Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sepuluh
Khanza masuk ke kamar mandi untuk mengambil air seninya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Takut jika apa yang tak dia inginkan akan menjadi kenyataan. Sementara itu Vania menunggu di ruang praktek dokter dengan memegang tespek. Dia memang tak langsung memberikan pada Khanza, karena tak mau wanita itu syok jika melihat hasilnya sendirian.
Vania tampak termenung. Dia juga sebenarnya takut jika apa yang dia pikirkan itu akan jadi kenyataan. Dia tak tahu bagaimana hancurnya hati Khanza jika memang dia hamil.
Khanza keluar dengan membawa air seninya yang berada di sebuah wadah. Dia duduk di hadapan Vania.
"Mbak, kenapa tak berikan tespek-nya padaku saja?" tanya Khanza dengan suara pelan. Tenaganya seakan terkuras, memikirkan kenyataan yang akan dia hadapi.
"Biar aku saja yang melakukannya. Mana air senimu?" tanya Vania.
Dengan ragu, Khanza akhirnya menyerahkan air seni yang tadi dia tampung. Vania lalu membuka bungkusan tespek. Dia lalu mencelupkan ke air itu. Keduanya tampak termenung, larut dalam pikiran masing-masing.
Setelah beberapa saat, Vania lalu mengangkat tespek dari dalam air seni-nya Khanza. Dia melihat hasilnya. Wajahnya tampak berubah.
"Gimana hasilnya, Mbak? Katakan saja. Aku siap untuk, sekali pun itu berita paling buruk yang harus aku terima."
Khanza menarik napas dalam. Dia sudah tahu hasilnya dari melihat perubahan di wajah sang dokter. Dia langsung menangis histeris.
"Kenapa semua ini harus terjadi denganku, Mbak? Apa salahku?" tanya Khanza dengan terbata.
Vania hanya bisa terdiam, hatinya serasa diiris-iris melihat air mata yang mengalir deras di wajah Khanza. "Khanza, kita harus bicara tentang ini," kata Vania dengan suara yang lembut, mencoba menenangkan Khanza yang terus menangis.
Tapi Khanza tidak bisa menahan emosinya, dia terus meratapi nasibnya yang tampaknya tidak berpihak padanya. "Mengapa aku harus mengalami semua ini?" ratapnya, suaranya penuh dengan kesedihan dan keputusasaan.
Vania menarik napas dalam-dalam, mencoba memberikan dukungan kepada Khanza. Dia berdiri dari duduknya dan mendekati wanita itu. "Kita akan melewati ini bersama, Khanza. Aku ada di sini untukmu," katanya, sambil memeluk Khanza erat-erat.
Khanza terus menangis, tapi pelan-pelan dia mulai menenangkan dirinya. "Apa yang harus aku lakukan, Mbak?" tanyanya dengan suara yang masih terguncang. "Hidupku hancur. Aku tak mau anak ini!"
Vania memandang wajah Khanza dengan serius. "Kita harus membuat rencana, Khanza. Kita harus memikirkan tentang masa depanmu dan ... bayi ini," kata Vania, suaranya penuh dengan kepedulian.
Khanza menatap Vania, matanya masih basah oleh air mata. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Mbak. Aku merasa seperti tersesat di jalan yang tidak kukenal," kata Khanza dengan suaranya yang penuh dengan keraguan.
Khanza melepaskan pelukan Vania. Dia lalu memukul perutnya dengan keras.
"Aku gak mau anak ini. Aku tak mau dia ada di rahimku. Aku tidak siap!"
Khanza terus memukul perutnya. Vania lalu mencoba menahan tangannya agar tak memukul perut lagi.
Vania berhasil menangkap tangan Khanza dan menahannya dengan kuat. "Khanza, berhenti! Jangan lakukan itu, kamu bisa menyakiti diri sendiri dan bayi ini," kata Vania dengan nada yang tegas namun penuh kepedulian.
Khanza berusaha melepaskan diri dari pegangan Vania, tapi Vania tidak melepaskannya. "Khanza, aku tahu kamu sedang kesal, tapi melakukan kekerasan pada diri sendiri tidak akan menyelesaikan masalah," kata Vania.
Khanza akhirnya berhenti melawan dan membiarkan dirinya dipeluk oleh Vania. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Mbak. Aku merasa terjebak dalam situasi ini," katanya dengan suara yang terguncang.
Vania memeluk Khanza erat-erat, mencoba memberikan rasa aman dan nyaman. "Kita akan mencari jalan keluar bersama, Khanza. Aku ada di sini untukmu," kata Vania dengan suara yang penuh kasih sayang.
"Aku tak mau anak ini," ucap Khanza pelan.
Tiba-tiba tubuhnya luruh ke lantai. Khanza akhirnya tak sadarkan diri. Vania lalu keluar kamar pemeriksaan dan memanggil Dewi dan Susi. Dia juga memanggil penjaga rumahnya. Dia meminta tolong mengangkat tubuh Khanza ke kamar.
Vania meminta Dewi dan Susi yang menangani jika ada yang periksa kandungan. Keduanya kebetulan bidan. Menyambut kelahiran juga mereka sanggup dan mampu.
Khanza masih tak sadarkan diri. Vania lalu menghubungi Dipta, mengatakan apa yang terjadi. Dia hanya ingin berbagi, tak meminta pria itu datang.
Tapi tanpa di duga, Dipta langsung datang. Begitu sampai di rumah Vania, dia bertanya dengan bibi. Di mana Khanza.
Vania yang kebetulan ada pasien langganannya datang memeriksa, meninggalkan Khanza di kamar. Jadi tak mengetahui jika Dipta langsung masuk ke sana.
Dipta meraih tangan Khanza. Menggenggamnya erat. Dia memandangi wajah wanita itu dengan tatapan mengiba.
"Khanza, kamu harus kuat. Aku akan ada di sini bersamamu. Kita hadapi semua bersama. Kamu tak boleh putus asa," ucap Dipta.
Vania yang baru selesai memeriksa pasien kembali ke kamar Khanza. Dia melihat Dipta yang sedang memandangi wajah wanita itu dengan tatapan yang sangat berbeda. Rasa cemburu menghinggapi hatinya, tapi cepat dia tepis.
"Vania, kamu tak boleh cemburu. Seperti kata Dipta, dia menyayangi Khanza sama seperti diriku, tapi tetap yang istimewa dihatinya cuma aku," ucap Vania bermonolog pada dirinya sendiri.
"Hhhmmm ...," dehem Vania. Dia sengaja melakukan itu agar Dipta menyadari kehadirannya. Pria itu terlalu fokus sehingga tak menyadari kehadirannya.
"Vania, bagaimana keadaan Khanza? kenapa dia sampai pingsan?" tanya Dipta dengan suara yang kuatir.
"Semua karena respons tubuh yang berlebihan terhadap rasa takut atau kejutan yang mendadak. Kejutan yang kuat bisa menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, yang mengurangi aliran darah ke otak dan itulah yang menyebabkan dia pingsan."
"Kasihan Khanza, baru saja dia bisa berdamai dengan apa yang dialami, dia harus menerima kenyataan yang lebih pahit lagi," ucap Dipta pelan.
Khanza membuka matanya. Dia menatap Dipta dengan tatapan kosong.
"Khanza, akhirnya kamu sadar," ucap Dipta dengan suara pelan.
"Mas, kenapa harus aku yang mengalami semua ini. Tidak cukupkah penderitaan yang aku alami selama ini. Kurang apa lagi cobaan yang aku hadapi. Aku lahir kedunia tanpa tahu siapa orang tuaku. Aku besar tanpa kasih sayang. Aku harus menghadapi kerasnya hidup ini sendirian. Kenapa harus aku lagi yang menerima cobaan ini. Apakah aku tak berhak bahagia?"
Khanza bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.
"Kenapa mereka jahat padaku, Mas? Padahal aku tak pernah jahatin mereka. Aku tak pernah merampas hak orang, aku tak pernah melukai orang. Tapi kenapa Tuhan tetap menghukum'ku," ucap Khanza lagi.
Melihat Khanza yang begitu rapuh, Dipta tak tega dan merasa kasihan. Dengan refleks dia membawa wanita itu ke dalam pelukannya.
Dan Lily ini ibu dari Dipta sendiri
semangat vania
saya Khanza...eh salah..saya khenzo 😁🤣😅🙏
vania semoga km menemukan jodoh yg baik di tempat yg baru ya