bagaimana rasanya ketika kamu mendapatkan sebuah penawaran uang kaget?
Rara di hina dan di maki selama hidupnya.
Ini semua karena kemiskinan.
Tapi ketika dia merasa sudah menyerah, Dia mendapatkan aplikasi rahasia.
Namanya uang kaget.
Singkatnya habis kan uang, semakin banyak uang yang kau habiskan maka uang yang akan kamu kantongi juga akan semakin banyak.
Tapi hanya ada satu kesempatan dan 5 jam saja.
Saksikan bagaimana Rara menghasilkan uang pertama kali di dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Sementara Rara sedang berpikir bagaimana menghabiskan uang, Arya pula mengalami perang batin.
Lampu-lampu neon klub malam masih menyala terang.
Saat ini Arya berjalan tertatih tatih keluar dari area klub malam. Musik dari dalam masih memekakkan telinga, namun bagi Arya, semuanya terasa hampa. Langkahnya goyah, bukan karena alkohol,ia bahkan tak menyentuh setetes pun malam ini,melainkan karena hati yang remuk dan beban yang tak sanggup ia pikul lebih lama.
Udara malam Jakarta menyapa wajahnya yang muram. Jaketnya terlepas dari salah satu bahu, namun Arya bahkan tak peduli. Ia berhenti di trotoar, memandang kosong jalanan yang mulai lengang. Matanya basah, tapi bukan karena angin.
Ia baru saja menyadari satu hal,ia sendirian.
Teman-teman lamanya,yang dulu tertawa dan bersumpah akan bersama sampai akhir,telah meninggalkannya. Lebih tepatnya, menusuknya dari belakang. Janji-janji setia hancur bersama kepentingan mereka sendiri. Dan kini, satu demi satu kenyataan pahit datang membungkus hidupnya.
"Aku ini... apa, sih?" gumamnya lirih. "Cuma beban..."
Ia menunduk, telapak tangan menggenggam rambutnya sendiri, frustrasi. Rara adik perempuannya yang dulu selalu ia lindungi,sekarang justru jadi satu-satunya orang yang menahannya agar tidak hancur sepenuhnya.
Tapi bukankah itu salah?
Bukankah semestinya dia yang melindungi Rara, bukan sebaliknya?
Orang tua mereka masih terbaring kaku di rumah sakit, terikat pada mesin-mesin kehidupan. Tidak ada yang tahu kapan mereka akan bangun. Dan di tengah semuanya, Arya merasa seperti bayangan,hidup, tapi tidak benar-benar hidup.
“Aku gagal… jadi anak, jadi kakak, jadi teman… semua…” ucapnya nyaris tanpa suara.
Dia berjalan lagi, menyusuri trotoar yang basah karena hujan sore tadi. Langkahnya berat, seolah dunia sendiri menekan pundaknya. Di keramaian kota yang tak pernah benar-benar tidur, Arya justru merasa paling terasing.
Tak ada harapan, tak ada tujuan. Yang tersisa hanyalah kelelahan dan luka yang belum sembuh.
Tapi di balik kelamnya malam, langit masih menyimpan bintang. Meskipun tertutup awan, mereka tetap ada,menunggu saatnya bersinar.
Namun malam ini… Arya belum bisa melihatnya.
Langkah Arya masih gontai saat ia menyusuri trotoar yang lengang. Lampu jalan memantulkan bayangannya yang rapuh di aspal basah. Namun di tengah gelapnya hati dan pikiran, satu ingatan menyeruak,wajah ayah dan ibunya.
Detik itu juga langkah Arya terhenti. Dadanya mendadak sesak. Udara malam yang dingin tak ada artinya dibanding beban yang menindih hatinya. Bayangan dua sosok yang kini terbaring kaku di rumah sakit mengisi kepalanya. Kecelakaan itu… bunyi sirene ambulans… darah di jalanan… dan kemudian sunyi panjang dalam ruang perawatan intensif.
“Papa… Mama…” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di antara kesibukan kota jakarta yang megah.
Tanpa pikir panjang, ia menoleh ke jalan. Sebuah taksi melintas pelan. Ia langsung mengangkat tangan.
"Taksi..."
Arya bisa di bilang cukup beruntung karena taksi online ini sebenarnya baru saja menurun kan penumpang nya.Melihat ada calon penumpang baru,dia langsung berhenti.
Arya langsung masuk ke dalam dengan begitu banyak pikiran.
"Mau kemana dek?" sapa si supir.
“Bang, ke ..ke Rumah Sakit Internasional…” kata arya cepat. Suaranya parau, nyaris tercekat oleh emosi yang menumpuk.
"Ok rumah sakit "
Taksi segera melaju tapi bagi Arya, rasanya perjalanan terlalu lambat.
Di dalam mobil, dia bersandar ke jendela, menatap kosong ke luar. Lampu-lampu jalan berganti cepat, namun pikirannya hanya tertuju pada satu tempat.
Ruang rawat di mana kedua orang tuanya berjuang dalam keheningan, koma yang tak berujung.
Tak lama kemudian, arya tiba.
Dengan langkah cepat dia turun dari taksi setelah membayar sejumlah uang.
Langkah nya cepat tapi berat, ia segera masuk ke dalam rumah sakit. Melewati lorong-lorong putih yang senyap, hatinya semakin tak karuan.
Akhirnya, ia sampai di depan ruang rawat. Di sana, dua ranjang dipisah tabir tipis. Mesin-mesin medis berdetak lembut, satu-satunya suara yang mengisi ruangan.
Perlahan, Arya melangkah masuk. Matanya langsung menangkap sosok ayahnya yang dulu gagah, kini terbaring diam. Tak jauh dari situ, sang ibu juga dalam kondisi yang sama,wajahnya tenang namun pucat.
Arya berdiri di antara keduanya. Lututnya lemas, ia akhirnya jatuh berlutut.
Arya menggenggam tangan mama yang hangat tapi tanpa ada genggaman balik.
“Ma… Pa… aku di sini,” ucapnya lirih.
Air matanya menetes, jatuh ke seprai putih. “Maaf… aku belum bisa jadi anak yang baik. Tapi… aku kangen kalian… Aku pengen kalian bangun. Walau cuma sebentar… biar aku bisa bilang… aku sayang kalian…”
"Mama... Bangun lah...aku...aku tidak kuat lagi..."
Arya menangis sedih.
Tapi wajah mama dan papa nya tetap tak bergerak.Meskipun demikian kehadiran keduanya masih terasa… menenangkan.
Arya hanya duduk di sana. Dalam diam, dan air mata sedih.ia menatap orang tua nya secara bergantian. Mengingat semua tawa, nasihat, dan pelukan hangat. Ia tahu, walau kini semua terasa hancur… cinta mereka tetap ada, utuh dalam hatinya.
Untuk pertama kalinya sejak semuanya runtuh, Arya menangis… bukan karena kelemahan, tapi karena cinta yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Bip.. bip ..bip..
Bunyi monoton dari mesin peralatan medis menjadi latar belakang kesunyian yang menggantung pekat di ruangan itu.
Hanya ada Arya yang duduk di antara dua ranjang tempat ayah dan ibunya terbaring dalam koma yang panjang.
"mama... papa"
Ratusan kalimat yang di lontarkan oleh Arya tidak mampu membangunkan orang tuanya.
Wajah keduanya masih sama,penuh keteduhan, namun kosong .Wajah mereka tak mampu memberikan jawaban apa pun atas segala beban yang menggunung di dada putra mereka.
Arya mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Dadanya naik-turun, berat oleh sesal yang tak bisa ia bendung lagi.
“Papa…” bisiknya dengan suara serak, jemarinya menggenggam tangan sang ayah yang tak lagi bisa membalas genggaman nya.
. “Maaf… maaf karena aku enggak bisa jadi pewaris yang baik. Aku gagal jaga perusahaan, Pa… Semua yang Papa bangun seumur hidup, sekarang akan bangkrut di tanganku. Aku terlalu naif, terlalu percaya sama orang… dan sekarang semuanya hancur... hancur total pa..”
Ia beralih memandang ibunya yang tampak tenang dalam tidurnya yang panjang.
“Mama… aku juga minta maaf. Rara… Rara jadi bahan hinaan karena aku. Karena aku enggak bisa lindungi dia. Bahkan Doni…” suara Arya tercekat, tenggorokannya menegang oleh kemarahan dan kekecewaan. “Doni, sahabatku sendiri… yang dulu selalu bilang Rara kayak adik kandungnya… Sekarang dia mengancam… minta Rara temani dia, Ma…”
Kepalanya tertunduk, menahan gejolak yang menyakitkan.
“Aku pikir dia akan bantu kita. Tapi ternyata, dia malah jatuhin kita lebih dalam lagi.”
Apa yang terjadi malam ini di klub membuat Arya benar benar kembali pada kenyataan.
Dia dan mereka sudah berada di jalan yang berbeda.
Hati Arya sedih, kenapa dia baru tahu jika persahabatan mereka hanya seperti itu.
Rapuh seperti sekeping kaca, yang ketika jatuh langsung pecah seribu tanpa bisa di perbaiki lagi.
Tapi kenapa.
Tangannya mengusap punggung tangan sang ibu dengan lembut. “Aku enggak ngerti lagi, Ma. Aku enggak tahu harus mulai dari mana. Semua orang ninggalin kita… dan aku nggak tahu caranya bangkit. Aku nggak tahu caranya nolong Papa sama Mama. Bahkan… aku nggak tahu caranya nolong diri sendiri.”
Suara Arya makin lirih, nyaris tak terdengar di antara detak mesin dan desis alat bantu pernapasan.
“Rara… Dia anak baik, Ma. Tapi sekarang dia harus berjuang sendirian karena aku terlalu lemah. Dia harus kuat, sementara aku di sini… nyerah.”
Matanya menatap kosong ke lantai. Hampa. Seolah harapan yang tersisa sudah ikut tenggelam bersama runtuhnya keluarganya.
“Kalau waktu bisa diulang… Aku pengen kembali jadi Arya yang bisa bikin Papa bangga, Ma bahagia, dan Rara terlindungi. Tapi sekarang…” Ia menggeleng, air matanya kembali jatuh. “Aku bahkan nggak yakin masih pantas disebut anak kalian.”
Di ruangan itu, hanya kesunyian yang menjawab. Tapi tatapan Arya tertuju pada wajah kedua orang tuanya, dan dalam diam itu, ia seolah berharap… kalau pun tidak ada suara balasan, mungkin hati mereka bisa merasakan, betapa dalamnya penyesalannya.
Tapi keduanya masih diam.
Lampu ruangan menyorot pucat, menambah nuansa sunyi yang menggantung. Perlahan Arya menarik napas, menoleh pada ponsel yang tergeletak di samping tempat tidur. Tangannya bergetar saat meraihnya.
Ia menekan nomor Rara.
Sekali.
Tak dijawab.
Dua kali.
Masih sunyi.
Baru pada panggilan ketiga, suara lembut itu menjawab.
"Halo, Kak?"
Arya terdiam sejenak, menelan gumpalan emosi yang mengganjal di tenggorokannya. Ia tak ingin terdengar rapuh, apalagi di hadapan satu-satunya keluarga yang masih bisa berbicara padanya.
"Rara... maaf ya, Kakak ganggu. Aku tahu kamu pasti lagi sibuk."
"Aku selalu sempat buat Kakak," jawab Rara pelan, terdengar seperti tengah berjalan cepat atau mengatur sesuatu di kejauhan.
Arya tersenyum kecil walau tidak ada kebahagiaan di matanya. "Aku cuma mau bilang... maaf. Karena Kakak udah nyusahin kamu. Malam ini aja... kamu harus keluarin dua belas juta buat nutup tagihan minuman Kakak di klub."
"Halah, Kak," Rara mendesah kecil, "uang itu cuma lingkaran hidup. Ada dan hilang, terus datang lagi. Yang penting, Kakak jangan nyalahin diri sendiri. Aku masih butuh Kakak berdiri. Kita semua masih butuh Kakak."
"Ra…"
"Kakak dulu selalu jadi orang pertama yang dukung aku, kan? Sekarang gantian aku yang jaga Kakak."
Arya mencoba menahan air mata.Rara adalah adik perempuannya dan itu adalah harga dirinya yang terakhir. dia tidak ingin Rara tahu, Jika dia sedang menangis.
Namun dalam senyap, hatinya seolah runtuh.
"Aku pengen cerita banyak, Ra… semua yang Kakak rasain, semua yang Kakak takutkan…"
Tapi Rara yang sibuk segera memotong pembicaraan"Kakak,aku tidak punya waktu.Begini kak , bagaimana jika besok pagi aja kita ngobrol. Aku janji. Sekarang aku bener-bener harus pergi."
"Ra...
Arya merasa adiknya membenci dia. Bukankah sekarang Rara sendiri tidak ingin berbicara dengannya lagi.
Rara di sisi lain benar benar tidak memiliki waktu untuk berbicara panjang lebar dengan kakaknya ini.
Singkatnya waktu adalah uang.
Rara dengan serius akan menutup telepon.
Sebelum sambungan berakhir, Rara menambahkan, "Kak, jangan khawatir soal perusahaan. Aku udah dapat jalannya. Semua akan selesai besok pagi."
Klik.
Sambungan terputus.
Arya menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap.
"Rara ...!!"
Arya tidak tahu kenapa, tapi dadanya terasa lebih sesak.
Ia berpaling, kembali menatap wajah teduh ibunya yang belum membuka mata. Jemarinya mengelus punggung tangan sang ibu, pelan, seperti mencari penghiburan. Tapi tak ada yang bisa mengobati rasa bersalah yang menggumpal di benaknya.
"Ma Apakah adik membenciku sekarang?"
“Rara… dia anak perempuan… dia seharusnya tidak perlu memikul semua ini…"
Hehehe
Sebuah tawa pendek keluar dari mulutnya,tawa getir yang dibalut keputusasaan.
“Lucu, ya… kenapa harus adikku yang cari jalan keluar? Kenapa bukan aku?” gumamnya lirih, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Aku yang jadi pewaris, tapi malah jadi beban. Aku yang seharusnya melindungi dia, tapi malah dia yang harus tutupi kegagalan Kakaknya.”
Air mata mulai jatuh lagi di pipinya.
“Aku pengecut. Bodoh. Gak kompeten. Malu jadi anak kalian.”
Dan di tengah deru lembut alat bantu pernapasan serta detak mesin pemantau detak jantung yang stabil, Arya kembali tenggelam dalam sunyi. Tak ada jawaban. Tak ada pelukan. Hanya ruang rumah sakit yang membungkusnya dengan dingin dan sepi yang tak bersuara.
Apa mngkin rara menghancurkan bisnis mereka sprt arya lakukan