Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENAHAN RASA
Pagi itu rumah terasa terlalu tenang—aneh, tapi menyesakkan.
Kalle sudah lebih dulu turun, menyiapkan kopi hitam di dapur tanpa suara. Sementara di lantai atas, Sera berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Senyum di bibirnya terasa dipaksakan, sama seperti hubungan mereka sekarang.
“Capek banget jadi orang yang salah terus,” gumamnya pelan. Ia mengambil lipstik, menggambar senyum di wajahnya seperti topeng baru.
Begitu turun, ia mendapati Kalle sedang melipat koran.
“Pagi,” ucapnya datar.
“Pagi,” jawab Kalle singkat. Tak ada kontak mata, tak ada tanya, cuma dua kata yang terdengar sopan tapi kosong.
Sera melirik ke arah meja makan. Ada roti panggang dan telur mata sapi.
“Kamu nggak harus masak tiap pagi kayak gini, Kalle.”
“Bukan masak. Cuma goreng telur,” sahutnya pelan.
Jawaban sederhana, tapi entah kenapa malah bikin suasana makin janggal.
Beberapa menit hening. Sera pura-pura sibuk menata tas dan ponselnya, padahal matanya sempat menatap Kalle diam-diam.
Dia benci sikap tenang itu.
Bukan karena buruk—tapi karena membuatnya merasa seperti satu-satunya yang marah.
“Kalau kamu terus diem gini, aku bisa gila, tahu nggak?” akhirnya pecah juga benteng gengsinya.
Kalle menatap sebentar. “Aku cuma nggak mau ribut, Sera.”
“Ya tapi kamu juga nggak ngomong apa-apa!”
“Kalau aku ngomong, kamu marah. Kalau aku diem, kamu juga marah. Aku harus pilih yang mana?”
Sera terdiam. Ia nggak siap dengan jawaban tenang sejujur itu.
“Udah, aku berangkat dulu,” katanya cepat, menyambar kunci mobil sebelum emosi meledak lagi.
*********************
Beberapa jam kemudian — Studio Pemotretan
Bian langsung menyambutnya dengan gaya khasnya, nyengir lebar sambil melambai.
“Wah, akhirnya datang juga si Miss Meledak Cantik! Nih orang kalau marah tetap glowing ya?”
Sera melotot, tapi senyum kecil nggak bisa ia tahan.
“Diam, Bian. Mau kulempar tripod juga nih.”
“Waduh, jangan! Itu punya Luca, dia bisa nangis seminggu,” sela suara lain.
Luca, fotografer tinggi jangkung dengan rambut acak-acakan, muncul dari balik kamera. “Tapi serius, Ser, kamu makin cakep. Paris kemarin sukses banget, aku udah dapat bocoran, Madison beneran nanya-nanya kamu.”
Sera berhenti sejenak. “Serius?”
“Iya, katanya suka sama pose kamu waktu di runway. Katanya… natural tapi menggigit, apa pun maksudnya itu.”
Bian langsung nyeletuk, “Maksudnya kamu keliatan kayak penguin yang dikasih aura supermodel.”
Luca ngakak, Sera langsung memukul lengan Bian.
“Bian!”
“Aduh! Nih tangan model internasional jangan dipakai buat kekerasan domestik dong,” protesnya sambil mengelus lengan pura-pura kesakitan.
Tawa kecil keluar dari bibir Sera. Ringan, tapi jujur.
Untuk pertama kalinya hari itu, dadanya nggak sesak.
Tapi di ujung pikirannya, wajah Kalle tetap muncul—dengan tatapan tenang yang justru membuatnya makin bingung.
************************
Pemotretan dimulai. Musik lembut mengalun, lampu-lampu sorot menyorot wajah Sera.
Setiap kali kamera berbunyi klik, senyum profesionalnya muncul seperti tombol otomatis. Tapi di balik semua itu, pikirannya nggak pernah benar-benar diam.
“Bagus banget ekspresinya!” seru Luca dari balik kamera. “Cuma tolong jangan terlalu sedih, Ser. Ini konsepnya elegan, bukan patah hati.”
Sera mengerjap, lalu tertawa kecil. “Sorry, aku nggak sadar. Tadi sempat kepikiran hal bodoh.”
Bian nyeletuk dari belakang monitor, “Hal bodoh itu namanya Kalle, ya?”
Sera melotot. “Bian—!”
“Udah, ngaku aja. Muka kamu tuh udah kayak orang habis ngelihat mantan nggak sengaja pas lagi jelek.”
Semua orang di studio ketawa. Tapi Sera diam.
Nggak bisa disangkal, kata Bian barusan menamparnya pelan tapi dalam.
Setelah sesi selesai, Sera duduk di kursi rias, membuka ikatan rambutnya.
Cermin di depannya menampilkan wajah cantik dengan sisa maskara di bawah mata—tanda lelah yang disembunyikan dari dunia.
“Dia nggak salah, Bian.”
Bian yang duduk di kursi sebelah berhenti memainkan ponselnya. “Siapa?”
“Kalle. Dia nggak salah.”
Bian mengangkat alis. “Oke, ini baru pertama kalinya aku dengar kamu bela dia.”
Sera tersenyum tipis. “Aku cuma… bingung. Dia terlalu tenang, kayak nggak punya amarah. Tapi justru itu yang bikin aku makin kesel.”
“Karena kamu pengin dia marah?”
“Mungkin… biar aku ngerasa dia peduli.”
Bian mendesah. “Ser, kadang orang yang paling diam itu justru yang paling takut kehilangan. Tapi mereka nggak tahu cara ngomongnya.”
Sera tertegun. Kata-kata itu terasa terlalu pas, terlalu benar.
Malamnya, saat Sera pulang ke rumah, lampu ruang tamu masih menyala.
Kalle tertidur di sofa, masih dengan pakaian kerja. Ada laptop terbuka, dan di sampingnya—secangkir kopi yang sudah dingin.
Sera mendekat pelan.
Di meja, ada kertas kecil berisi tulisan tangan Kalle.
“Maaf kalau aku banyak diam. Aku cuma takut kalau aku bicara, aku malah nyakitin kamu lebih dalam.”
Sera menggenggam kertas itu erat. Matanya panas.
Untuk pertama kalinya, ia sadar—mungkin selama ini bukan Kalle yang tidak peduli.
Mungkin justru dirinya yang terlalu sibuk ingin dimengerti, tapi lupa belajar memahami.
**********************
Studio sore itu agak berisik. Musik dance samar-samar terdengar, lampu sorot nyala bergantian, dan di tengah semua itu—Sera berdiri dengan senyum profesionalnya.
Setiap kali klik! kamera terdengar, senyumnya bergeser sedikit. Cantik, tapi kosong.
“Perfect! Tapi jangan sedih banget, Sera. Ini konsepnya classy, bukan galau,” celetuk Luca, fotografer yang selalu kebanyakan gaya.
Sera tertawa kecil. “Sorry, refleks.”
“Refleks mikirin suami, ya?” Bian nyeletuk dari kursi belakang.
Sera menoleh tajam. “Bian, sumpah, kalau kamu nggak diem aku lempar tripod.”
“Tenang, aku cinta damai. Tapi serius, Mbak, wajah kamu tuh kayak orang baru diputusin, padahal udah nikah.”
Semua kru ketawa.
Tapi di balik tawa itu, Sera tahu—ada bagian dari hatinya yang masih sakit.
Selesai pemotretan, dia duduk di depan cermin ruang rias. Make-up mulai luntur, rambut acak-acakan, tapi justru di situ dia merasa paling jujur.
Bian menyodorkan air putih sambil duduk di sebelah.
“Masih mikirin Kalle?”
Sera menatap pantulan wajahnya sendiri. “Dia terlalu tenang. Aku ngomel, dia diam. Aku nangis, dia cuma bilang ‘udah ya’.”
“Dan kamu pengin dia marah?”
“Mungkin. Biar aku tahu dia masih peduli.”
Bian ngangguk pelan. “Kadang orang yang paling diam itu justru yang paling takut kehilangan. Cuma mereka nggak tahu gimana ngomongnya.”
Sera terdiam. Dadanya terasa sesak—karena mungkin kata-kata itu benar.
Malamnya, rumah sudah sepi.
Kalle tertidur di sofa dengan posisi yang sama. Ada gurat kelelahan yang tidak bisa di sembunyikan dari wajak Kalle.
Ingin rasanya dia menyentuh wajah pria itu. Enam bulan pernikahan mereka belum ada momen keintiman. Kalle seolah ingin menepati janji awal sebelum mereka menikah.
janji yang di buatnya bukan yang di sepakati bersama. Kalle hanya mengikuti, dia bukan actor utama. Tapi justru karena bukan yang utama untuk Sera. perasaan aneh dalam hatinya mulai tumbuh.
please, Sera. jangan jatuh cinta padanya.