"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Sepuluh
Raya masih bertanya-tanya.
Tentang sikap Arka yang tiba-tiba berubah. Tentang senyumnya yang tak biasa. Tentang cara dia menyentuhnya, menatapnya, seolah benar-benar peduli.
Malam itu, seakan muncul tanda tanya besar yang tak bisa ia abaikan—pertanyaan-pertanyaan yang mengendap dalam dadanya, memaksa pikirannya untuk terus terjaga.
Raya merebahkan tubuhnya di ranjang, namun matanya tetap terbuka menatap langit-langit. Cokelat hangat yang diberikan Arka tadi masih menyisakan kehangatan di perutnya, tapi justru membuat pikirannya tak tenang.
"Apa maksud semua ini?" bisiknya sendiri, hampir tanpa suara.
Ia memutar kembali percakapan mereka malam itu, sorot mata Arka, nada suaranya yang tenang, dan… sentuhan kecil itu—penuh perhatian, namun membingungkan.
“Dia bilang sedang mencoba menjadi suami. Tapi kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang?”
Raya menghela napas panjang. Ia menggeser tubuhnya, memeluk bantal, mencoba mencari kenyamanan. Tapi hening malam justru membuat suara hatinya terdengar lebih nyaring.
"Apa karena aku terlalu terlihat rapuh? Atau karena dia merasa kasihan?"
Entah mengapa, kemungkinan itu membuat hatinya nyeri. Ia tidak ingin dikasihani. Jika Arka bersikap hangat karena iba, maka lebih baik pria itu kembali dingin seperti biasa.
Namun jauh di dalam sana, Raya tidak bisa memungkiri—hatinya mulai luluh.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Suara berat dan akrab menyusul sesaat kemudian.
“Raya?”
Raya bangkit, buru-buru menyeka air matanya—ia bahkan tak sadar kapan mulai menangis.
Ia membuka pintu perlahan. Arka berdiri di sana, masih mengenakan kaus rumah, wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya.
“Maaf, sudah ganggu,” katanya pelan. “Aku cuma ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Raya hanya menatapnya. Kali ini, ia tidak menjawab.
Arka menggigit bibir bawahnya, ragu. Lalu ia mengulurkan tangan, menunjukkan selembar kain kecil. “Aku lihat kamu tidak membawa ini dari sofa tadi.”
Itu selimut tipis yang biasa digunakan Raya. Arka mengangkatnya sedikit, seperti tawaran diam-diam untuk perlindungan yang lebih dari sekadar kehangatan.
Raya menerimanya, jemarinya bersentuhan sebentar dengan tangan Arka. Lalu Arka berkata, lebih pelan dari sebelumnya.
“Kalau kau mau bicara… kapan pun, aku di kamar sebelah.”
Raya mengangguk, matanya kembali berkaca. “Terima kasih…”
Saat Arka berbalik dan melangkah pergi, Raya menatap punggungnya dengan tatapan rumit.
Ia tahu, malam itu tidak akan memberinya tidur yang nyenyak. Karena kini, hatinya mulai menanyakan sesuatu yang lebih dalam—bukan hanya "mengapa", tapi… "haruskah aku berharap?"
Dan itu jauh lebih berbahaya.
*
Pagi itu datang lebih cepat dari yang Raya harapkan.
Matahari belum tinggi, namun sinarnya sudah menyusup melalui celah tirai. Raya membuka mata perlahan, menyadari dirinya masih menggenggam selimut tipis yang diberikan Arka malam tadi. Sentuhan kain itu membuat pikirannya langsung melayang pada kejadian semalam.
Ia menarik napas dalam. Sudah pagi. Saatnya kembali bersikap biasa.
Raya bangkit dari ranjang, mencuci wajah dan menyisir rambutnya dengan gerakan lambat. Tapi tidak peduli seberapa sering ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk tenang… jantungnya tetap berdetak lebih cepat dari biasanya.
Langkah kakinya pelan saat menuju dapur. Dan di sana—seperti kejutan kecil yang tak pernah ia duga—Arka sudah berdiri di depan kompor. Mengenakan hoodie abu-abu dan celana panjang santai, pria itu tampak tenang, sibuk dengan dua cangkir kopi dan roti panggang di atas piring.
“Oh… pagi,” ujar Raya gugup, berusaha terdengar santai.
Arka menoleh cepat, dan senyum kecil—yang anehnya terasa semakin familiar—muncul di wajahnya. “Pagi. Kau tidur nyenyak?”
Raya mengangguk, walau kenyataannya ia hampir tidak tidur sama sekali.
“Kau?” balasnya, sambil mengambil tempat duduk di meja makan.
Arka menyerahkan cangkir padanya, lalu ikut duduk di seberang. “Aku tidur. Tapi… sempat berpikir.”
“Berpikir?” Raya mengangkat alis, mencoba membaca arah pembicaraan.
Arka menatap kopi di tangannya, sebelum kembali menatap Raya. “Tentang kamu.”
Raya terdiam. Jantungnya langsung menegang.
“Apa Arka sedang menggombal?” pikir Raya, sambil melirik pria di depannya dengan sudut mata. Tapi ia segera mengalihkan pandangannya ke cangkir kopi. Tidak mungkin. Itu bukan Arka. Bukan pria yang dikenal Raya selama ini.
Tapi tetap saja… kata-kata itu terlalu hangat untuk diabaikan. Terlalu tulus untuk disebut basa-basi.
“Untuk apa seorang Arka menggombal di pagi buta seperti ini?” bisiknya dalam hati, merasa pipinya mulai panas.
Raya buru-buru berdeham, mencoba menetralisir atmosfer yang mulai terasa terlalu dalam. “Hmm, kau tahu, kopi buatanmu… lumayan juga. Aku kira rasanya akan seperti air cucian piring.”
Arka terdiam sejenak, lalu mengangkat alis. “Itu pujian atau hinaan terselubung?”
“Aku bilang lumayan, kan?” Raya menyengir, berusaha mencairkan suasana.
Arka hanya menggeleng pelan, tapi ada senyum kecil yang terselip di ujung bibirnya. “Kau memang jago mengalihkan pembicaraan.”
“Terima kasih,” jawab Raya santai, lalu berdiri dan berjalan ke kulkas. “Aku butuh jus. Kopimu terlalu hitam untuk pagi yang cerah.”
Arka mengamati gerak-geriknya dengan saksama, tapi tak lagi menekan suasana. Ia tahu batas yang tak boleh dilewati pagi itu. Raya belum siap.
Dan itu tidak apa-apa.
“Kalau kau butuh teman belanja bahan makanan akhir pekan ini, aku bisa ikut,” ujar Arka santai, menyandarkan tubuh di kursi.
Raya berhenti di depan kulkas, menoleh setengah bingung. “Kau? Belanja?”
“Aku juga bisa normal, tahu?” balasnya ringan. “Aku tahu cara memilih semangka bagus dan membedakan antara seledri dan daun ketumbar.”
Raya tak bisa menahan tawa pelan. “Aku penasaran apakah itu benar atau hanya alasan agar bisa ikut.”
“Anggap saja kau akan tahu jawabannya nanti,” kata Arka sambil berdiri, lalu berjalan ke arah kamarnya. “Aku harus segera bersiap, ada meeting pagi ini.”
Raya hanya mengangguk.
Langkah kaki Arka terhenti di ambang pintu. Ia menoleh, dan kali ini tidak ada senyum.
“Hari ini akan panjang. Tapi aku akan sempatkan pulang cepat.”
Raya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
Dan saat pintu tertutup, Raya menyandarkan punggung ke lemari es, menatap kosong ke depan.
“Kenapa kau mulai berubah, Arka?” pikirnya, napasnya berat.
Tapi ia tahu, pertanyaan itu belum siap untuk dijawab.
*
Gedung Xander Corp tempat mereka bekerja berdiri megah seperti biasa, dengan kilau kaca yang memantulkan sinar matahari pagi. Namun, suasana di dalam ruangan kantor tak seterang cahaya di luar. Terutama di ruang kerja Arka.
Raya mengetuk pintu sebelum masuk. Ia mengenakan setelan kerja berwarna netral, rapi dan bersih, rambutnya disanggul sederhana seperti biasa. Namun ada sesuatu yang berbeda pagi itu—sikapnya yang begitu kaku dan formal.
“Selamat pagi, Tuan Arka,” ucapnya datar saat masuk.
Arka yang sedang membaca berkas mendongak, menatap Raya lama. “Tuan?”
Raya tersenyum kecil, sopan. “Saya sudah menyiapkan semua dokumen yang Anda minta. Dan juga revisi dari draft kontrak kerja sama klien—semuanya sudah dalam folder di meja Anda.”
Arka menyandarkan punggungnya. “Raya.”
“Ya, Tuan?”
Tatapan Arka mengerut, tak menyukai nada dingin yang Raya pertahankan. Ia berdiri, mendekati Raya yang masih berdiri tegak, seolah tengah berhadapan dengan atasan keras kepala, bukan… suaminya—meski hanya di atas kertas.
“Kau marah padaku?” tanya Arka pelan.
“Tidak, tentu saja tidak,” jawab Raya cepat, terlalu cepat. “Saya hanya bersikap profesional.”
“Profesional,” gumam Arka, melangkah lebih dekat. “Tapi semalam kau tidak seperti ini.”
“Semalam kita di rumah. Sekarang kita di kantor,” jawab Raya tajam tapi sopan. “Saya tidak ingin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan.”
Arka menghela napas. Ia tahu Raya sedang menarik batas. Tapi tetap saja, sikap itu mengusik. “Lalu bagaimana kalau aku tetap ingin mencampurnya? Lagi pula tidak ada orang lain di sini, hanya ada kita.”
Raya menatapnya dengan tenang. “Kalau Anda keberatan dengan sikap saya yang profesional, saya bisa meminta pindah divisi.”
Wajah Arka menegang. “Itu tidak lucu, Raya.”
“Saya tidak sedang bercanda, Tuan.”
Hening. Tegang. Arka menatap wanita itu lama, mencoba membaca apakah Raya benar-benar marah atau hanya takut tenggelam dalam kebingungan perasaan sendiri. Tapi Raya tidak memberi ruang untuk dibaca. Ia menjaga wajah dan tubuhnya tetap netral.
“Baiklah,” ujar Arka akhirnya. “Kalau begitu… kita akan bicara seperti ini di kantor.”
“Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Arka,” jawab Raya sebelum berbalik, melangkah keluar dengan tenang.
Namun saat pintu tertutup di belakangnya, Arka masih berdiri terpaku, menatap ruang kosong.
“Sungguh… kau membuatku gila, Raya.”
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........