NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

rahasia didepan keluarga

Danu menunduk sebentar. Lalu mengangkat wajahnya, menatap kedua orang tuanya bergantian. Tatapannya serius, tidak ada lagi keraguan seperti sebelumnya. Ia merasa, ini waktunya.

Akhirnya ia pun menceritakan semuanya, dari awal. Tentang surat misterius yang ia terima, perjalanannya ke desa asing bernama Pagarjati, tentang wanita tua bernama Nyai Laras yang mengaku istrinya, hingga kalung melati yang menghubungkan segalanya dengan sosok Isabella, wanita misterius yang ternyata juga dilihat Nadia dan teman-temannya.

Ia bercerita soal perasaan ganjilnya yang tak kunjung pergi, kemiripan di antara kedua sosok itu, dan firasat kuatnya bahwa keduanya adalah satu, meski dalam wujud berbeda.

Galang hanya berdiri di sampingnya selama itu, sesekali mengangguk pelan saat Danu menyampaikan bagian yang sulit dipercaya. Ia tahu betul apa yang mereka alami bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Begitu Danu selesai, ruangan itu lagi-lagi senyap. Papa Danu menggeleng, perlahan bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah pelan, menatap anak lelakinya dengan sorot tajam yang dipenuhi emosi campur aduk, marah, khawatir, dan bingung.

"Kenapa baru sekarang kamu ceritakan ini, Nu?" suaranya dalam dan bergetar. "Kamu tahu itu bahaya bagi keselamatanmu? Kamu paham tidak, kamu bisa celaka kalau terlalu dalam bermain dengan sesuatu yang kamu nggak mengerti?"

Danu menahan napas, lalu berdiri. Entah keberanian itu datang dari mana, tapi ia tak ingin menghindar. Ia tatap sang papa dengan tegas.

"Tapi kalau memang dia jahat, kenapa justru dia menyelamatkan Nadia, Pa? Dua kali. Bukan sekali. Dan dia nggak pernah sekalipun mencoba menyakiti ku. Dia selalu muncul di saat yang tepat, waktu aku butuh bantuan... waktu Nadia dalam bahaya…"

Papa Danu mendecak pelan, membuang pandangan ke arah jendela. "Justru itu yang paling menakutkan, Danu. Karena sesuatu yang terlihat menyelamatkan… belum tentu tidak punya niat tersembunyi."

"Tapi aku merasakannya sendiri, Pa," Danu menyambung cepat, nada suaranya makin kuat. "Waktu aku di Pagarjati… waktu aku melihat matanya. Dia bukan cuma menyelamatkan. Dia peduli. Bahkan… dia tahu hal-hal tentang ku, yang gak mungkin diketahui orang luar."

"Dan kamu anggap itu normal?" sergah Papa dengan suara tinggi. "Orang asing tahu detail hidupmu, mengaku istrimu, lalu menghilang seenaknya?! Itu bukan kepedulian, Nu. Itu bisa saja obsesi. Bisa saja jebakan. Atau sesuatu yang jauh lebih buruk yang kamu belum mengerti."

Mama memegang lengan suaminya pelan. "Sudah… pelan-pelan. Kita dengarkan dulu. Jangan langsung menilai."

Danu masih berdiri tegak, tapi sorot matanya sedikit menurun. Ia tahu Papanya tidak bermaksud menyakiti dengan kata-katanya. Tapi bagi Danu, rasa ingin tahunya jauh lebih kuat dari rasa takut.

"Pa… aku tahu ini semua terdengar gak masuk akal. Tapi ada sesuatu di balik semua ini. Dan aku harus tahu. Siapa dia sebenarnya. Kenapa dia muncul. Dan kenapa... seperti ada hubungan antara kami, yang bahkan aku sendiri belum paham sepenuhnya."

Papa masih diam, tapi kali ini tidak memotong. Hanya wajahnya yang tampak semakin keras, bertarung antara naluri seorang ayah yang ingin melindungi dan naluri manusia yang mencoba memahami misteri di luar nalar.

Galang akhirnya angkat suara pelan. "Om… saya tahu ini gila. Tapi saya juga lihat sendiri. Kalau Danu gak bohong. Dan Nadia juga nggak delusi. Yang mereka alami… nyata."

Mama Danu mengangguk kecil. "Yang penting sekarang, kita jaga Nadia dulu. Dia butuh tenang. Soal semua ini… kita bahas pelan-pelan."

Papa mendesah berat, lalu kembali duduk. Suaranya kali ini lebih tenang, tapi tetap tajam.

"Kalau kamu mau lanjut cari tahu, Nu… Papa tidak akan melarang. Tapi kamu tidak boleh sendiri. Dan jangan sampai apa pun itu… menyakiti keluargamu, terutama kamu sendiri"

Danu mengangguk perlahan. "Danu janji, Pa. Aku gak akan biarin itu terjadi."

*****

Setelah beberapa jam berlalu, malam perlahan menelan cahaya terakhir hari itu. Rumah sudah sunyi. Dari jendela kamar, lampu-lampu jalan tampak redup, dan suara serangga malam mulai mengisi keheningan. Di dalam kamar, Danu duduk sendirian di sisi ranjangnya, lampu utama menyala terang. Di tangannya, kalung melati itu masih terjaga, terlihat lembut, tapi memancarkan kesan ganjil. Wangi samar bunga itu masih ada, meski telah lama ia temukan.

Ia menatapnya lama. Seolah berharap ada jawaban muncul dari untaian bunga yang telah membawanya ke titik ini. Sosok Nyai Laras. Isabella. Semua bayang-bayang itu muncul silih berganti di benaknya. Ada kerinduan, ada ketakutan… tapi juga ada rasa yang tak bisa ia beri nama.

Pintu kamarnya terbuka pelan. Galang muncul sambil menguap, sudah berganti pakaian tidur tapi belum benar-benar tampak siap beristirahat. Ia masuk tanpa bicara, lalu duduk di kursi meja belajar Danu, memutar badannya menghadap sahabatnya itu.

"Masih kepikiran dia?" tanyanya pelan, nadanya santai tapi penuh pengertian.

Danu tak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam kalung itu sedikit lebih erat, sebelum akhirnya mengangguk.

"Gue ngerasa kayak… ada sesuatu yang belum selesai. Dan entah kenapa, itu semua gak bakal hilang kalau gue tinggalin gitu aja."

Galang mengangguk perlahan. "Gue ngerti, Nu. Gue juga penasaran. Dan percaya gue, kalau lu mutusin buat lanjut nyelidikin ini, gue gak akan ninggalin lu sendirian."

Danu menoleh, sedikit terkejut. "Serius lo?"

Galang tersenyum tipis. "Serius. Tapi..."

Nada suaranya berubah, sedikit lebih serius. "Lo jangan lupa, besok hari terakhir liburan kita. Lusa kita udah harus balik ke kampus. Kegiatan mulai padat lagi. Dan lu tahu sendiri semester ini penting banget buat kita semua."

Danu menghela napas panjang, lalu menunduk. "Iya… itu juga yang bikin gue makin bingung, Lang. Di satu sisi, kuliah itu masa depan gue. Gak bisa main-main. Tapi di sisi lain... ini, semua ini... kayak manggil terus-menerus. Bukan cuma rasa penasaran. Tapi kayak ada... utang jawaban yang belum gue bayar."

Galang tak menjawab langsung. Ia hanya menatap sahabatnya dalam diam, sebelum akhirnya berkata dengan tenang, "Mungkin yang lu butuh sekarang bukan jawaban langsung, Nu. Tapi waktu. Kalau emang ini penting, dan emang ada takdir lu di balik semua ini… dia gak akan hilang. Tapi masa depan juga butuh perhatian. Jangan sampe yang satu nelen yang lain."

Danu diam lama. Pikirannya mengambang di antara wajah Nyai Laras yang misterius, dan suara pengajarnya di kampus yang tegas saat berbicara soal tugas akhir. Semua bercampur jadi satu di kepalanya.

Kalung melati itu kini tergeletak di meja. Danu menatapnya sekali lagi, lalu akhirnya merebahkan diri di kasur nya.

"Gue butuh tidur," katanya pelan. "Besok... mungkin gue bisa lihat semuanya dengan lebih jernih."

Galang berdiri, menepuk bahu sahabatnya. "Gue masih mau nge game di ruang tamu, ya. Kalau butuh apa-apa tinggal panggil."

Danu mengangguk.

Saat pintu kamar menutup, Danu kembali menatap langit-langit kamar nya. Perlahan namun pasti, Danu mulai memejamkan kedua matanya dan akhirnya terlelap, meski pikirannya masih berkecamuk. Tapi di sisi lain, Galang tidak benar-benar menuju ruang tamu seperti yang ia katakan.

Langkahnya justru membawanya ke teras depan.

Pintu ia buka perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Angin malam yang lembut begitu saja menyambutnya. Galang melangkah pelan ke pinggir pagar rumah, memeriksa keadaan sekitar. Jalanan komplek sudah sunyi. Lampu-lampu jalan sesekali berkedip, dan hanya sesekali terdengar suara motor jauh melintas.

Setelah memastikan semuanya aman dan sepi, Galang duduk di bangku kayu panjang di ujung teras. Perlahan ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi terakhir yang belum sempat ia buka sejak tadi siang.

Satu pesan.

Dari Bima.

“Gue perlu bicara penting. Ini masalah desa Pagarjati.”

Galang menghela napas dalam. Pesan itu sudah terkirim beberapa jam lalu. Ia belum membalasnya, karena saat itu situasi sedang sibuk antara masalah Nadia dan keluarga Danu. Tapi sekarang, semuanya kembali ke dirinya.

Alis Galang berkerut. Entah kenapa, kalimat itu terasa lebih dari sekadar ajakan ngobrol. Ia menelan ludah, jempolnya bergerak cepat mengetik balasan:

“Sekarang bisa telpon?“

Terkirim.

Galang menunggu, berharap tiga titik pengetikan segera muncul. Tapi... layar hanya diam. Hening. Tidak ada respons. Ia mengecek status pesan, masih centang dua abu-abu.

Belum dibaca.

Ia menoleh kiri dan kanan, memastikan sekitar masih aman dan sepi, lalu buru-buru mengetuk ikon telepon. Disambungkan ke nomor Bima.

Satu dering...

Dua dering...

Tiga...

Sampai nada sambung keenam, panggilan itu berakhir sendiri. Tidak dijawab.

Galang mengernyit, lalu mencoba sekali lagi. Kali ini sambil berdiri, berjalan perlahan ke ujung teras seperti ingin mencari sinyal lebih baik.

Masih sama.

Nada sambung terdengar... tapi tak kunjung diangkat.

Ia mengetik ulang pesan.

“Bim, gue udah baca pesan lo. Coba kabarin lagi kapan bisa ngobrol. Ini ada kaitan nya soal Danu juga, kan?“

Pesan itu pun hanya berhenti di centang dua. Tak berubah menjadi biru.

Galang menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke tiang teras. Malam ini rasanya makin berat. Sekarang bukan cuma soal Danu, Nadia, atau Nyai Laras... tapi juga sesuatu yang kembali menyeruak dari desa Pagarjati.

Dan Bima, orang yang seharusnya bisa memberi jawaban, justru menghilang di saat penting begini.

Galang menatap langit gelap di atasnya, angin malam mengacak rambutnya pelan.

"Kemana sih lu, Bim...?" gumamnya lirih.

Galang masih menatap layar ponselnya, frustrasi. Suara panggilan terakhir dari Bima barusan lagi-lagi tidak dijawab. Pesan pun tetap belum dibaca. Ia mengusap wajahnya, berbicara pelan pada dirinya sendiri.

"Cepet banget dah ini ilang nya..."

Tiba-tiba... Klik.

Suara pintu utama yang dibuka perlahan tapi cukup terdengar jelas membuat Galang sedikit terlonjak. Ia langsung menoleh ke arah sumber suara.

Ternyata, yang muncul adalah Papa Danu.

"Om Arman?"

"Kaget ya? Maaf… maaf. Om mungkin terlalu keras buka pintunya." ucap lelaki paruh baya itu sambil tersenyum kecil

"Enggak kok, Om. Galang aja yang tadi sedikit melamun," jawab Galang, sedikit canggung, menyelipkan ponselnya ke saku celana.

Papa Danu melangkah mendekat, mengenakan kaus rumahan dan celana panjang santai. Ia mempersilakan Galang duduk kembali di kursi kayu panjang di teras.

"Nggak apa-apa kamu ngobrol atau duduk di sini. Udara malam juga lumayan tenang" ucap beliau sambil ikut duduk di samping Galang.

Galang hanya mengangguk pelan.

Setelah beberapa detik hening, Papa Danu membuka percakapan dengan nada lebih serius. "Om tadi nyari kamu ke kamar Danu. Tapi kosong. Hanya ada Danu yang sudah tidur terlelap. Jadi om yakin kamu pasti ada di luar."

Galang menoleh. "Eh, Om nyari Galang?"

"Iya," jawabnya sambil menatap ke depan, menembus pekatnya malam. "Ini soal Danu."

Galang langsung duduk lebih tegak. "Kenapa, Om?"

Pak Arman menarik napas sebelum bicara. "Om dan tante barusan ngobrol cukup lama. Kami berdua sepakat… ada baiknya setelah ini Danu mulai tinggal satu kos dengan kamu."

Galang tampak terkejut, tapi diam mendengarkan.

"Entah kamu yang pindah ke tempat dia… atau sebaliknya. Yang penting kalian bareng. Om jujur… khawatir," lanjut beliau dengan nada yang perlahan menurun.

Galang mengangguk pelan. Ia tahu benar itu.

"Cerita Danu tadi… soal Nyai Laras, soal semua yang dia alami. Om enggak bisa anggap itu mimpi atau sekadar halusinasi. Terlalu banyak bagian yang terdengar nyata. Dan anak itu... dia bukan tipe yang ngarang-ngarang cerita. Om takut sesuatu terjadi padanya. Om tahu dia keras kepala, berani, tapi dia juga terlalu banyak menyimpan sendiri.” Pandangan pak Arman masih lekat menatap kearah Galang, namun sorot matanya seolah menerawang lebih jauh dari apa yang dia lihat sekarang.

Galang ragu sejenak, lalu menyela, “Tapi Om… Danu itu paling anti dikhawatirkan. Apalagi kalau tahu alasannya kayak begini… dia pasti langsung nolak. Bisa-bisa malah marah kalau tahu saya mengawasi dia."

Pak Arman mengangguk. "Om tahu. Justru karena itu, biar om yang bicara langsung sama dia. Jangan kamu. Om akan coba cari pendekatan yang pas."

Galang terdiam. Ia tahu niat itu baik. Ia sendiri juga khawatir pada sahabatnya. Tapi memang, meyakinkan Danu bukan perkara mudah.

"Besok kalian kembali ke kota kan?" tanya Papa Danu.

"Iya, Om. Masa liburan kami sudah selesai," jawab Galang.

"Nah. Besok pas sarapan, kita bicarakan. Om akan buka topiknya. Biar dia tahu kalian tetap bisa independen, tapi tetap saling jaga. Apalagi… kalau urusan wanita itu belum benar-benar selesai."

Galang tersenyum tipis. "Baik, Om. Galang ikut saja. Asal Danu jangan sampai merasa dia dijaga karena dianggap lemah."

Papa Danu menepuk bahu Galang pelan. "Bukan karena lemah… tapi karena kita sayang."

Mereka sama-sama diam sejenak, membiarkan angin malam menyapa wajah.

Langit masih gelap, tapi terasa ada sedikit ruang tenang di dalam kecemasan mereka malam itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!