Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Mansion Pentronas
Mobil berhenti tepat di depan teras mansion yang luas, Rafael turun dengan tergesa-gesa. Membuka kancing jasnya, lalu menarik pintu mobil dengan kasar, menarik lengan Arunika membawa wanita itu turun dari mobil.
Langkah-langkah sepatu hitam Rafael bergema di marmer dingin lorong mansion Pentronas. Para bodyguard menunduk, pura-pura tak melihat ketika sang bos menyeret Arunika kasar. Hanya desiran napas dan dentuman jantung Arunika yang terdengar di telinganya sendiri.
“Lepaskan aku, Rafael! Kau keterlaluan!” Arunika berontak, tapi tubuhnya terangkat begitu saja ke pelukan Rafael seakan ia hanya sehelai kain ringan.
Pintu lift langsung terbuka, begitu mereka tiba di depan pintu. Tanpa kata, Rafael membawanya masuk, lalu menekan tombol paling atas. Tatapannya lurus ke depan, rahang mengeras, aura dingin mematikan. Arunika menggigit bibir, menahan gemetar.
'Sial … aku takut, tapi aku tidak boleh terlihat kalah.'
Begitu pintu lift terbuka, Rafael menendang pintu kamar hingga terbuka, lalu melempar tubuh Arunika ke ranjang empuk dengan kasar. Kasur mewah itu seolah tak mampu meredam dentuman tubuhnya. Arunika bangkit setengah duduk, rambutnya berantakan, matanya memancarkan perlawanan. Namun, senyum tipis muncul di bibirnya. Senyum menantang, senyum menggoda.
“Apa begini caramu memperlakukan istrimu, Rafael?”
Rafael terdiam sesaat, kening berkerut. Lalu perlahan melepaskan dasinya. Satu per satu kancing kemejanya terbuka, memperlihatkan dada bidang penuh luka-luka lama. Tatapannya membakar, campuran marah dan hasrat.
Dia naik ke atas ranjang, menekan dagu Arunika hingga wajahnya mendongak. Bibir mereka bersatu dalam ciuman kasar, tak ada kelembutan, hanya kepemilikan. Nafas Arunika tercekat, tubuhnya menegang, tapi ia memaksa dirinya merespons, membalas, karena ia tahu melawan frontal hanya akan membuat Rafael semakin bringas.
'Rafael ini bukan pria yang bisa dijinakkan dengan tangisan … tapi mungkin dengan permainan.'
Rafael semakin menekan, hingga Arunika merasa seakan tenggelam. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena takut, tapi juga karena Rafael berhasil meruntuhkan pertahanan logikanya.
Di balik senyumnya, Arunika merasakan sakit, takut, sekaligus getir. Tapi ia tidak menyerah, justru ia memilih untuk bertahan dengan cara paling berbahaya, menggoda singa buas di hadapannya.
Rafael sendiri tak sadar bahwa setiap desah, setiap tatapan menantang Arunika, justru semakin menjeratnya ke dalam permainan yang dikuasai perempuan itu.
Malam merayap pelan di kediaman Pentronas. Langit gelap, hanya diterangi bulan sabit pucat yang menyelinap di balik awan. Di kamar utama, Arunika terbaring lemah, tubuhnya masih tertutup selimut satin tebal, wajahnya setengah tersembunyi di balik helai rambut kusut. Nafasnya teratur, tapi ada bekas resah di sana, antara lelah, sakit, dan perasaan asing yang sulit dijelaskan.
Rafael berdiri di sisi ranjang, mengenakan jubah tidur hitam yang longgar, sabuk kainnya terikat seadanya di pinggang. Tatapannya singkat mengamati Arunika yang terlelap, sebelum akhirnya ia berbalik, mengambil kartu kamar, dan melangkah keluar.
Di luar, Marco sudah menunggu dengan postur tegak, setia seperti bayangan. Begitu pintu terbuka, ia segera menyodorkan sebungkus rokok dan pemantik.
“Tuan.” Suaranya datar, penuh hormat.
Rafael mengambil sebatang, meletakkannya di bibir, lalu menyalakan api. Nyala oranye sebentar menerangi rahang kerasnya, sebelum asap putih mengepul di udara dingin malam. Tanpa bicara, Rafael berjalan ke arah balkon koridor lantai dua. Balkon itu panjang, dikelilingi pilar batu, dengan pemandangan taman luas yang sunyi. Ia duduk di kursi kayu besar, kaki disilangkan, seolah menguasai dunia bahkan di dalam diamnya.
Tak lama, seorang pelayan tua masuk. Langkahnya hati-hati, kedua tangannya menenteng nampan berisi secangkir kopi hitam panas dan segelas air putih, bersama beberapa butir obat dalam wadah kecil. Pelayan itu menunduk dalam-dalam saat meletakkan nampan di meja samping Rafael.
“Sudah, Tuan.” Suaranya lirih, lalu ia mundur pergi.
Rafael menatap kopi itu sebentar. Ia mengembuskan asap rokok pelan, lalu menatap butiran obat. Jemarinya terulur, mengambil satu, lalu memasukkannya ke mulut. Segelas air menyusul, mendorong obat itu masuk ke tenggorokan.
Marco yang memperhatikan mengerutkan kening tipis.
"Anda masih mengonsumsinya, Tuan?”
Rafael meliriknya singkat, mata gelapnya menajam, tapi tak menjawab. Dia hanya kembali meneguk kopi hitam itu, bibirnya seakan pahit oleh sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kafein. Marco, yang sudah bertahun-tahun mendampingi Rafael, tak tahan untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Nyonya Arunika tidak tahu, kan? Kalau Anda … mengkonsumsi obat itu,"
Hening sejenak, angin malam meniup tirai tipis di balik balkon. Rafael hanya mengembuskan asap rokok sekali lagi, kali ini lebih panjang, lebih berat.
Marco melanjutkan dengan hati-hati, “Apa rencana Anda selanjutnya, Tuan? Hubungan Anda dengan Nyonya … perjanjian Anda dengan Tuan Roman … semuanya masih abu-abu. Dan keluarga Arummuda pasti sedang bergerak. Apa Anda berniat merencanakan sesuatu?”
Ucapan itu menggantung, sengaja ia tahan agar Rafael yang melengkapinya. Namun Rafael tetap tak menjawab. Ia hanya menoleh perlahan, menatap Marco dengan dingin tatapan yang cukup untuk membuat siapa pun memilih diam.
Seketika, Marco menunduk.
“Baik, saya sudah mengerti.”
Suasana kembali hening, hanya suara detik jam dan gemerisik daun di luar. Rafael menyandarkan punggungnya, menghabiskan rokok sampai ujungnya nyaris membakar jarinya. Setelah itu ia menjepit puntungnya, mematikannya di asbak perak, lalu bersuara pelan namun penuh tekanan.
“Awasi dia.”
Marco mendongak, memastikan maksud ucapannya.
“Nyonya Arunika, Tuan?”
Tatapan Rafael kembali lurus ke taman yang gelap, namun suaranya tajam, tanpa keraguan.
“Ya. Setiap langkahnya ... Setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku ingin tahu … kalau dia mencoba bermain-main di belakangku.”
Marco mengangguk mantap, meski di dalam hatinya muncul satu pertanyaan yang ia tahan keras-keras.
'Apa Tuan Rafael benar-benar melindungi Nyonya Arunika … atau hanya menjadikannya bagian dari rencana yang lebih besar?'
Rafael meneguk kopi untuk terakhir kalinya. Malam terasa lebih dingin, dan di antara asap rokok yang perlahan memudar, hanya ada satu hal yang jelas, dia tidak akan memberikan celah apapun untuk Arunika lolos dari genggamannya.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh