Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara di Balik Mata Biru
Taman kota yang biasanya menenangkan, sore itu terasa seperti medan perang tanpa senjata. Langit mulai berwarna jingga, tapi suhu emosi Gavin justru membakar udara di sekeliling mereka. Vanesa berdiri kaku, sementara Gavin mematung dengan rahang mengeras, memandangi Vanesa.
“Mataku kelilipan,” ucap Vanesa pelan, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Nadanya terdengar gugup, tak meyakinkan.
Gavin menyipitkan mata birunya. Sorotnya tajam, setajam belati mafia yang sedang menyimpan amarah. “Berpelukan di tempat umum dengan mantan suami. Bukankah itu melanggar kontrak?”
“Dia yang tiba-tiba memeluk tanganku. Tanganku Gavin,” elak Vanesa, suaranya nyaris tak terdengar.
Gavin melangkah mendekat. Aroma parfumnya yang maskulin dan tajam menguar, membuat Vanesa tersudut secara emosional. “Dan kamu... menerimanya?”
Vanesa menggigit bibir bawahnya, tak menjawab. Bisu. Tapi keheningan itu justru menyulut api di dada Gavin. Ia merasa seperti dikhianati, meski ia tahu dirinya tak punya hak untuk merasa demikian. Ia yang mengusir. Ia yang menyuruh pergi. Tapi kenapa saat Vanesa disentuh orang lain, hatinya terasa diremas?
“Kalau kamu masih mencintainya, kembalilah padanya,” ucap Gavin datar, namun nadanya seperti petir. “Tapi setelah kamu selesaikan pekerjaanmu. Jangan sekarang. Dan kalau kamu masih berani bertemu dia lagi, aku akan menghabisinya.”
“Gavin, kamu... keterlaluan,” ucap Vanesa pelan, nyaris seperti bisikan yang tertelan angin.
Tanpa memberi ruang untuk perdebatan, Gavin menggenggam pergelangan tangan Vanesa, menariknya menuju mobil. Langkahnya cepat, penuh tekanan, seperti langkah seekor singa yang sedang terluka.
“Mobilku?” tanya Vanesa, suara kecil, nyaris tak terdengar.
“Berikan kuncinya.”
Vanesa menyerah. Ia tahu tak akan menang melawan kemarahan Gavin. Pria itu menghampiri seorang pria bertubuh tegap di pinggir taman.
“Antarkan mobil ini ke rumah.”
“Baik, Bos.”
Baru saat itu Vanesa sadar—lelaki itu bukan petugas parkir biasa. Itu anak buah Gavin.
“Kamu menyuruh orang mengikutiku?” tanya Vanesa lirih di dalam mobil.
Gavin tak menjawab. Rahangnya mengeras, seakan menahan muntahan amarah yang hampir meledak. Vanesa tahu, kalau Gavin memilih diam, itu artinya badai sedang diramu.
Mereka melaju dalam diam menuju rumah Vanesa. Rumah yang dulu ia beli dengan uang hasil kerja kerasnya untuk ia tinggali dengan Damian suaminya.
Tapi, kini sudah bukan rumah sederhana seperti dulu. Bangunan itu sudah berubah menjadi istana mewah, penuh teknologi. Pintu gerbang otomatis terbuka, dan Vanesa menatap dengan getir.
‘Pintu otomatis... Bahkan pintunya pun diganti,’ batinnya. Ia seperti tamu di rumah sendiri.
Gavin membanting pintu mobil, lalu menyeret Vanesa masuk. Ia mendorong tubuh wanita itu ke sofa, menatapnya dengan amarah yang membara.
“Aku tanya sekali lagi. Kamu ingin mempermainkanku?” desis Gavin.
“Aku nggak pernah mempermainkan siapa pun, Gavin,” jawab Vanesa dengan napas yang tertahan. Ia terlihat lelah, sangat lelah.
“Lalu kenapa kamu berani menemui istriku?! Apa kamu ingin membuka semuanya?” Suaranya naik, penuh kemarahan yang tak tersalurkan.
“Aku cuma butuh pekerjaan.”
“Kamu nggak boleh kerja di sana!” Gavin mendekat, menunduk, menatap mata Vanesa dari jarak yang sangat dekat. Nafas mereka saling beradu.
Vanesa menarik diri, tapi Gavin menahan bahunya. “Kamu pikir aku akan diam saja lihat kamu masuk ke sarang istriku, huh?”
Vanesa tertawa kecil, getir. “Sarannya siapa? Siapa yang bilang aku cuma mantan pelarian dan nggak punya tempat kembali?”
Gavin mengerutkan alis. “Jangan balikkan semuanya, Vanesa. Kamu tahu, aku...”
“Kamu apa? Masih mencintaiku?” potong Vanesa cepat. “Kalau iya, kenapa kamu nikahi Karin?”
Ruangan mendadak senyap. Waktu seakan membeku. Gavin menatap Vanesa lama, sebelum akhirnya menatap lebi tajam lagi.
“Kamu! Kamu yang menolakku berkali-kali. Berkali-kali Vanesa! Bukan hanya sekali dan kamu bertanya kenapa aku menikahinya? Kamu waras?” Ia mendorong kepala Vanesa dengan satu jari.
Vanesa bangkit.
“Itu karena aku masih seorang istri.”
“Itu bukan alasan. Saat itu kamu proses cerai?”” bentak Gavin. Matanya menyala.
“Lalu sekarang kita sudah menikah. Apa kamu peduli padaku?” Vanesa membalas dengan suara bergetar.
‘Iya aku masih peduli dan aku masih mencintaimu. Karena kamu satu-satunya wanita yang bikin aku kehilangan kendali’ Kalimat itu nyaris lolos dari bibir Gavin, tapi ditelannya kembali’ Ia memilih menggertakkan gigi.
“Kalau kamu tetap kerja di kantor itu, kantorku akan jadi neraka bagimu. Kalau kamu tetap nekat, maka bersiaplah.”
Vanesa tersenyum tipis. “Dari awal hidupku memang sudah di neraka, Gavin. Aku sudah siap.”
Gavin memalingkan muka. Ia benci ketika Vanesa bersikap sekuat ini. Wanita itu memang keras kepala, tapi ia juga satu-satunya yang bisa membaca hatinya.
“Sekarang jawab. Apa kamu masih mencintai mantan suamimu?” tanya Gavin, mendekat.
“Belum mantan. Kami masih dalam proses,” balas Vanesa kalem.
“Aku nggak peduli. Jawab aku, iya atau tidak?” Suaranya terdengar seperti ultimatum.
Vanesa menggeleng. “Itu urusan pribadi. Kamu sendiri yang bilang, hal pribadi tak boleh dicampuri.”
“Kamu tinggal jawab. Ya, atau tidak. Sulit?” Gavin menunduk. Napasnya berat. Ia sudah kehilangan akal sehat.
Vanesa menarik napas panjang. “Aku tidak mau menjawab. Itu bukan urusanmu.”
“Kenapa kamu selalu membuatku terlihat seperti pecundang, Vanesa?” bisik Gavin rendah.
Vanesa menatap mata biru itu. Untuk pertama kalinya, ia menangkap luka di baliknya. Luka yang sama seperti miliknya.
“Kamu bukan pecundang,” jawab Vanesa pelan. “Kamu hanya... belum sembuh.”
Gavin menunduk. Nafasnya berguncang. “Aku ingin melupakan kamu. Tapi bahkan bayanganmu menolak pergi dari hidupku.”
Vanesa terdiam. Perlahan, ia duduk kembali, membiarkan keheningan memenuhi ruang. Emosi mereka terlalu penuh, seperti gelas yang meluber.
Tiba-tiba Gavin tertawa kecil, pahit. “Lucu ya... Kamu pembuat masalah, tapi masih berharap bisa memperbaiki semuanya.
“Bukan lucu,” bisik Vanesa. “Tapi menyedihkan.”
Mereka terdiam lagi. Lalu Gavin berdiri, memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
“Aku akan tetap bersamamu,” gumamnya. “Tapi jangan pernah pikir bisa punya dua laki-laki sekaligus, Vanesa. Aku bukan orang yang sabar.”
Vanesa memalingkan wajah. Ia tahu Gavin serius.
Gavin berjalan menuju pintu. Tapi sebelum pergi, ia menoleh.
“Dan satu hal lagi...”
Vanesa mendongak. Tatapan mereka bertaut.
“Kamu bilang matamu kelilipan. Tapi aku tahu, kamu menangis karena dia.”
Vanesa menggertakkan rahang. “Kamu salah.”
Gavin menggeleng. “Sayangnya, aku selalu benar soal kamu.“Jangan pernah berpikir aku menikahimu karena cinta, Danita,” ucap Gavin dingin. “Bagiku kamu hanya sampah yang kupungut untuk kugunakan membersihkan kekacauan. Setelah kamu tidak berguna lagi, aku akan menendangmu.”
Vanesa menatap pria itu dengan sorot tajam. “Terima kasih sudah mengingatkanku, Pak Gavin. Jangan khawatir, aku tidak akan lupa posisiku. Tapi mulai sekarang, jangan ikut campur dalam urusan pribadiku.”
Lalu ia pergi meninggalkan Gavin
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini