Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ironis
Keesokan harinya, mentari pagi menyinari Kota Nine Treasures Paviliun City, memantulkan kilauan keemasan dari bangunan-bangunan tinggi yang bergaya mewah bak istana kerajaan. Langit cerah, awan putih melayang malas, dan udara pagi terasa segar, dibalut aroma rempah dan wewangian khas pasar kota.
Feng Jian melangkah keluar dari penginapan Anggrek Merah. Jubah putih dengan pola naga emas yang membalut tubuhnya tampak berkilau di bawah cahaya matahari. Rambutnya yang terikat rapi oleh ikat naga emas bergoyang ringan ditiup angin. Setiap langkahnya tampak tenang, namun penuh wibawa. Dan seperti biasa, tatapan orang-orang di jalan mulai tertuju padanya.
Wanita-wanita muda menutupi mulut mereka, berbisik-bisik kecil sambil memandangi wajah tampan Feng Jian yang nyaris sempurna, sementara para pria hanya bisa menatap kagum atau iri, merasa ada seseorang dari dunia yang berbeda telah turun ke tengah-tengah mereka.
Namun Feng Jian tak menghiraukannya. Ia hanya menikmati suasana kota besar ini, pusat perdagangan dunia kultivasi.
Ia membeli buah berwarna ungu cerah dari seorang pedagang tua, dan saat menggigitnya, rasa manis yang meledak di lidahnya membuatnya hampir tak percaya. “Buah di dunia ini… manisnya seperti madu murni." gumamnya pelan.
Di sudut jalan, ia melihat seorang anak kecil menangis panik di atas atap bangunan dua lantai. Dengan ringan, Feng Jian melompat naik menggunakan Langkah Angin Bayangan, mengangkat anak itu dan menurunkannya ke pelukan ibunya. Warga sekitar bertepuk tangan, tersenyum, dan memberikan tatapan penuh kekaguman pada pemuda tampan itu yang tak hanya kuat… tetapi juga berhati mulia.
Ia berjalan melewati toko senjata dan melihat-lihat bilah pedang, tombak bercahaya, hingga busur bermaterial tulang naga. Dan ketika Feng Jian masuk ke salah satu paviliun yang menjual Pill, aroma khas dari Pill spiritual menyeruak, membuat tubuhnya hangat dan pikirannya jernih. “Inilah dunia kultivasi yang sesungguhnya.” pikirnya.
Lalu pandangannya tertuju pada satu tempat di sisi timur paviliun besar, sebuah arena pertarungan resmi. Bangunannya melingkar, luas dan dijaga oleh banyak kultivator kuat. Spanduk merah menyala bertuliskan. Arena Taruhan Resmi, Keberanian Menentukan Nasib.
Feng Jian masuk, matanya menyapu arena pertarungan itu. Di dinding terpajang berbagai peraturan:
Taruhan harus adil: Pill dilawan dengan Pill setara, senjata dengan senjata, Batu Roh dengan jumlah sepadan.
Dilarang membunuh.
Jika membunuh, maka pelaku akan dikenakan hukuman berat kecuali jika ia berasal dari klan besar, sekte kuat, atau bangsawan.
Feng Jian mengernyit.
"Hukum hanya untuk yang lemah... dan yang kuat bisa berbuat sesuka hati."
Dunia ini memang kejam dan tidak adil, pikirnya. Tapi di balik semua itu, ia melihat peluang.
Dengan wajah tenang dan senyum tipis di bibirnya, Feng Jian melangkah masuk lebih dalam ke arena pertarungan itu.
“Kalau begitu.” batinnya, “aku akan gunakan aturan dunia ini untuk memulai langkahku.”
Feng Jian berdiri terpaku di depan papan besar tempat peraturan arena tertulis jelas. Matanya menelusuri tiap kata yang terukir dengan tinta spiritual yang memancarkan aura otoritas. Namun, satu kalimat membuat napasnya tertahan:
"Pembunuhan dilarang... kecuali bagi mereka yang memiliki latar belakang kuat atau berasal dari klan bangsawan."
Pupil mata Feng Jian menyempit. Tangannya mengepal perlahan.
"Jadi begini kah dunia ini bekerja?" batinnya. "Selama kau berdiri di atas puncak kekuasaan... tak ada yang bisa menyentuhmu, bahkan nyawa orang lain hanyalah angka bagimu."
Langkah kakinya perlahan menjauh dari papan itu. Ia kembali ke tempat duduk penonton, memilih bangku di deretan tengah yang memberikan pandangan luas ke arena. Dan saat ia duduk, suara sorakan dan jeritan membahana memenuhi ruang pertarungan.
Di bawah sana, seorang pemuda lusuh dengan wajah penuh luka tersungkur di tanah. Tubuhnya gemetar, nafasnya tercekat. Di depannya, berdiri seorang pemuda lain dengan jubah ungu kebesaran bangsawan, lambang klan Lei terpampang jelas di dada kirinya.
Bangsawan itu menendang dada lawannya dengan kejam, membuat tubuh kurus itu terguling di tanah berdebu. Darah menyembur dari mulutnya.
“Sudah cukup!” teriak seseorang dari penonton.
Namun wasit seorang pria paruh baya berkultivasi tinggi yang berdiri di sisi arena tidak bergeming sedikit pun. Matanya kosong, seolah tak melihat apa pun. Seolah… takut.
Feng Jian menatap dengan dingin, tatapan matanya tajam seperti bilah pedang yang tertahan dalam sarungnya. Ia bisa merasakan tekanan kuat dari bangsawan itu, kultivasi yang jauh di atas miliknya sekarang. Bahkan, mungkin satu pukulan saja sudah cukup untuk membunuh dirinya.
Ia mengepalkan tinju. Gigi gerahamnya menggertak pelan.
"Inilah kenyataan dunia ini... tempat yang menjunjung tinggi kekuasaan lebih dari keadilan. Bahkan hukum tunduk pada darah bangsawan."
Namun ia tahu, sekarang bukan waktunya untuk bergerak. Ia masih terlalu lemah. Jika ia melawan sekarang, bukan hanya akan kalah tapi juga mati sia-sia.
Tapi di lubuk hatinya, sebuah tekad perlahan menyala, seperti bara yang pelan-pelan berubah menjadi nyala api.
"Aku akan naik ke atas... hingga tak ada lagi aturan yang bisa menginjak-injakku. Dan saat hari itu tiba..."
Matanya menatap langit arena, tinggi dan luas.
"Bahkan langit pun harus tunduk padaku."
Di sisi lain arena yang bising dan penuh hiruk-pikuk sorakan, sebuah bangku terpencil dipenuhi para tamu khusus dan bangsawan muda dari berbagai klan. Di antara mereka, duduk seorang gadis berpenampilan tenang namun memikat, Qin Aihan.
Angin lembut membelai rambut hitam panjangnya yang terurai rapi, poni di dahinya bergerak samar mengikuti hembusan udara. Mata kuning terangnya menatap ke tengah arena, tempat seorang kultivator biasa tengah dipukuli tanpa ampun. Kedua alis Qin Aihan yang halus itu saling merapat, membentuk ekspresi tidak suka. Jubahnya yang bersulam huruf Qin bergoyang pelan seiring tubuhnya yang sedikit menegang.
"Menggelikan..." batinnya getir. "Hanya karena dia bukan bangsawan, nyawanya bisa dianggap tak berharga?"
Kemarahan menyala di matanya. Ia ingin turun ke arena. Ia ingin menghentikan pertarungan itu. Tapi… tangan halusnya hanya mengepal di pangkuan. Ia tahu betul keluarga Qin belum cukup kuat untuk menentang aturan yang ditetapkan Kekaisaran Chen. Menentangnya adalah bunuh diri.
Ia menghela napas panjang, menahan kekesalan yang mengalir deras di dadanya. Namun saat matanya menyapu seisi arena, tiba-tiba jantungnya seakan berhenti berdetak.
Di antara lautan penonton yang penuh suara dan gerakan, satu sosok berdiri mencolok. Duduk tenang, wajahnya tampak berbeda dari semua pria yang ada di sana. Tampan, tenang, dan aura misterius yang entah bagaimana membuatnya tak bisa dialihkan dari pandangan.
Itu Feng Jian.
Qin Aihan terdiam. Jantungnya yang tadi terasa sesak oleh amarah kini berdetak cepat terlalu cepat. Ia bahkan tak sadar tubuhnya sedikit membungkuk, seolah ingin melihat lebih jelas sosok itu.
“Kenapa dia bisa secantik itu…” batinnya gemetar. Mata para wanita di sekitar Feng Jian juga tampak mencuri-curi pandang, membuat hati Qin Aihan terasa tak nyaman, seperti ada bara panas yang menyala di dalam dada.
Pipi halusnya memerah. Tangannya menggenggam sisi jubahnya erat. Napasnya naik turun tak beraturan, wajahnya seperti sedang demam. Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang mendadak muncul dalam dirinya.
Namun perasaan itu tidak mau pergi.
“Feng Jian…” namanya bergema lembut di dalam hati Qin Aihan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, putri keluarga Qin itu merasakan sesuatu yang belum pernah ia pahami sebelumnya, perasaan yang membuat jantungnya tak karuan hanya karena menatap seorang pria.