NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Panas siang menekan halaman Pondok Nurul Falah, membuat tanah yang lembap oleh kabut semalam mulai menguapkan bau khas tanah basah bercampur dedaunan busuk. Para santri berlarian ke arah kelas, membawa kitab masing-masing. Namun, tak seperti biasanya, bisik-bisik bertebaran di setiap sudut. Topik mereka satu: Dilara.

“Katanya jilbabnya kotor kena darah, ya?”

“Ih, ngeri banget. Dia sebenarnya ngapain sih sampai kayak gitu?”

“Udah jelas, pasti ada yang disembunyiin.”

Dilara berjalan menunduk di antara kerumunan itu. Setiap langkahnya terasa berat, seakan seluruh bumi menertawakannya. Salsa berjalan di sampingnya, mencoba memberi keteguhan, sementara Mita menatap tajam siapa saja yang berani melempar komentar. Tapi tetap saja, bisikan itu menusuk, seperti duri yang menancap ke kulit.

Wulan berdiri tak jauh, bersama gengnya—tiga santri lain yang selalu menempel padanya: Nisa, Rara, dan Ayu. Mereka berbisik-bisik, lalu pura-pura terdiam begitu Dilara lewat. Wulan tersenyum tipis, sorot matanya penuh kemenangan.

“Eh, hati-hati, jangan deket-deket,” bisik Rara dengan suara cukup keras untuk terdengar. “Nanti kita kena apes juga.”

Santri lain tertawa kecil. Beberapa bahkan menutup hidung, seakan-akan Dilara membawa sesuatu yang menjijikkan. Wajah Dilara semakin memerah, matanya panas, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Salsa menggenggam lengannya erat-erat, memberi kekuatan.

Namun Wulan tidak berhenti di situ. Setelah jam pelajaran selesai, saat para santri menuju dapur umum untuk makan siang, Wulan melangkah cepat ke arah meja tempat Dilara duduk. Ia membawa nampan penuh lauk, lalu dengan gerakan seolah tidak sengaja, ia menyenggolnya tepat ke arah jilbab Dilara.

Ceburan kuah sayur panas mengenai jilbab dan lengan baju Dilara. Santri lain serentak berseru kecil.

“Astaghfirullah! Ih, kotor banget!”

Dilara terlonjak kaget, mencoba membersihkan jilbabnya dengan tisu seadanya. Wajahnya menahan sakit sekaligus malu. Salsa hendak memarahi, tapi Wulan lebih dulu bersuara dengan nada manis—palsu.

“Ya Allah, maaf, Lara. Aku nggak sengaja, sumpah.” Senyumnya samar, tapi matanya penuh ejekan. “Tapi… kok jilbabmu gampang banget kotor, ya? Dari kemarin-kemarin juga begitu. Kayaknya memang—” ia berhenti sejenak, menoleh ke teman-temannya, lalu menambahkan dengan nada pelan tapi bisa didengar jelas, “—udah biasa kena noda.”

Tawa kecil terdengar. Beberapa santri menutup mulut menahan senyum. Rani yang duduk agak jauh hanya bisa menunduk, hatinya berdegup kencang. Ia tahu semua ini salah, tapi ketakutan pada ancaman Wulan membuatnya memilih bungkam.

Dilara akhirnya berdiri, membawa nampan kosongnya ke tempat cuci. Ia tidak makan sedikit pun. Salsa dan Mita mengejar, berusaha menenangkan. Tapi di mata Dilara, hanya ada perasaan hancur—seperti seluruh pondok bersekongkol melawan dirinya.

Malam itu, suasana asrama putri terasa berat. Beberapa santri berkumpul di pojok, membicarakan sesuatu sambil sesekali melirik ke arah Dilara. Kata-kata mereka lirih, tapi penuh tuduhan.

“Katanya besok Ummi Latifah mau manggil walinya.”

“Ih, gila, kalau sampai dikeluarin, berarti bener dong tuduhannya.”

“Kasihan sih, tapi ya gimana… daripada nyeret nama pondok.”

Dilara mendengar semuanya dari balik tirai ranjangnya. Ia menggigit bibir hingga berdarah, menahan tangis agar tidak terdengar. Salsa dan Mita duduk di sebelahnya, mencoba menenangkan, tapi rasa sesak itu terlalu dalam.

Saat hampir tengah malam, ketika kebanyakan santri mulai terlelap, Wulan diam-diam menyusup ke sisi ranjang Dilara. Ia menyingkap tirai dengan senyum dingin.

“Tidur nyenyak, Lara?” bisiknya. Dilara terkejut, menoleh dengan mata bengkak. Wulan menunduk lebih dekat, suaranya tajam menusuk.

“Besok, semua orang akan percaya kalau kamu bukan cuma bawa sial… tapi juga bahaya. Dan waktu itu datang, bahkan Gus Zizan pun nggak bakal bisa nolong kamu.”

Dilara tercekat. “Kenapa… kenapa kamu lakuin ini ke aku?” suaranya bergetar.

Wulan tersenyum miring. “Karena aku bisa. Karena semua orang lebih percaya aku daripada kamu.” Ia menepuk pipi Dilara pelan, lalu berdiri, meninggalkan ranjang itu seolah tak terjadi apa-apa.

Dilara menutup wajahnya dengan bantal, menangis tanpa suara.

Keesokan paginya, sebuah kejadian kembali mengguncang. Saat semua santri bersiap untuk mengaji pagi, tiba-tiba terdengar teriakan dari gudang alat kebersihan.

“Astaghfirullah! Lihat ini!”

Beberapa santri berlari, dan segera kabar menyebar: ada sapu bergagang kayu yang patah, ujungnya bernoda merah, mirip darah kering. Di sampingnya, ada sepotong kain kecil hitam—robekan yang persis seperti jilbab milik Dilara.

Bisik-bisik kembali bergema. “Ya Allah, makin jelas aja.” – “Astaghfirullah, ngeri banget.” – “Dilara itu sebenarnya siapa sih?”

Ummi Latifah dipanggil. Wajahnya tegang ketika melihat benda itu. Santri berkumpul, dan sekali lagi, Wulan yang paling keras bersuara.

“Ummi… saya nggak mau nuduh, tapi kain ini… bukankah mirip dengan jilbab Dilara kemarin? Kalau memang bukan punya dia, kenapa bisa ada di sini?”

Semua mata serempak menoleh pada Dilara. Gadis itu berdiri kaku, wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar. “Itu… itu bukan punya saya! Saya nggak pernah ke gudang itu!”

“Bohong!” salah satu santri tiba-tiba bersuara. “Kemarin sore aku lihat kamu lewat belakang, kan? Deket gudang juga!”

"Hei jangan nuduh ya!!" Salsa marah, wajahnya merah padam menatap mereka yang menuduh Dilara.

"Halah, kamu jangan belain dia terus Sal, dia itu pemain handal,"

Dilara menoleh, kaget. “Aku cuma—aku cuma buang sampah! Aku nggak—”

Tapi ucapan itu terpotong oleh riuh suara santri lain. Suasana semakin panas. Ummi Latifah mengangkat tangan, mencoba menenangkan, tapi jelas sekali pandangannya penuh kecurigaan.

Di tengah kekacauan itu, Rani berdiri kaku di sudut, wajahnya pucat. Kata-kata Wulan semalam terngiang lagi: “Kalau kamu mundur, aku pastikan semua orang tahu siapa yang ikut naruh bukti.” Air matanya menetes. Ia ingin bicara, ingin mengaku, tapi ketakutan menahannya.

Kabar segera sampai ke Gus Zizan. Ia datang dengan wajah tegas, ditemani Devan. Melihat kerumunan, ia langsung meminta semua santri bubar. Hanya tinggal Dilara, Ummi Latifah, dan beberapa ustadzah yang mendampingi.

“Benda ini…” Gus Zizan menunjuk sapu dan kain, “…lagi-lagi ditemukan di tempat mencurigakan. Dan lagi-lagi, semua menuduh Dilara. Tapi saya sudah bilang: jangan buru-buru menuduh tanpa bukti jelas.”

Ummi Latifah menghela napas berat. “Tapi, Gus… pondok ini harus dijaga namanya. Kalau benar ada santri yang menyimpan hal-hal berbahaya—”

“Dan kalau ternyata ada santri yang memfitnah?” potong Gus Zizan, matanya tajam menatap kerumunan yang masih mengintip dari jauh. “Dosa fitnah lebih besar dari pembunuhan, Ummi. Kita harus hati-hati.”

Dilara menunduk, bahunya bergetar. Untuk pertama kalinya, ia berani bersuara, meski pelan. “Saya tidak pernah melakukan semua itu, Gus. Demi Allah, saya tidak pernah.”

Gus Zizan menatapnya lama, lalu mengangguk. “Saya percaya.” Ucapannya tegas, membuat Dilara tersentak. Air matanya jatuh, kali ini bukan hanya karena sakit, tapi juga karena lega—ada seseorang yang berdiri untuknya.

Tapi di kerumunan jauh, Wulan mengepalkan tangan. Tatapannya penuh kebencian. Rencananya lagi-lagi hampir gagal karena Gus Zizan. Ia harus mencari cara lain, cara yang lebih kejam, agar Dilara benar-benar hancur.

Malam berikutnya, bullying itu tidak berhenti. Saat Dilara berjalan sendirian menuju kamar mandi, tiba-tiba air dingin tercurah dari ember yang dijatuhkan dari lantai atas. Tubuhnya basah kuyup, jilbabnya menempel ke kulit. Tawa cekikikan terdengar dari atas—samar, tapi jelas.

“Kasihan, basah kuyup. Kayak kucing kehujanan.”

Dilara menggigil, air matanya bercampur dengan air yang menetes dari wajahnya. Ia berlari ke asrama, menutup pintu, lalu menangis sendirian. Salsa dan Mita datang, terkejut, lalu memeluknya. Tapi trauma itu sudah terlanjur menancap.

Kenapa semua ini terjadi padaku?

Sementara itu, di kamar Wulan, suasana berbeda. Ia duduk di ranjang dengan senyum puas, sementara gengnya menahan tawa.

“Besok, kita buat yang lebih besar,” bisiknya. “Biar semua orang yakin, Dilara itu memang biang masalah.”

Rani yang ikut duduk di sudut hanya bisa menangis pelan. Hatinya hancur, tapi mulutnya terkunci. Ia terjebak semakin dalam.

Hari-hari berikutnya, tekanan pada Dilara semakin berat. Ia diejek, dijauhi, bahkan ada yang sengaja menaruh bangkai tikus di dalam lemarinya. Semua santri berpura-pura tak tahu siapa pelakunya, tapi tatapan mereka jelas: semua mengarah padanya.

Namun, di balik semua itu, Gus Zizan tidak tinggal diam. Ia dan Devan diam-diam menyelidiki. Setiap malam, mereka berjaga di sekitar pagar barat dan gudang. Mereka mulai menemukan jejak: sandal kecil berbekas lumpur, kain seragam dengan potongan benang yang sama dengan milik Wulan, dan percakapan samar yang mereka dengar dari jauh.

Sampai pada suatu malam, saat kabut kembali turun, mereka melihat dua bayangan bergerak menuju gudang. Gus Zizan memberi isyarat pada Devan, lalu mereka mendekat pelan. Dan di sana, mereka melihat dengan jelas—Wulan dan Rani, membawa plastik hitam lain.

Jebakan baru.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!