca baris terakhir:
> ‘Subject: Prince William is not of royal blood. Maternity confirmed. Paternity — uncertain.’
Tangannya bergetar. “Ini… tidak mungkin.”
Raras menatapnya lembut. “Ibumu tahu, William. Dan itu sebabnya dia menghilang.”
---
Langkah Keempat: Catur Istana
Keesokan harinya, Dewan Rahasia berkumpul.
William diundang ke ruang pertemuan, duduk di hadapan Duke of Kent, Lady Eleanor, dan Lord Hamilton.
“Selamat datang kembali di rumahmu,” ucap Lord Hamilton dengan senyum tipis.
“Tapi seperti yang kau tahu, rumah ini tak lagi milikmu.”
William tak menanggapi.
Ia hanya menatap papan catur yang diletakkan di tengah meja — simbol permainan yang kini nyata.
Duke of Kent menatapnya tajam. “Kami punya kabar dari Stockholm. Kau menyelamatkan seorang perempuan dari Asia, menikahinya tanpa restu kerajaan. Itu pelanggaran terhadap hukum tahta.”
“Lucu,” jawab William tenang. “Kalian berbicara tentang hukum, tapi kalian sendiri menghapusku dari sejarah.”
Lady Eleanor menyeringai kecil. “Kau terlalu banyak bicara untuk seseorang yang tak lagi memiliki darah kerajaan.”
William mencondongkan tubuhnya, suaranya rendah tapi menusuk:
“Dan kalian terlalu percaya bahwa darah biru bisa menutupi dosa hitam.”
Keheningan mendadak mengisi ruangan.
Lady Eleanor kehilangan senyumnya. Duke mengetukkan jarinya ke meja, gelisah.
Sementara Lord Hamilton memperhatikan William lama, lalu berkata datar:
“Permainan baru saja dimulai.”
---
Langkah Kelima: Manipulasi
Malamnya, Raras berjalan sendirian di koridor panjang menuju kamar.
Tiba-tiba, Lady Eleanor muncul di belakangnya.
“Kau perempuan yang beruntung,” ucapnya pelan. “Banyak wanita ingin berdiri di tempatmu, di sisi seorang pangeran. Tapi mereka tidak cukup bodoh untuk melakukannya.”
Raras menatapnya tanpa gentar. “Atau mungkin mereka tidak cukup berani.”
Eleanor mendekat, bisikannya seperti racun:
“Beranilah terus, Putri Jawa. Karena keberanianmu akan menjadi alasan kematianmu.”
Ia tersenyum tipis, lalu berlalu, meninggalkan aroma parfum mawar yang dingin — seperti bayangan kematian yang halus.
---
Langkah Terakhir: Gerakan Tak Terduga
Pagi berikutnya, media Inggris diguncang.
Seseorang membocorkan dokumen medis lama ke pers — dokumen tentang asal-usul darah Pangeran William.
Namun yang mengejutkan:
Surat itu bukan berasal dari William.
Melainkan dari Ratu Margaret sendiri.
Di hadapan publik, ratu berkata dengan suara tenang namun dingin di layar televisi nasional:
> “Jika benar William bukan darah kerajaan, maka kita semua akan menunggu bukti. Tapi aku, sebagai ibunya, tahu siapa dia — dan kebenaran akan menuntut harga bagi siapa pun yang memainkannya.”
William yang menonton dari kamar menatap layar dalam diam.
Raras menoleh padanya. “Dia memutar balik semua tuduhan. Sekarang, kau terlihat seperti pemberontak.”
William menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil — senyum yang tidak lagi penuh luka, melainkan strategi.
“Kalau begitu, kita ubah permainan.
Bukan lagi tentang siapa yang berdarah kerajaan… tapi siapa yang cukup kuat untuk menjadi raja.”
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰