Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lorong Bambu
Kali ini, Getot merasakan sedikit nyeri di tangannya, jauh berbeda dari pengalaman sebelumnya yang berujung patah tulang.
"Hah?! Kau benar, Udhet! Aku berhasil melumat batu itu menjadi pasir!" serunya takjub.
"Grokkk..." sahut Udhet.
"Tidak, Udhet. Tanganku hanya terasa sedikit pegal, tidak patah sama sekali. Nah, Udhet, aku berhasil! Apakah Ki Amuraka dulu juga seperti ini?" tanya Getot penasaran.
"Grokk..." jawab Udhet singkat.
"Benarkah? Jadi, Ki Amuraka hanya mampu membuat batu itu berserakan menjadi puing-puing?" Getot kembali bertanya.
"Grokk," jawab Udhet membenarkan.
"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Tubuh Ki Amuraka tidak terbakar seperti diriku? Lalu, apakah ini pertanda buruk bagiku?" Getot mulai merasa khawatir.
"Grokk grokk," jawab Udhet, kali ini dengan nada yang lebih panjang.
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku beristirahat. Aku akan melanjutkan tahap berikutnya esok hari," putus Getot.
Mereka pun kembali masuk ke dalam gua. Sebenarnya, benak Getot dipenuhi berbagai pertanyaan. Ia juga diliputi kekhawatiran bahwa ilmu yang sedang dipelajarinya akan berdampak buruk baginya.
Ia teringat cerita tentang salah seorang temannya yang mempelajari ilmu kanuragan, namun karena tidak cocok, temannya itu justru mengalami cacat seumur hidup. Beberapa titik saraf di tubuhnya menjadi kacau, hingga akhirnya lumpuh.
"Ah, aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Malah, aku merasa lebih segar dan lebih ringan dari sebelumnya," gumam Getot mencoba menenangkan diri.
Langkah Getot menuju kamarnya terhenti saat matanya menangkap keberadaan cermin di sana. Spontan, ia ingin melihat wajahnya.
Namun, ia terkejut bukan main ketika melihat rambutnya berubah warna menjadi kemerahan.
"Aihh... kenapa lagi dengan rambutku ini? Mengapa Udhet tidak memberitahuku tadi? Ah, sudahlah, aku ingin istirahat," keluhnya.
Kelelahan membuatnya segera terlelap dalam tidurnya. Keesokan harinya, setelah membersihkan diri di kolam mata air, ia kembali ke tempat ukiran itu berada.
"Selamat pagi, dinding ukiran. Penyiksaan apalagi yang kau siapkan untukku hari ini?" sapa Getot dengan nada jengkel pada dinding berukir itu.
"Baris keempat. Pelatihan keseimbangan di lorong bambu," bunyi ukiran itu.
"Grokk," sahut Udhet.
"Alamak! Macam-macam pula lorong di gua ini. Kapan aku menemukan lorong gadis, Udhet? Apakah di sini ada lorong gadis?" tanya Getot sambil terkekeh.
"Grokkk...!!!" balas Udhet dengan geraman kesal.
"Hehehe... aku hanya bercanda. Ayolah, kita ke sana," ajak Getot.
Udhet pun menunjukkan jalan. Namun, sepanjang perjalanan, Udhet dibuat jengkel oleh tingkah Getot yang bernyanyi-nyanyi tidak jelas dan bersiul-siul riang.
Kepala Udhet terasa berdenyut mendengar siulan sumbang itu hingga akhirnya ia tak tahan lagi.
"Rooaaaargghhrr! Arghhh grok grokk...!!" geram Udhet meluapkan kekesalannya.
Getot tersentak kaget. "Ah, tidak asyik! Begitu saja marah. Tidak boleh ada orang senang!"
"Grookk!!" balas Udhet tajam.
"Hah?! Kita sudah sampai?" Getot mengedarkan pandangannya.
Mereka tiba di sebuah lorong dengan atap yang tinggi. Di lantainya, berjajar rapih beberapa tonggak bambu yang menjulang tinggi hampir menyentuh atap gua.
"Apa maksudnya ini?" tanya Getot bingung.
"Grokkk," jawab Udhet memberi petunjuk.
"Jadi, aku harus melompat dari satu tonggak bambu ke tonggak bambu lainnya sampai lincah?" Getot mencoba memahami.
"Grookk grokk," Udhet mengiyakan.
"Haha! Tentu mudah, bukan? Bukankah aku sudah bisa melompat jauh? Hehe," ujar Getot percaya diri.
"Grokk," balas Udhet singkat.
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Huppp!"
Dengan sekali lompatan, Getot berhasil mendarat di atas salah satu tonggak bambu.
Namun, sedetik kemudian, tubuhnya mulai oleng karena ujung bambu itu terlalu kecil, hanya cukup untuk menapakkan satu kaki.
Terlihat jelas bagaimana Getot berusaha keras menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh.
"Wey... weyyy... apa-apaan ini?! Ujung bambu ini hanya cukup untuk satu kaki... woy! Woyyy waaaaa...!!"
Wusss
Gabruk
"Erghh... adaww..." rintih Getot kesakitan setelah jatuh menukik dan mendarat dengan wajah lebih dulu mencium tanah. Karuan saja, wajahnya langsung memar dan hidungnya mengeluarkan darah.
"Grokk grokk grokk grok..." suara tawa Udhet terdengar puas.
"Puas-puaslah kau tertawa, Udhet! Tapi aku tidak akan menyerah... kau dengar itu, ulet badak?!" seru Getot sambil bangkit dan menyeka darah dari hidungnya.
"Sial... hidungku patah pula... awww, punggungku juga... ah, aku tidak bisa melompat. Hei, ulet badak! Aku tidak bisa melompat! Kupikir besok saja lah lanjutnya," keluh Getot.
"Grokk grokkk grokk grokk," balas Udhet dengan nada mengejek.
"Bangsat kau! Hidungku mimisan, kau malah senang! Baiklah... baik... lihat saja besok! Aku pasti bisa!" tekad Getot membara.
